December 11, 2024
Saiman

Oleh Saiman Pakpahan

Siklus filsafat, turn to anarchism

Perjalanan panjang filsafat dunia, terutama dunia belahan Barat, menjelaskan bahwa terjadi drama falsafati yang sangat fluktuatif, dari pertengkaran gagasan sampai hukuman mati demi mempertahankan prinsip-prinsip kebenaran yang mereka percayai.

Pergeseran paradigma dari mitologis di zaman arkaik ke logos di zaman Yunani kuno, dan terhubungnya gereja (baca agama) dengan kekuasaan pada abad pertengahan adalah bentuk-bentuk pergeseran pembacaan para sarjana pada masa itu, untuk kemudian dibantah pada masa-masa abad pencerahan, yang berusaha menjadikan ilmu pengetahuan (indra manusia) sebagai alat untuk mendefinisikan alam raya, negara, kekuasaan dan lain sebagainya.

Pada masa ini, dua filsuf besar lahir, untuk membantah rumusan keadaan pada musim semi kekuasaan dan agama. Pertama, Francis Bacon, filsuf Inggris yang dikenal sebagai bapak empirisme di dunia. Dia mengatakan bahwa, untuk mengetahui secara terukur keadaan yang ada di dunia, tidak lagi didasarkan atas petunjuk dan kebeneran yang datang dari langit, tapi, ianya harus dibuktikan dengan metode indrawi (otak) manusia.

Kedua, Rene Decartes meletakkan dasar-dasar ilmu pengetahuan tidak lagi negara sentris atau agama sentris, tetapi untuk mengetahui apa yang terjadi di muka bumi ini, harus terlebih dahulu meragukan semuanya. Pada masa-masa inilah, filsuf-filsuf besar lahir, kita sebut saja misanya, Martin Luther, Jhon Locke, Montesquieu, Voltaire, JJ. Rosseau dan lain sebagainya.

Positioning gagasan

Judul pada tulisan ini sengaja dibuat sedemikian provokatif, untuk memancing emosi massa intelektual agar bertengkar secara akademik terhadap cara-cara dan hakikat ilmu pengetahuan diperoleh. Tulisan ini sesungguhnya berpretensi terhadap pikiran anarkistik Feyerabend terkait upaya melawan penindasan yang dilakukan oleh sekelompok ilmuan/akademisi (minoritas) yang membajak ilmu pengetahuan sebagai ‘alat’ penindasan baru di masyarakat akademik. Adalah Paul Feyerabend, filsuf yang dilahirkan dan dibesarkan dalam setting dunia yang anarkis, dunia yang dituntun oleh semangat materialisme yang kuat, (politik, kekuasaan dan ekonomi) melahirkan pikiran liar untuk tidak setuju terhadap normal sains Kuhnian, (baca hegemonisme) dalam bentuk universalisasi metode ilmu pengetahuan.

Mengapa Paul Feyerabend?

Di masa mudanya, filsuf ini, pergi meninggalkan Jerman, tanah airnya, untuk belajar secara mendalam ke negeri seberang (Inggris) dan menimba ilmu pada filsuf besar yang bernama Karl Raimund Popper. Di universitas di mana Popper mengajar, Feyerabend menjadi murid ‘setia’, terutama pada dalil akademik yang disemai Popper yang dikenal dengan falsifikasionisme. Pada tahapan ini, Feyerabned muda sepakat bahwa untuk menguji ilmu pengetahuan, maka ilmu pengetahuan tersebut terlebih dahulu harus dibantah.

Tanpa ada bantahan serius dari para sarjana, maka ilmu pengetahuan tersebut hanya berkembang di dalam satu kelompok dan menurut Popper, belum bisa disebut sebagai ilmu pengetahuan. Demikian dalil ini terus menerus menjadi perangkat akademis yang dipastikan oleh ‘mereka’ sebagai alat uji akademik yang canggih.

Demikian halnya Thomas Kuhn dengan buku yang menceritakan bagaimana struktur dan revolusi di dalam ilmu pengetahuan. Dia memastikan bahwa, fase di mana ilmu pengetahuan pasti akan mengalami tabrakan ide, yang ia sebut anomali, untuk sampai pada normal sains berikutnya.

Struktur perpindahan sains ini, terjadi hampir di semua rumpun ilmu, terutama dalam ilmu sosiologi, politik dan hukum, terjadi upaya serius mempertahankan pendapat mereka, dengan cara yang mereka yakini, dan paksakan benar dalam struktur atmosfer akademik. Pergulatan pandangan dan adu mazhab, menghantarkan tatanan ilmu pengetahuan menjadi sangat terkotak dan cenderung dijadikan alat penindas baru bagi sekelompok sarjana yang berhasil mempengaruhi keadaan dunia.

Dalam keadaan seperti inilah, kemudian Feyerabend muncul untuk menentang segala metode dalam ilmu pengetahuan sebagai penindasan bentuk baru, karena dia (ilmu pengetahuan) dipakai oleh para sarjana sebagai bentuk ideologi yang menindas. Dalam buku against method Feyerabend mengatakan, ilmu pengetahuan akan dikatakan sebagai ilmu, jika dia dilepaskan dari cara-cara yang hegemonik melalui metode mapan selama ini, ilmu pengetahuan harus dibebaskan dari semua itu, agar ilmu pengetahuan terbebas dari rasa takut metodologis yang dipaksakan selama ini sebagai kebenaran akademik.

Maka, Feyerabend juga sering disebut sarjana liar, anti metode untuk membebaskan ilmu pengetahuan dari hegemoni yang menggurita. Kenapa menindas? kenapa harus dibebaskan dari tafsir ritual akademik Barat? Karena menurut Feyerabend kekuatan ilmiah yang ditafsirkan oleh sarjana-sarjana (ilmuan) barat menjadi semacam kekuasaan yang tidak memberikan ruang dan rasa adil bagi sarjana lain (inferior).

Dia mencontohkan falsifikasinya Popper dan revolusi ilmu pengetahuan Kuhn. Buat dia, satu-satunya cara, untuk mengetahui bahwa objek itu sebagai sebuah ilmu pengetahuan adalah dengan cara membebaskan ilmu pengetahuan itu dari cara-cara dan metode yang mengikat. Lalu? (*)

Saiman Pakpahan___Dosen Fisip Universitas Riau, kandidat doktor, pemikir progresif dan aktivis-akademisi yang energik.

Leave a Reply