
Oleh Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M. Phil
Ide tentang surga adalah ide terburuk sepanjang sejarah peradaban. Kita mengingkari hidup itu kini dan di sini (here and now). Kita hanya berlagak numpang hidup dalam konstanta perkalian “kebahagian dan keberlimpahan” di luar sana. Surga itu di luar sana, ujar mereka. Bukan di sini. Maka sibuk orang-orang mendorong dan mencemplung dirinya mengurus ihwal serba sana, serba gaib. Sembari meninggalkan sejumlah ihwal yang mustahak dan penting di depan mata. Asumsinya: kehidupan terbaik itu berada di tempat lain.
Esoterik Timur memperkatakan bahwa segala yang ilahi itu bukan di atas, tetapi di dalam diri. Maka tikamlah ke dalam diri. Bukan “mengadili” segala ihwal di luar diri. Jika planet ini bergerak dalam pacuan serba bundar mendekati elips, maka dalam kebijaksanaan Timur, tiada yang atas dan tiada bawah. Semua bergulir bak gelinding bola. Sebuah peristiwa gelinding yang tak memperlihat mana sisi depan, mana sisi belakang dan samping. Lalu, kenapa kita harus mengadu ke atas? Bukan menggali dan mencebur ke dalam diri? Sebagian besar visi budaya di dunia: Tuhan telah menentukan jalan hidup seseorang. Untuk itu menengadahlah ke atas!
Lalu, ihwal beragama. Agama itu bukan doktrin yang ditanam di kepala, namun adalah cahaya yang menyeruak dari dalam hati. Sekali lagi, di dalam diri anda terhimpun “harta karun” tentang surga. Bukan ide tentang surga. Ketika dia dipersepsikan selaku “doktrin” yang ditanam di kepala, maka kepala akan menjadi panas. “Agama yang kaya akan dimensi cinta itu, dipenggal. Akal digantung” (Rumi).
Ditarik pada rentang matriks pergaulan sosial di atas bumi, semburat relasi antar orang, tema keterpisahan sebagai akibat relasi yang mempertukarkan ‘makna’ dengan ‘kuasa’, terbentuklah relasi si kuat dengan si lemah. Relasi tanpa konjungasi antara tuan dan hamba. Raja dan patik-penjaja, tuan dan hamba sahaya, kaya-miskin, agresif-pasif-posesif, sang bos-buruh, berilmu-dungu, si tua dengan muda, tuan dan pembantu; guru-murid; lelaki-wanita; khalifah-oiketai; juragan-kuli habuk; senior-junior. Sebuah model relasi yang menggeser “makna” lalu dipertukarkan dengan “kuasa”. Kerelaan manusia mempertukarkan “makna” ke “kuasa” diawali dari kemampuan mengumpul kapital gigantis di awal sejarah penciptaan primordial (Qabil, Qarun, Bal’am, Hamman). Digeriangkan lagi model relasi yang diletupkan oleh revolusi industri.
Diikuti keresahan akan kelangkaan sumberdaya untuk diolah [mesin industri], maka manusia “mesin” industri itu merambah tanah-tanah jauh untuk menemukan bahan olahan baru. Terjadi relasi dagang dalam bungkus semangat discovery, berujung penjajahan (kolonisasi). Inilah sangkar-sangkar pertukaran “makna” ke “kuasa”. Genap oleh jelitaan “kesenewenan” (sénnuie, Prancis) ekonomi ekstraktif yang menggila hingga kini. “Makna” ditendang ke pojok paling pinggir dari sebuah tebing, ditukar dengan ‘Kuasa” yang tercagak di tengah-tengah peradaban yang memimpikan surga di seberang sana.
Terhidang dua pilihan: rubah lumpuh atau singa baik hati. Para pencari kebenaran selalu dialamatkan sebagai sosok penuh “rajuk sosial”. Tak, dia hanya melalukan semacam safari, perjalanan ke ruang-ruang sunyi, senyap dan sepi. Alias untuk menemukan sesuatu yang “jinak” lontarkanlah dirimu ke “tanah-tanah liar”. Sekian banyak ruang “tanah liar” yang tak dirimbunkan oleh dzikir, doa dan segala rapalan tentang Tuhan di atas dan ilahi dalam diri. Kampung, kota adalah representasi “tanah jinak”, karena di sini sekian banyak orang yang berzikir, malah sok alim dan meringkus kebenaran sepihak, juga penjijit kunci surga.
