Oleh Harnata Simanjuntak
Pada tanggal 4 Maret 2023 lalu, atas inisiatif beberapa pegiat lingkungan, seperti Agoes S Alam, Darwis M Saleh, budayawan Profesor Dr. Yusmar Yusuf, M Phil, writerpreneur Muhammad Natsir Tahar dari Batam serta beberapa seniman dari Pekanbaru, Rupat dan Dumai melakukan ekskursi ke beberapa pulau terbiar di Selat Rupat. Berangkat dari Bandar Bakau, Dumai Pukul 10.37 WIB tim meninggalkan bibir pantai Bandar Bakau.
Pulau Mentele
Tujuan pertama adalah pulau Mentele, berjarak sekitar 6,5 kilometer. Air laut yang masih terus menyurut memudahkan kapal menyambangi beting pulau. Pukul 11.21 WIB bibir kapal mencium beting pulau Mentele. Sepanjang mata memandang terlihat hamparan pasir. Meski tidak secerah atau sebersih pasir di kawasan pantai Rupat Utara namun tentu berbeda jauh dengan pantai Dumai yang ketika surut hanya menyajikan lumpur ditutupi serasah. Pemandangan menarik lain adalah di hamparan beting kami menemukan ikan jenis Anchovy sp sebanyak 3 hingga 5 ekor per meter persegi, terpapar ke permukaan. Luasnya beting dan elevasi yang sangat datar membatasi mereka mengejar air laut ketika mulai surut subuh harinya.
Titik pendaratan kami cukup jauh dari vegetasi bakau di pulau Mentele, maka diputuskan untuk tidak melakukan pengamatan lebih dekat namun meneruskan saja perjalanan ke lokasi pulau berikut.
Pulau Rampang. Kapal kemudian mengarah ke hulu selat Rupat menuju pulau Rampang. TItik pendaratan kami tetap di beting namun dekat dengan vegetasi bakau. Menurut Darwis Muh Saleh, pegiat kelestarian bakau Dumai, dari amatan beliau yang telah sering melakukan kunjungan ke pulau – pulau di sepanjang selat Rupat, vegetasi bakau di pulau Rampang relatif lebih beragam, terutama dibandingkan dengan vegetasi Bandar Bakau di Dumai. Avicennia sp. Terlihat mencolok di garis depan pantai pulau Rampang, baru kemudian diikuti oleh Rhizopora sp. Bentuk perakaran Avicennia sp. sempat memantik diskusi perihal keterpautan organisme – organisme laut, maupun bumi umumnya dengan benda – benda lain di semesta. Dan Brown bercerita sedikit tentang hal itu di novelnya, Origin.
Pulau Baru. Setelah Rampang, tujuan kami berikut adalah pulau Baru. Seperti namanya, menurut informasi dari beberapa anggota tim pulau tersebut baru muncul ke permukaan pada tahun 2005. Dapatlah disimpulkan sementara bahwa laju sedimentasi yang terjadi di sepanjang Selat Rupat cukup tinggi hingga menghasilkan sebuah pulau. Bahkan untuk menuju Pulau Baru pun kapal kami sempat tersendat karena sangkut, terhambat beting yang terhampar di sepanjang perairan selat Rupat.
Temuan menarik lain meski hanya pengamatan kasat mata, semakin ke mulut selat ternyata butiran pasir semakin halus. Pasir di Pulau mentele relatif lebih kasar dibandingkan yang terhampar di pulau Rampang. Begitu pun butiran pasir di pulau Baru jauh lebih halus, bahkan bercampur lempung. Karena itulah permukaan beting pulau Baru yang kami kunjungi ketika surut terasa licin. Butuh kehati-hatian untuk berjalan kaki di atasnya. Sumber lain mengatakan bahwa pulau Baru menjadi tempat buangan limbah kerukan pelabuhan Dumai.
Tampaknya kondisi kemunculan Pulau Baru dan variasi butiran pasir di tiap pulau terjadi salah satunya karena kontribusi posisi Pulau Payung yang melintang serong di atas pulau -pulau lebih kecil tersebut sehingga memodifikasi pola arus, kemudian dan memengaruhi sebaran fraksi sedimen.
Tentu perlu kajian lebih serius untuk membuktikan asumsi ini. Pulau Baru juga menawarkan kesempatan untuk melakukan penelitian tentang terbentuknya sebuah ekosistem baru. Kemunculan fauna unggas seperti burung gagak di daratan beting menjadi menarik karena terlihat hadir di pulau – pulau lain.
Namun bagi saya hal paling menarik di atas semua itu adalah lokasi pulau – pulau tersebut jika ditarik garis lurus ternyata hanya berjarak 5 km dari kampus Ilmu Kelautan Universitas Riau di Purnama Dumai.
Menjelang 30 tahun sejak dioperasikan pertama kali, terdengar kabar lokasi kampus akan berbenah menjadi kawasan Ekowisata Bahari. Semoga tidak berhenti sampai di sana. Andai pulau – pulau kecil di selat Rupat dikutsertakan tentu akan menjadi sajian lebih berperisa .
Andai ada kegiatan memberi edukasi kebaharian di sabuk hijau bakau kampus Unri kemudian lanjut berwisata ke pulau – pulau kecil di sekitar Dumai yang bisa dicapai dengan perjalanan singkat, tak sampai satu jam menggunakan kapal kayu, tentu menjadi pilihan wisata yang sulit ditampik.
Suatu ironi ketika bercakap – cakap dengan penduduk Dumai yang dua kali sebulan didatangi air laut akibat pasang rob namun masih banyak yang hanya menyalahkan tumpukan sampah di parit sehingga air laut menggenang lama. Pemahaman tentang fungsi bakau, jalur hijau, kenaikan permukaan air laut, apalagi pasang semi diurnal, belum terlalu umum.
Edukasi dalam ekowisata bahari semoga lebih mendekatkan dan memberi pemahaman bagi penghuni kota pesisir Dumai dan sekitarnya tentang ekosistem laut.
Harnata Simanjuntak___Alumnus Ilmu Kelautan Universitas Riau