
Foto Ilustrasi: pixabay.com
Oleh Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M. Phil
Duhai betapa malang sebagai Mak di Sumatra dan Semenanjung Tanah Melayu. Alias, si Mak harus berhadapan dengan segala durjana. Tak terkecuali kedurhakaan seorang anak (lelaki). Freudian menyusuri parit sejarah yang keliru, ketika menjinjit dendam Oedipus Complex terhadap sosok sang ayah [saingan-lampiran biologis] sebagai ekspresi penguasaan kelopak bunda.
Mungkin kisah Oedipus ini bersepupu pertiwi dengan legenda Sangkuriang-Dewi Sumbi di Tanah Parahiyangan. Oedipus (Sangkuriang) tak mendurhaka, malah membeli cinta dalam selera “tomber de l’amoureusse” (jatuh cinta desakan biologis, sembari menghapus akte kelahiran): aimer jusqu’ à la mort (cinta sampai mati).
Mak di Sumatera (rantau Melayu), pra hadith Nabi yang mempercakapkan mengenai “surga di bawah telapak kaki ibu”, ialah serombongan perempuan malang, begelung tudung kepala lusuh yang dilupakan dalam sejumlah khilaf dan kesengajaan vulgar. Sebaliknya, segala mitos, legenda atau pun floklore yang mempertaruhkan keliaran sang anak terhadap ibu, terhadap Mak (Emak), ialah sebuah situasi yang diperlukan bagi ‘kedatangan’ sebuah hadith moralitas dari tanah Anbiya (Arab) di awal-awal Islam mekar. Alias, folklore itu sendiri sejenis “hadith lokal” yang dipetik dari ketinggian akal budi. Sebuah cara manusia tropika menghadap dan mengungkai dunia.
Sebaliknya, Folklore itu seakan situasi anteseden, variabel ‘pendahulu’, pengantar, alias selasar bagi kuntum hangat hadith Nabi mengenai ibu dan surga. Folklore jenis inilah yang bersedia menyangkarkan hadith itu digelung dalam ‘rumah kehangatan’ Melayu. Setara dengan anteseden psikologis.
Yang paling famous kisah Malinkundang dalam imajinasi Minang tentang sudut liar anak melebihi luas laman rumah bagonjong. Lanjut dengan Sampuraga dari tano Batak. Dedap di pesisir timur Riau dan si Tanggang dari Semenanjung Tanah Melayu (termasuk Batu Belah Batu Bertangkup). Empat legenda (folklore) ini mekar dan membidang di rantau tanah Melayu. Tragis kedurhakaan ini berakhir pada katup yang sama: setting perairan. Di atas perairan ini lah berlangsung pemutasian bentuk (maujud) menjadi makhluk kaku (batu/pulau). Batu dan pulau ini dilanjutkan lagi dalam skets pandang berdimensi bahtera.
Air, laut, tasik, danau atau apapun yang mewakili peristiwa “tenggelam dan penenggelaman” seakan dengan sengaja dihadirkan demi menghentikan instink kebaharian kita. Laut itu misteri, air itu sumber kehidupan sekaligus wakil dari sakarat kematian dina (mati lemas). Kita pun takut pada segala badan air, termasuk kolam sekalipun. Pada sisi lain, satu sirah agama samawi mengisahkan laut sebagai simbol ilmu pengetahuan, di situ Khidir bertakhta dalam kemisteriannya; bertangkai al ilm al laduniy (ilmu keabadian): Paradoks.
Empat pucuk folklore ini juga seakan hendak menyongsong kenyataan psikologis bagi calon bunda (para perempuan Melayu, Minang dan Batak) untuk siap-siap (sedia) berdepan dengan sejumlah kedurhakaan warisan melintas zaman. Hadir dalam sejumlah pengulangan tanpa simpangan baku. Menjadi Mak di Sumatera dan Tanah Melayu, siapkan diri dan mental untuk menerima kedurhakaan bersisian pasrah. Atau sebaliknya, para Mak ini memang merindukan “kedurhakaan” itu, sebagai uji karrat tentang sumpah yang makbul-muktamat. Uji petik sumpah itu memerlukan “momen” dan peristiwa, sekaligus obyek.
