
Foto Ilustrasi: pixabay.com
“Spiritualitas manusia modern agak bantut dan kurang muai, ujar Carl Gustav Jung, dibanding nenek moyang [gemurah] mereka sebelumnya, disebabkan kelebihan gizi”. Di puncak peradaban gizi modernitas, Tuhan menjauh dan terpelanting dari relung kolam spiritualitas.
Puasa menyuruh kita menjadi “bukan siapa-siapa”. Sebuah upaya membangun arsitektural ke-putus-asa-an. Saat putus asa, kau akan menemukan Tuhan. Menghentikan kesadaran ego. Melepas dualitas di semesta kehidupan. Puasa mendesak orang menyongsong kesadaran murni. Sembari menghapus segala identitas [selaku ayah, direktur, paman, aki, penulis, dramawan, suami, seorang psikotik]. Sebuah rute menuju kehampaan. Mungkin saja Anda akan gelisah pada galibnya. Gamang atau takut akan kehampaan itulah awal dari kebijaksanaan.
Puasa adalah ‘ruang’ yang sengaja dihadirkan dalam semua agama untuk tumbuh mekarnya kecambah bernama ‘masalah’. Dia bak kolam masalah. Kita diajak untuk menceburkan diri ke dalam ‘kolam’ miniatur masalah itu. Sebab, ujar Rumi, rute agama adalah jalan penuh olak gelombang masalah, ragam bencana. Rute ini bukan untuk orang-orang yang bermental tempe [pecundang]”. Menghindari segala nuansa pecundang dan mental tempe itu, maka semua agama mengajak untuk berpuasa pada momen-momen sakral. Demi menugal, menggali dan menemukan masalah di dalam diri mu: Ya, lewat peristiwa mendengar keheningan. Sumur keheningan yang ada di dalam diri.
Sejumlah makhluk pun menyelenggarakan puasa; singa berpuasa satu hari [24 jam] dalam satu minggu. Dalam satu tahun dia berpuasa selama 52 hari. Ular, lebih dramatis, memperbudak dirinya –“menjadi bukan siapa-siapa”- menyelenggara puasa selama 3 bulan penuh. Pembudakan ini dilakukan demi persalinan kulit dan sel melalui puasa nan panjang. Imbuhan yang disangkutkan pada peristiwa puasa ular ini adalah “from fast to fest”. Setelah berpuasa amat lama, dia akan menyemburkan pesta-pora. Mencari dan menemukan mangsa demi sebuah festival. Berhati-hatilah ketika Anda berjalan dalam semak samun; mana tau ada jenis ular tertentu baru selesai menjalani masa ‘imsak’ [masa menahan selama 3 bulan] itu.
Singa, ular juga mendulangkan dirinya dalam kehampaan ‘bukan siapa-siapa’. Semuanya demi dan untuk ‘menjadi siapa’ di depan Tuhan dan di depan kehidupan. Rumi sang begawan agung dalam tradisi sufisme, mempersembahkan ‘telunjuk yang menunjuk bulan’ lewat rubaiyat dan matsnawi. Semua digores dalam pola syair dan puisi. Seorang sufi yang bersyair bukan untuk popularitas dan keterkenalan publik. Sejatinya syair yang mereka gubah lebih mengarah ke makna anagogis [makna batin] dari ayat dan kata-kata syair dan puisi itu sendiri. Bukan makna analogis [makna zahir].
Bagi Rumi, puisi itu adalah kehadiran berhala jenis lain. Hindarilah!!! Suatu kali dia berujar; “Jangan palingkan wajah mu ke tanah hanya untuk menemukan kuburan ku. Kuburan ku tersemat di hati orang-orang arif”. Kita pun banyak menyauk pelajaran dari Annemerie Schimmel, seorang “Doctor Maxima” dalam ke-Rumi-an dan Syaikh al Akbar Ibn Arabi, mengenai dimensi mistik Islam yang teramat mahal, degub, wangi, merdu dan sarat misteri. Semua karya yang diulas Schimmel, menuju “kehampaan” sebagai syarat kebijaksanaan agung.
Karya-karya magnum opus Rumi dan Ibn Arabi adalah bahan baku untuk sebuah upacara ‘pembakaran’, demi mengeluarkan carrat murni diri mu. Dimajeliskan dalam penampakan jejak-jejak akan Dia, dalam spirit cinta. Kebijaksanaan hanya ada dan lahir, ketika kita jatuh cinta. Dan cinta sejati dan paling tinggi eselonnya itu kata Rumi adalah cinta tanpa obyek. Namun kita boleh memulainya dari ‘jatuh cinta’ pada obyek semesta. Termasuk ‘cinta pada batu’ sekalipun.
Lewat peristiwa pembakaran, batu bara bisa bermutasi jadi mutiara. Demikianlah kaum sufi [sofi] mendadani dan membuaikannya. Bakarlah segala hal yang dianggap sebagai yang biasa-biasa aja, dalam kadar panas sepanas-panasnya, dalam rentang waktu cukup lama, Anda akan meraih hasil yang mengejutkan. Sesuatu yang teramat bernilai. Begitulah batu bara menjelma jadi mutiara. Jalan agama sebagai rute yang teramat sulit, [lewat puasa, salah satu medan sirkuit rumit itu] hanya diperuntukkan kepada mereka yang bermental gahara, sosok macho dalam pemanenan spiritualitas. Bukan mereka yang membalihokan agama dalam sejumlah tampilan artifisial dan superfisial.
Pembakaran adalah sejenis proses ‘beroperasinya’ masalah. Inilah satu bentuk “cara bekerjanya’ masalah, sebagai proyek spritualitas. Sebuah proyek pematangan dan memperkembangkan spiritualitas yang termiskinkan oleh kelebihan gizi tubuh. Tubuh modernitas dengan sejumlah asupan nutrisi yang membuat orang bugar secara fisik namun ‘hampa’ secara spiritual. Di sini, pembakaran boleh dideretkan dalam model analogi; “bahwa Tuhan menghadirkan dan memberi masalah dalam kehidupan manusia, agar manusia senantiasa berubah dan berubah dari zaman ke zaman, dalam visi demonstratif ke masa depan. Bukan penukil emas di masa lalu.
“Tutuplah pintu mata dan telinga mu. Lihatlah ke dalam!”. Rumi, Ibn Arabi menghadirkan sejumlah metafora. Ada anggur, kemabukan, ada al Nizam sang puteri manekin dari Rum dan seterusnya. “Duhaiii para punggawa yang terhormat, matilah sebelum engkau mati”. Berpuasa adalah rute ‘kematian’ jenis liminal [pingsan sejenak]. “Di dalam perut yang kosong, tersimpan keindahan tersembunyi”. Puasa yang ‘liminal’ ini menjadi ajang ilusi ‘keterpisahan’ antara dahan bambu dengan rumpunnya. Batang bambu berubah maujud jadi seruling yang melantun segala merdu musikalitas surgawi melayang-melayang dan kembara ke segala arah, namun dia tetap merindu untuk kembali keharibaan rumpun bambu [Tuhan]. Visi ‘keterpisahan’ dan mereka yang ‘terpisah’ dengan sang kekasihlah yang layak melantunkan puisi-puisi Rumi. Puasa, ialah ruang ‘keterpisahan’ itu.
You actually make it seem really easy with your presentation but I to
find this matter to be actually something which I feel I’d never understand.
It kind of feels too complicated and extremely huge for me.
I’m taking a look ahead on your subsequent post,
I’ll attempt to get the hold of it!