Oleh Muhammad Natsir Tahar*
Rasionalitas telah terpatah-patah sepanjang sejarah, demikian pula abstraksi empirisme yang retak-retak. Padahal kedua mata pisau analisis epistemologi ini harus berdampingan sama tajam untuk membuka jalan masuk bagi sinar matahari kebenaran.
Phytagoras memprediksi bentuk bumi yang bulat dan berputar. Enam abad setelahnya Ptolemeus menyebut Phytagoras tidak logis dan mengada-ada. Orang-orang di sekelilingnya termasuk otoritas gereja mengklaim bahwa hal yang rasional itu adalah bumi membentang datar dan tidak bergerak. Tapi rasionalitas itu berbalik sejak zaman Copernicus dan Galileo. Di sini logika harus berpisah dari subyektifitas pengamat.
Subyektifitas adalah musuh bagi kebenaran apalagi jika digunakan untuk pembatuan epistemologi, dan memaksa dunia percaya kepada hasil-hasil sains. Ketika sains mulai berlagak seperti agama; extra ecclesiam nulla__tidak ada keselamatan di luar gereja, menjadi tidak ada kebenaran setelah sains.
Trust no one, jangan percaya kepada siapapun! Itu kesimpulan Journal of the American Medical Association (JAMA), saat membongkar kejahatan klaim sains berjudul Project 226; para pebisnis industri makanan berbahan dasar gula yang tergabung dalam Sugar Research Foundation membayar para peneliti Universitas Harvard (1962) untuk mengalihkan perhatian negatif dari gula ke lemak dan kolesterol, sebagai biang utama penyakit kardiovaskular. Masyarakat dunia telah ditipu puluhan tahun akibat pembutaan oleh kesaktian sains ini.
Paul Karl Feyerabend menjalani pertobatan setelah mempelajari fisika kuantum. Ia melihat bahwa fisika kuantum telah menolak beberapa patokan dasar fisika yang ketika itu dianggap modern oleh mazhab Newtonian yang di atasnya prinsip-prinsip positivisme ditegakkan.
Feyerabend sebagai sang anarkis itu menjadi diteguhkan ketika para fisikawan dan filsuf menganggap teori mekanika kuantum sebagai dukungan bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Gagasan Popper, Thomas S. Kuhn, dan terutama Imre Lakatos, sangat mempengaruhi pemikiran filsafatnya.
Dalam mekanika kuantum, bermacam-macam patokan telah dilanggar, dan anehnya patokan itu dijunjung tinggi oleh para filsuf bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Feyerabend menolak idealisme, yaitu pandangan bahwa rasionalitas itu agung, universal, terlepas dari sisi subjektif, konteks dan historis.
Feyerabend menegur sepak terjang saintis yang berulah seperti anak muda keras kepala dengan mempersempit ruang metodologisnya, dan membuang postulat yang masih berada di wilayah abu-abu. Ini tampak seperti taklid buta pada metode Positivisme yang dipelopori oleh Auguste Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal dari apa yang diketahui, faktual, dan positif. Ia mengenyampingkan segala uraian dan persoalan di luar dari pada fakta. Oleh karenanya ia menolak metafisika. Apa yang diketahui secara positif adalah segala yang tampak dan segala gejala.
Padahal selain positivisme, epistemologi sebagai istilah lain dari filsafat ilmu (yang mengharuskan penganutnya berada dalam fase dungu dan bertanya: agnotisme) menggunakan berlapis-lapis metode seperti penalaran induktif-deduktif, metode kontemplatif al-Ghazali, metode Skolastik, metode dialektik, dan usulan-usulan lainnya semacam; apa saja boleh, meminjam Feyerabend.
Bagi Feyerabend, sains hanyalah “tujuan antara” saja yang kemudian harus juga dibagi-bagikan kepada bidang-bidang seperti sihir, sulap, mitos agama, pengobatan alternatif, esoteris Timur dan pengetahuan lain yang tidak bisa dibuktikan secara sains.
Penganut sains garis keras menyepak metode selain positivisme dan melabel mereka sebagai ilmu palsu (pseudosains). Lalu apa yang dapat mereka katakan tentang fenomena suku Dogon yang memiliki pengetahuan tentang bintang Sirius selama ribuan tahun itu?
Suku primitif bertopeng yang menetap di Afrika Barat ini telah melompati prinsip-prinsip pada metodologi astronomi dan terpisah berabad-abad dari sentuhan sains manapun. Tanpa teleskop Hubble dan James Webb, bagaimana mereka bisa mengetahui tentang bintang yang jauh bernama Sirius sejak berabad lampau. Ini akan memeningkan kepala pembuta sains antariksa.
Suku Dogon berlandaskan pada satu Tuhan, Amma, percaya bahwa nenek moyang mereka adalah keturunan Mesir. Mereka mewarisi pengetahuan astronomi sejak tahun 3.200 SM. Tanpa proses ketat pada metodologi sains, sejak dulu kala mereka sudah tahu jika bumi itu berputar mengelilingi matahari. Mereka mengenal berbagai rasi bintang dan mengatakan bahwa galaksi Bima Sakti berbentuk spiral dengan sejumlah planet yang mengelilinginya.
Agar tidak superfisial, penganut positivisme berhentilah dari menyipitkan mata dan bermain dengan ilusi-ilusi dogmatisme sains. Berangkulan dengan banyak kemungkinan secara falsafati, menjadikan tujuan kepada pemenuhan kebutuhan ilmu akan terlihat bijaksana. Sebijaksana Thor, sang dewa petir putra Odin, ketika mengatakan, di planet Asgard, teknologi dan sihir sudah bercampur aduk sejak pertama. (*)
Muhammad Natsir Tahar__seorang Writerpreneur dan teman baru Paul Karl Feyerabend.