February 10, 2025
IMG-20230318-WA0018

Ilustrasi: tangki air Belanda di Bengkalis. (F: dok. yy)

Oleh Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M. Phil

Kami, remaja. Memanggil beliau Pastor. Berjanggut halus dan jarang, tatap mata tajam, sederhana dalam busana yang berwarna pastel dan sesekali khaki. Mengenderai Vespa warna biru lusuh. Tak banyak cakap. Berbicara sewajar dan sekenanya. Saya, remaja baru coba-coba menapak hendak memanjat dunia. Sebuah dunia yang tak terperikan pada kala itu.

Kala remaja dengan pengetahuan serba hijau tentang kehidupan dan ragam makhluk, termasuk pengetahuan tentang manusia. Saya, remaja yang resah. Ingin tahu. Kenapa ada makhluk Eropa di pulau kami yang Melayu.

Di pulau kami yang Islam. Di pulau kami di selat negeri tropis. Kenapa makhluk sub-tropik yang dihiasi dengan empat musim, hadir dan bertahan hidup di negeri lembab panas-tropis yang hanya dirangka oleh dua musim? Tak ada jawaban. Dan tiada yang bersedia menjawab pada zaman itu.

Khawatir disebut bid’ah? Bimbang berkolaborasi dengan para penghayat di luar iman kita sendiri? Atau masih calar luka akibat goresan bangsa kolonial dari Eropa? Segala sesuatu yang berparas Eropa dan berwajah kontinental Franka, harus dielak dan dijauhi. Maka, yang keluar dari mulut saya sebagai seorang remaja, hanya menyebut sapaan itu saja; Pastor. Ya, sampai setakat itu.

Sampai hari ini, seorang rekan menyengat ingatan saya tentang nama ini. Sebuah kejutan listrik yang tak biasa. Juga, Pastor adalah sekaligus sebuah nama sapaan (panggilan) yang tak biasa, di tengah kehidupan kami yang dikepung oleh madrasah sekolah petang, rumah para ustadz, mukim tuan kalipah, makam dan kuburan tuan faqih dan para wali yang telah mencerahkan kehidupan pulau kami bak cahaya rembulan berabad-abad.

Hari ini, saya baru sadar, bahwa pulau tempat saya pernah bersekolah itu adalah salah satu pulau Eropa yang tergeletak manja di perut selat Melaka. Singkat kata, dia adalah pulau Eropa di negeri tropika. Saya pernah menjadi bagian hidup dari denyut pulau Eropa itu, bernama Bengkalis.

Di Bengkalis, saya berkenalan dengan keragaman nan damai, lembut dan hanif. Di sini ada Pastoran mungil yang berisi manusia Eropa yang hari-harinya dihabiskan untuk berdialog dan berinteraksi dengan langit. Langit dalam langgam mereka.

Kami, sedari kecil sudah ditanam untuk takut dan mencurigai wajah-wajah halus, berhidung lancip, bermata biru, berkulit putih dan berambut agak pirang. Tapi, Pastor ini hadir dalam tampilan serba redup.

Tak memenuhi syarat untuk ditakuti dan dicurigai. Dia berambut hitam (mungkin karena berasal dari kawasan mediterania, Italia atau pun dari Greek), masih terlihat lembab rambut Asia-nya. Begitu juga ukuran tubuh, tidak dalam size Eropa Barat-Utara. Masih juga dalam postur dan size Asia umumnya.

Saya datang ke Bengkalis, bukan sebagai pelancong. Seorang pelancong harus bertindak mudah kagum dan mengangguk-angguk, ekspresi sok heran. Agar tuan rumah merasa puas atas kedatangan kita. Saya bukan seorang pelancong. Saya adalah seorang pengelana, sebagaimana mungkin sang Pastor, jua berperan selaku pengelana spiritual di zamannya.

Di sebatang jalan nan redup, bergaya jalan-jalan kota Eropa, di Bengkalis, bersisian dengan Jail Huis (rumah penjara), di situlah rebahnya “rumah langit” bagi Pastor dan para Suster yang mengabdi hanya untuk dan demi langit. Ketika, pada sebuah pagi saya terserobok dengan sang Pastor di sebuah ruang parkir restoran pinggir laut, dan saya tak bisa apa-apa.

