
Murparsaulian, penyair, penggiat media kreatif. Alumnus Universidad Autonomous de Barcelona, Spanyol. (F: dok. pribadi)
Oleh Murparsaulian
Lebuh raya dunia digital semakin terbuka lebar, ditandai dengan hadirnya berbagai platform. Salah satunya ChatGPT yang sudah diserbu 57 juta pengguna di awal kemunculannya. Dan pada akhir Januari 2023 lalu, tercatat 100 juta pengunjung aktif dengan rata-rata 13 juta setiap hari.
Dia seperti bom atom perangkat lunak yang bisa mereduksi kehidupan manusia, termasuk mendisrupsi berbagai jenis pekerjaan. Lalu sejauh mana batasan dan masa depan aplikasi ini? Benarkah kehadirannya sempat merisaukan kalangan profesional dan akademisi?
Beberapa pertanyaan di atas menguap dalam diskusi terbatas yang ditaja Senat Universitas Riau, Senin (6/3/2023) di Ballroom utama UNRI. Diskusi itu menghadirkan empat nara sumber antara lain; Wakil Rektor I Bidang Akademik UNRI, Dr. Mexsasai Indra, S.H., M.H, Akademisi dan Budayawan, Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M.Psi., Writerpreneur: Book Planner, Digital Business Consultant and IT Support, Muhammad Natsir Tahar dan Iswadi HR., ST., MT., Ph.D selaku Kepala UPT TIK UNRI. Terlihat penuh semangat Wakil Dekan FISIPOL UNRI, Saiman Pakpahan, S.Sos., M.Si selaku moderator.
Pembicaraan tentang ChatGPT ini sempat hangat di berbagai kalangan, khususnya bidang profesional dan akademisi. Baru-baru ini 6.000 dosen dari tiga Universitas antara lain; Universitas Harvard, Universitas Yale dan University of Rhode Island mengajukan GPTZero, sebuah program yang bisa mendeteksi dengan cepat teks yang dihasilkan AI (Artificial Intelligence/kecerdasan buatan).
Upaya ini dilakukan dengan memperkaya fitur Turnitin supaya bisa mendeteksi ChatGPT. Cukup unik, diperlukan AI baru untuk mendeteksi kehadiran AI lainnya. Salah satu caranya dengan memperkaya Turnitin (sebuah aplikasi cek plagiarism). Saat ini Turnitin belum bisa mengecek kehadiran ChatGPT.
Apa itu ChatGPT dan mengapa sempat membuat heboh? ChatGPT bisa mengerjakan sesuatu yang biasanya dilakukan oleh orang-orang kompeten di bidangnya. Dia menguasai berbagai jenis kemampuan, bisa jadi tidak ada satupun manusia yang mampu menguasai banyak kemampuan sekaligus seperti ChatGPT.
Belum lagi kecepatannya dalam menyelesaikan pekerjaan. Jika manusia membutuhkan hitungan jam, ChatGPT bisa dalam hitungan detik. Misalnya dalam hal entri data. Selain ChatGPT ada dua aplikasi turunan OpenAI lainnya, yaitu; Whisper (sistem pengenalan suara otomatis) dan DALL-E (gambar dan karya seni berbasis AI).
Tentu muncul pertanyaan bagaimana nasib pekerjaan profesional dengan hadirnya ChatGPT yang kemampuannya terus ditingkatkan supaya bisa menjalankan berbagai tugas manusia. Tak terkecuali di kalangan akademis tentang keaslian karya akademik yang bisa berupa tugas kuliah dan tugas akhir seperti skripsi.
Menanggapi hal ini Wakil Rektor I Bidang Akademik UNRI, Dr. Mexsasai Indra, S.H., M.H. menyebutkan, inilah salah satu poin penting sebagai masukan untuk Senat UNRI yang akan membuat kebijakan produk akademik yang menggunakan bantuan AI. Sejauh mana batasan dan fungsinya. Hal ini sejalan dengan tekad Rektor Universitas Riau Prof. Dr. Sri Indarti, SE., M.Si yang telah mencanangkan kebijakan penyelenggaraan perguruan tinggi berbasis transformasi digital menuju world class university.
