November 2, 2024

Oleh Agoes S. Alam

Kalimat yang “ditimurkan” oleh Muhammad Natsir Tahar seorang writerpreneur dan pembaca filsafat kelahiran Riau dalam diskusi tandem bersama fenomenolog Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M. Phil., dalam tema “Telaah Metode Socrates ; Prahara Ekologi dan Artificial Intelligence, sedikit mengerutkan kening.

Pengembaraan Natsir me[review] masuk ke dalam lorong gelap hutan pemikiran [Jenggala Minda] Socrates yang rimbun itu membancuh lumat kengigauan bani proletar dalam decorum sebagai basis dari sistem logika formal dengan aturan inferensi mendefenisikan logika.

Natsir mengajak audiens untuk merefleksikan metode socratic ke dalam suatu circle dialog, namun sebelumnya kita perlu sampai ke pemahaman bahwa tidak ada yang tuntas dalam semua fenomena, apapun informasi yang kita serap sejak bayi hingga dewasa dapat dipertanya ulang. Sehingga setiap pertanyaan akan tergiring untuk membentuk suatu lingkaran yang tak pernah putus.

Pria tua eksentrik, induk semang para filosof dari Athena itu menurut Natsir, telah mencipta apa yang disebut sebagai dialektika, disiplin ketat yang dirancang untuk menyingkapkan kepercayaan palsu guna mendapatkan kebenaran.

Socrates membuat dirinya otentik dengan mengosongkan semua doktrin yang datang dari luar. Dia mendapati dirinya “tidak tahu apa-apa sama sekali”, berbeda dengan orang-orang yang merasa banyak tahu dengan hanya berpijak kepada ranting-ranting pikiran yang rapuh dan bahkan dipertahankan sampai ajal tiba.

Socrates menyadari bahwa sistem nilai yang dia pegang di dalam hidup tidak memiliki dasar, sebagai akibatnya, untuk melangkah ke depan secara otentik, dirinya harus berdasarkan pada keraguan (aporia) bukannya kepastian. Jenis kebijaksanaan yang ditawarkan Socrates tidak diperoleh dengan menambahkan jenis pengetahuan, tetapi dengan belajar mengada dalam cara yang berbeda.

Selanjutnya Prof. Yusmar Yusuf, dengan judul diskusi “Keriangan Terra-Aqua” Lukisan yang [Harus] tak selesai” terus memberi ruang imajinasi gerak kreatif yang [harus] tumbuh merecup agar “tuah” pulau-pulau dan beting di celah pinggang pulau Rupat sebagai sebab akibat dari persetubuhan [intercouse] yang diproyeksi dalam pola prismatik cahaya ke permukaan bumi menjadikan selat ini bertuah dalam imajinasi fisika quantum.

Yusmar juga menyinggung soal percakapan kosmos ketika Tuhan telah memposisikan diri sebagai causa prima, penyebab pertama dari alam semesta, mestinya lepas dari cluster-cluster pikiran sempit yang tersumbat oleh kefanatikan beragama dan memborong kebenaran atas dogma-dogma.

Natsir dan Prof. Yusmar memantik api pikiran untuk menghidupkan kematian sel terprogram [programmed cell death, disingkat PCD] pada bani proletar melalui persebatian ekskursi dengan diskusi yang menghasilkan “plasma nutfah”, substansinya tidak terpaku pada sifat [perkauman] dan [harus] lebih cerdas dan keluar dari [maqam] biasa-biasa saja untuk melahirkan kultivar baru.

Tidak pada menyimpulkan, ngemas pulau menyadarkan pada konsepsi “biar” yang dengan sengaja memberikan alam dengan kreatifnya bermain pada garis sunatullah yang niscaya untuk dinikmati sebagai suguhan alam yang selama ini kita abaikan. Di sinilah “bertuah” yang menurut saya apa yang dikatakan Prof. Yusmar Yusuf; “Selat ini bertuah dalam imajinasi fisika quantum”. (*)

Leave a Reply