Sang pertapa menemukan sebatang pokok kayu rindang di sebuah hutan legam. “Penikaman ke dalam diri” pun berlangsung di bawah kayu nan teduh. Hari pertama dzikir dan rapalan segala doa dan mantra di’pohon’kan dalam model panjatan kesadaran kosmik. Hari kedua, perut mulai bergolak dalam sejumlah lapar. Rapalan melemah. Hari ke-3 sang pencari kebenaran turun bukit legam dan mencari makanan seadanya. Keliaran bunyi perut yang mengaum, terjinakkan sejenak. Tak jauh dari posisi duduknya, dia melihat sosok rubah tak memiliki dua kaki depan (alias menjalani fungsi semi kelumpuhan). Bin aneh? Rubah yang tak bergerak ini malah sehat sejahtera dan serba afiat.
Penggalian dalam diri terus berlangsung sembari tanya yang menumpuk mengenai ihwal rubah nan sehat tapi lumpuh. Sejurus kemudian, melintas seekor singa yang menjinjit dengan mulut segumpal daging. Si pertapa meloncat tinggi seraya memeluk dahan paling puncak. Demi keselamatan badan (hidup di sini dan kini). Singa itulah sumber setia pembawa makanan bagi si rubah lumpuh itu saban hari. Dia menjatuhkan makanan di depan mulut rubah, lalu seketika pergi. Begitu seterusnya.
Apa yang tampak? Di sini singa mempertukarkan “kuasa” menjadi “makna”. Si pertapa merenung dan merenung: Kejadian singa dan rubah ini adalah pesan ilahiah. Terpikir olehnya, mungkin pesan Tuhan: “Kenapa daku harus turun bukit legam ini demi mendapat sepotong roti? Fokus saja pada meditasi mu”! Dia memusatkan konsentrasi ‘tarak’ dalam tingkat ekstrim. Hari pertama aman, hari kedua, mulai nanar dan mata berbinar bintang. Hari ke-3 terasa lemah. Hari ke-5, ke-6, mulai semaput dan tak sadar diri. Hari ke-7 semacam liminal, pingsan dan sadar kembali. Hari ke-8 mendekati nazak dan terperangkap dalam ilusi dan pergolakan kematian.
Di celah-celah semak, seseorang melintas. Sosok yang melebihi kebijaksanaan dari langit kebijaksanaan di wilayah itu. Dia mendengar suara erangan mengiris. Mendekat dan mendekat. Lalu, dia bertanya pada si pertapa “lumpuh”. Sang pertapa itu dalam erangan leleh liur berkisah A to Z kepada sang bestari: “keputusan meditasi, mengisahkan singa baik hati dan rubah lumpuh. Itulah pesan ilahi yang datang kepada ku. Kenyataannya? Aku menderita karenanya. Lihat lah!”
Ha ha ha… “ahl al ihtiralibillah” (mereka-mereka yang tertipu akan Tuhan), ujar Al Ghazaly lunak. Sang pertapa itu terperangkap sebagai “sosok mereka yang terpedaya oleh (akan) Tuhan”. Pak bestari, nyengir dalam hati. Dia berkata tegas lewat suara dada: “Benar, benar, tentu saja itu pesan ilahi. Lalu kenapa Anda memilih jadi sosok rubah yang lumpuh? Bukannya bermetamorfose selaku singa yang baik hati?”.
Duhai para penukil hidup; kita sering melayari diri dalam tindakan antara lelaku ilusif-inklusif dan kehendak melumpuh. Antara dinamisme-progresif yang menggembira dengan fatalisme-tragis. Mendabik dada dibalut simbol-simbol artifisial di kampung sendiri, walau perut lapar dan pingsan. Para pendatang tertawa sembari berujar: “inilah para pendurhaka di tanah bunda”.
Yusmar Yusuf___Kosmolog dan Budayawan Riau dengan pemikiran progresif-alternatif. Guru besar Sosiologi dalam ‘Malay Studies and Sociology of Knowledge’ Fisip Universitas Riau. Pengampu utama mata kuliah ‘Filsafat Ilmu Pengetahuan’, pengelana dalam lorong ‘Urban Tasawuf’ yang berkolaborasi dengan para pengelana tasawuf Afrika Utara dan Eropa. Kolektor mobil offroad, musafir nan fakir dalam kehausan spiritual tak berujung.