Akademisi dan budayawan Prof. Yusmar Yusuf memandang kehadiran kecerdasan buatan ini dari pendekatan filosofis. Tidak ada yang perlu dirisaukan dari kehadiran AI dan beberapa aplikasi turunannya. Yusmar mengawalinya dengan sejarah lahirnya AI yang berangkat dari Philosophy of Mind [filsafat akal budi]; yang berbicara tentang fungsi-fungsi akal budi yang kemudian diterjemahkan dalam sejumlah perbincangan humaniora dan ilmu-ilmu sosial. Kemudian lahirlah pendekatan fungsional. Satu di antaranya adalah Blackbox Theory yang dikembangkan dari teori behaviorisme dalam ilmu psikologi.
Tugas teori ini, menyusun sejumlah kemampuan “processing” [yang dikenal sebagai blackbox] atas input yang masuk, kemudian menjadi output dalam sejumlah fungsi-fungsi. Dari kaidah inilah lahirnya AI itu di awal tahun 70-an, bahkan 50-an. Inilah proses sejarah kehendak ke masa depan demi lahirnya kecerdasan yang mirip manusia, salah satunya ChatGPT.
Ditekankan Yusmar lagi, segala kemampuan model ChatGPT itu tetap berada pada level keliru dalam menangkap bahasa yang digunakan sebagai tool pertanyaan [input]. Sebab, dia tidak hidup dalam bahasa dan tidak memiliki pengalaman bahasa. Dia hanya “menggunakan” [use] bahasa, bahkan hanya sebatas “menyebut” [mention] dari bahasa itu.
Sehingga dia menerjemah dan menangkap keliaran fenomena bahasa dan kedangkalan. Dia tak bisa “menyerap” bentuk analogi [majas] bahasa. Yusmar mengambil contoh pantun, misalnya. Bisakah ChatGPT menghasilkan pantun atau puisi yang memang dari hati, yang mempunyai nilai rasa dengan norma dan kaidahnya. Sebut saja pantun di bawah ini:
Cempedak dari Juwana,
Dibelah mari di atas tudung;
Bila hendak bersunting bunga,
Pergilah naik ke puncak gunung
Buah cempedak dalam pagar,
Ambil galah tolong jolokkan;
Saya budak baru belajar,
Kalau salah tolong tunjukkan
Pantun di atas ada sentuhan resa. Bukan sembarang bunyi, ada mantik dan kaidah serta logika yang sesuai dengan fiilnya. Akan lain lagi misalnya hasil pencarian pantun dengan ChatGPT yang dikhawatirkan Yusmar yang tidak mempunyai nilai resa dengan norma dan kaidah sebagaimana pantun.
Dia hanya alat pemroses data dalam gaya narasi semisal kalkulator memproses data angka. ChatGPT hanyalah mesin pencari di atas teks dan narasi yang baru permukaan non-majasi dan sebatas pendangkalan isi dan makna. Teknologi dan capaian deep learning yang terhidang, hadir dalam sejumlah paradoks utopia. Jika pantun diserahkan ke AI, makanya dia akan terasa hampa karena tidak menyatu atau bersebati dengan kaidah pantun yang sebenarnya.
Lalu apa saja apa saja yang bisa dilakukan ChatGPT? Tanya Iswadi, Ph.D yang mengurai AI lebih kepada kesiapan teknis UNRI secara kelembagaan untuk merebut peluang kemudahan yang ditawarkan transformasi digital yang bergerak cepat. Doktor Teknik elektro lulusan Queen’s University Belfast, Inggris itu menguraikan bagaimana dengan bantuan AI, banyak hal positif dan mudah serta lebih cepat yang bisa dilakukan.