Rumah Kapiten Cina, Bengkalis yang kaya ornamen. (F: dok. yy)

Ada rasa takut, khawatir dan bimbang; “mana tau si Pastor ini memercikkan air sucinya ke wajah saya, maka menjadi murtadlah saya”, gumam saya dalam hati. Kisah air suci ini kerap dilayang dan laungkan oleh ayah dan emak saya di kampung: “Berhati-hati jika berpapasan dengan orang Nasrani. Mereka selalu membawa air suci dalam botol yang diselinapkan di dalam kantong baju atau celana”.

Saya hanya, bisa bertatap senyap, tanpa desis suara. Pastor hanya memandang dan menatap mata saya si anak remaja yang mungkin tengah galau dan gundah gulana, di samping bergelut dengan kemiskinan.

Pastor, Vespa tua; wah ini adalah sederet benda elite dan mewah era 70-an. Tak mungkin saya yang tropis ini bisa menikmati Vespa. Vespa itu lalu memecah debu halus jalanan dengan gerak yang perlahan.

Setelah berjarak sedemikian layak untuk sebuah lolongan suara, maka saya berteriak memanggil orang yang berada di atas Vespa itu; “Pastoooooorrr…” Bayangan Vespa menghilang. Hanya tersisa keberanian seorang remaja tropis, untuk menjerit dan melolong ketika bayangan yang dianggap “besar” dan “gigantis” dari segi capaian peradaban itu mulai kusam dan menghilang. Keberanian jenis apakah ini? Keberanian seorang miskin? Keberanian seorang yang kalah? Entahlah.

Foto Masjid Kuning Air Putih di Bengkalis. (F: dok. yy)

Rekan saya, Yanuar anak jati pulau ini, punya kisah sendiri dengan kaum “langit” dari Eropa ini. Masa kecil dia selalu digendong dan dikepit oleh suster-suster berkulit putih cerah, berkebangsaan Itali dan Yunani.

Apa kesannya, selama menjalani masa ketidaksadaran kanak-kanak itu? Menurut orang tuanya; kala berada di dalam gendongan para suster itu, tak tanggung pekik raung tangisnya. Apa makna tangis seorang anak suci di tengah pulau itu? Meta-historia bisa menjelaskannya dengan baik tentang kenyataan furturistik terhadap kanak-kanak itu.

Tapi, akal sehat Yanuar pun menjatuh klaim; “berkat gendongan dan tangisan yang tiada henti itu pula, membuat saya sampai menginjak tanah Eropa dalam kapasitas si pencari ilmu”. Wah sebuah analogi yang cerah dan mencerahkan.

Saat ini, kita hidup dalam relung yang dimuati oleh sejumlah entitas kembali kepada nilai serba puritan, yang seakan kita tengah menolak sejumlah kehadiran nan lain di depan mata. Padahal sedari kecil, kehadiran nan lain dan serba lain (asing) sudah menjadi bagian dari kolaboratif kehidupan. Keragaman itu, sejatinya berpembawaan menggenapkan, tak mengganjilkan kehidupan.

Saya, sekeluar dari Bengkalis, menghabiskan masa hidup di sebuah kotaraya yang berada dalam cekungan yang dikepung gunung bernama Bandung. Di kota ini, sekali lagi saya berhadap dengan seorang Pastor, yang malah amat nyentrik.

Dia adalah guru saya, sekaligus model bagi saya dalam penulisan kolom atau artikel progresif. Mungkin berkat raungan suara saya pernah menjeritkan “kata Pastor” di masa lalu, ketika berdepan dengan seorang Pastor yang juga seorang ilmuwan aneh di atas planet ini, membuat saya tak lagi gamang. Dan hingga kini, guratan ajaran Tuan Pastor itu mengalir di ujung jemari saya, ketika melahirkan sejumlah tulisan sejak dari 45 tahun silam.

Pastor yang kedua ini saya kenal namanya; MAW Brouwer. Kami memanggilnya Pater. Dia tinggal di sebuah biara tua. Sementara, hingga hari ini, saya tak tahu dan adalah sebuah misteri, siapa nama Pastor yang ada di pulau Bengkalis itu? Saya dan Yanuar berhajat akan mendatangi gereja itu pada suatu ketika, untuk berkenalan dengan kaum Albani-Romani yang tersisa di tanah Bengkalis. (*)