Penjumlahan tafsir atas “sumpah” dapat disejajarkan dengan posisi “memberi” dalam kaidah antropologik. “Memberi”, bagi Marcel Mauss ialah sebuah ikhtiar untuk mempertontonkan superioritas. Di sini superioritas sang bunda, sang Mak di rantau Melayu: Tak diragukan lagi. “Sumpah” yang dimajeliskan itu bak sihir, yang bawaannya tak beraturan. Cenderung mengarah ke hal-hal tabu dalam nilai sosial. Sihir, malah lebih tajam dari sumpah: dia bersifat pribadi, rahasia, misteri dan tunggal.
Mak yang menjalani sejumlah kedurhakaan itu, tak sampai menggunakan sihir, teluh dan cuca sejundai kepada anaknya. Cukup menggunakan sumpah dan memutasikan bentuk asali menjadi bentuk benda mati yang kaku, tak bergerak. Sejarah mendatanginya sebagai “prasasti kedurhakaan”. Di samping “prasati” itu, kita disuruh merenung, pegun dalam kehampaan tak berhingga. Sebuah “pertobatan ala lokal” sebelum hadith-hadith moralitas yang sejajar itu menjelaskan mengenai dosa dan kedurhakaan kepada sang bunda.
Menjadi Mak di Sumatera, sebuah kenyataan malang, murung, muram. Dari segala kemalangan inilah terbit air mata kisah atau kisah air mata yang mempertautkan antara kedurhakaan, sumpah, memberi dan superioritas gaya agen tunggal. Mak di sini memposisikan diri selaku agen tunggal. Sosok yang tak berkesempatan mendiskusikan kebahangan hati, kegundahan dan gulana jiwa. Dia seorang “single parent”, yang hanya punya pinta “recognition” (dikenal ulang) dalam kabus waktu. Dia sosok “orang tua tunggal” yang tak punya ruang diskusi dan tersudut pada sebuah pojok ruang yang tanpa dialog. Juga dialog langit: di sini sumpah bekerja secara singularitas. Lalu dengan sumpah, dia memberi sekaligus mempertontonkan superioritas.
Anak-anak Melayu, Minang dan Batak mungkin punya potensi mendurhaka? Kisah ini tak terbit di tanah Jawa, Kalimantan dan Sulawesi sebagai bahan baku folklore yang bergerilya hingga menyelusup ke renjana kanak-kanak. Hari ini, bunda dan Mak itu diganti oleh konstituen, rakyat yang punya suara. Para anggota legislatif atau pemimpin yang terpilih, sudahkah berdurhaka kepada bunda dan Mak pemberi suara itu? Begitu juga pengusaha kepada rakyat sekeliling. Ingat!!! Sumpah datang dengan efek singularitasnya. Dan dimajelis sebagai peterakna superioritas para kaum lemah dan kaum bawah…
Percaya akan kadar sumpah ini, dia bersisian temaram dengan ‘iman’. Sikap beriman, ujar Blaise Pascal: “Berlututlah! Daraskan doa, dan kau akan percaya!”.
Yusmar Yusuf___Kosmolog dan Budayawan Riau dengan pemikiran progresif-alternatif. Guru besar Sosiologi dalam ‘Malay Studies and Sociology of Knowledge’ Fisip Universitas Riau. Pengampu utama mata kuliah ‘Filsafat Ilmu Pengetahuan’, pengelana dalam lorong ‘Urban Tasawuf’ yang berkolaborasi dengan para pengelana tasawuf Afrika Utara dan Eropa. Kolektor mobil offroad, musafir nan fakir dalam kehausan spiritual tak berujung.