Apalagi di bidang teknik yang erat kaitannya dengan entri data dan pengkodingan. Jika hal itu dikerjakan oleh manusia akan memakan waktu lama, berbeda dengan AI yang bisa menuntaskannya dalam waktu cepat seperti GPT yang berbasis neural network yang menggunakan unsupervised learning untuk menghasilkan teks bahasa alami. Model ini dilatih untuk dengan memanfaatkan dataset sebesar lebih dari 40 GB dari teks internet.
Narasumber lainnya yang didatangkan dari Batam, Muhammad Natsir Tahar lebih fokus kepada topik dinamika praktik dan inovasi penggunaan AI dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, dan AI dalam perspektif u-distopia dan how to handle ChatGPT dan quo vadis. Ia memaparkan AI sebagai dilema tiada henti (unstoppable dilemma) dalam teropong u-distopia. AI dalam analisis SWOT, simpangan alternatif, aplikasi dan regulasi, serta reformasi orientasi pedagogi.
Natsir juga menceritakan pengalamannya saat menyelesaikan tugas akhir Postgraduate Diploma in Business Management di Kingston International School, Singapore. Sebagai salah satu negara yang memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia, negara ini melakukan sistem penilaian berlapis berbasis AI, tidak hanya menggunakan aplikasi pendeteksi plagiarism seperti Quetext, Plagium, atau Duplichecker, namun juga secara manual dan detail.
Seperti pada mata kuliah Project Management, menurut Natsir banyak terdapat aplikasi untuk penyelesaian tugas secara kompleks yang biasa digunakan oleh project manager seperti Asana, Trello, Smartsheet, dan Microsoft, namun jangan berharap penggunaan perangkat lunak tersebut akan lolos, mereka dengan mudah dapat mendeteksinya.
Membaca fenomena ini saya jadi berpikir bagaimana nasib pekerjaan manusia dengan hadirnya ChatGPT? Kita seperti tengah mengalami situasi sulit dalam rentang sejarah umat manusia. Mampukah kita membaca peluang pasar kerja hingga 30 tahun ke depan? AI telah mengambil alih berbagai jenis pekerjaan, termasuk knowledge ekonomi. Sebelumnya AI level dasar dan robot telah menggusur pekerjaan pekerja kerah biru.
Dan sekarang ChatGPT diprediksi akan merebut sektor kerja kerah putih seperti; copywriter, content writer, programmer pemula, dan knowledge worker lainnya. Sebagian guru dan dosen cemas karena bisa saja siswa menggunakan ChatGPT untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Cobalah buat esai menggunakan ChatGPT, lalu dicek plagiarisme. Maka tidak ada indikasi plagiat. Karena itu, beberapa universitas di Amerika banyak yang menghilangkan PR (pekerjaan rumah) yang diganti dengan tugas di kelas, makalah dengan tulisan tangan, kerja kelompok dan ujian lisan.
Pertanyaan terakhir saya; apakah ChatGPT mampu seperti The Flash seorang tokoh fiksi film futuristik yang bisa bergerak lebih cepat dari pemikiran manusia melebihi kecepatan cahaya? Saya pernah coba bertanya di ChatGPT tentang dua pertanyaan ini. Dengan rendah hati ChatGPT menjawab; ‘’Saya tidak mampu menggantikan kecerdasan manusia, tetapi lebih sebagai alat yang dapat membantu meningkatkan efisiensi dan akurasi dalam tugas-tugas tertentu.
Dengan jawaban ChatGPT ini saya kemudian bertanya kepada diri sendiri; Apakah di masa mendatang kita masih sabar menggunakan pikiran manusia yang memiliki keterbatasan waktu dan kemampuan di banding kecerdasan buatan yang telah di-framing bergerak lebih cepat seperti Flash? Bahkan ChatGPT bisa menghibur kita yang sedang galau dengan leluconnya di tengah kondisi semua orang yang sibuk memegang gawai masing-masing. Bukankah ChatGPT lebih setia dengan pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan dibanding manusia di sekitar kita yang khusuk dengan aktivitasnya. Atau mungkin teman kita itu juga sedang curhat dengan ChatGPT?
Murparsaulian__Penulis dan penggiat media kreatif