Oleh Harnata Simanjuntak
Apa yang Anda lakukan mulai pukul nol-nol hingga tujuh pagi, terlelap? Pada sebuah kedai makan di daerah Shinjuku_ku, Tokyo, orang-orang duduk menikmati hidangan makanan sajian Master, si empunya kedai.
Master membuka lapak mulai pukul 12.00 tengah malam ketika orang lain telah terbuai di peraduan memulai mimpi, di Shin’ya Shokudō (Midnight Diner) nama kedainya, perjumpaan beragam jiwa baru dimulai.
Adalah Yarō Abe menggoreskan manga bertajuk Shin’ya Shokudō di tahun 2006 kemudian dibesut menjadi serial televisi oleh sutradara Joji Matsuoka, dan diperankan oleh Kaoru Kobayashi sebagai Master. Episode pertama dimulai tahun 2009 dan berakhir pada episode 50 tahun 2019.
Menonton serial Midnight Diner adalah kesempatan mengenal beragam jenis makanan Jepun, yang menjadi favorit para tokoh dalam tiap episode. Bahkan penghujung tiap episode adalah pemaparan cara memasak dan penyajiannya.
Tiap episode dibuka dengan hamparan lampu malam di jalanan Tokyo diiringi lagu Omoide milik Tsunekichi Suzuki. Pertama kali mendengar, yang spontan muncul di kepala adalah Stairway to Heaven-nya Led Zeppelin, karena memang banyak kemiripan. Aransemen, bunyi-bunyian dan nuansa yang dihadirkan terdengar sejiwa. Sememikat apa Omoide? Setidaknya layak untuk tidak di-skip ketika saban episode dimulai. Ia adalah ritual penghantar kesayupan yang merdu.
Pula, menikmati serial indah ini tak perlu terburu-buru alias ber-binge watching. Meski kadang ada kesinambungan kisah beberapa episode namun bukanlah sesuatu yang perlu digesa. Meresapi pelan-pelan di tengah malam adalah pilihan waktu menonton yang dianjurkan agar keheningan yang tersaji lebih menyergap.
Master, yang hingga episode terakhir tidak dijelaskan latar belakang dan keluarganya, berinteraksi ke tiap pelanggan, bahkan masuk dalam ranah masalah pribadi mereka. Sebisa mungkin ia membantu, memberi solusi, menautkan percakapan dan hati sesama pelanggan sehingga pada akhirnya mereka hampir mirip sebuah komunitas kecil.
Para pengunjung kedai tengah malam terdiri dari Yakuza, pemilik bar gay, penari klub hiburan malam, pebisnis, filsuf, penyanyi yang tidak sukses kemudian melejit setelah berkunjung ke kedai makan tengah malam itu dan deretan panjang jenis orang terpinggirkan.
Mereka berkumpul tanpa syakwasangka, prejudice. Sebagian mereka adalah orang-orang yang menjalani kehidupan yang bukan pilihannya, duduk bersama di hadapan meja berbentuk U, membentuk lingkar kekerabatan, mendedah ruang pribadi masing-masing, membuka topeng yang telah lelah dipakai sedari pagi.
Meski menawarkan menu terbatas, namun Master bersedia menyiapkan jenis makanan lain pesanan pelanggannya, sepanjang bahan tersedia, atau malah bahan dibawakan si pelanggan.
Master akan selalu sibuk di dapur kecilnya yang terbuka di seberang meja U, kemudian memberi makan. Ia tekun mendengar cakap-cakap mereka sembari merokok di balik tirai pendek yang menyembunyikan wajahnya. Sesekali memberi solusi kerumitan hidup para pengunjung namun tak akan merecoki jika tak diperlukan. Ia senyum saja jika masakannya dipuji. Tak pula menuntut sanjungan berlebih, karena tanpa itu ia tetaplah sang ‘master’.
Sejak episode satu Midnight Diner telah bertabur simbolisme makanan. Mulai dari bentuk, ukuran, serta kisah tersembunyi di sebaliknya. Selalu ada peristiwa yang menghantarkan seseorang memiliki preferensi cara memasak dan penyajian tak lazim suatu jenis makanan. Penceritaan yang kadang mengajak penonton berseru lirih, ya, aku pun begitu.
Adakah spiritualitas dalam makanan? Peter Bolland di artikelnya, “The Sacrament of Food,” berkata, “Mungkin ruang paling sakral di rumah Anda bukanlah ruang yoga, atau altar dengan lilin, atau kursi dekat jendela tempat Anda bermeditasi dan berdoa. Mungkin ruangan paling suci di rumahmu adalah dapur”.
Demikianlah dentang wajan bertemu spatula di tangan Master, gemericik tumisan, tampilan hidangan, jalaran bau yang menyergap simpul syaraf para tamu Shin’ya Shokudō, memicu produksi serotonin mereka, bahkan pemirsa.
Tiap gerak Master adalah ritual penuh devosi, menghantar sajian yang subtil, bukan profan. Olehnya orang-orang yang berkumpul antara tengah malam hingga jam tujuh pagi itu bersemenda, menarikan sumpit dalam laku presisi pada ruang gerak terbatas namun memikat. Di sanalah tiap malam dipungkas dengan perayaan kehidupan. (*)
Harnata Simanjuntak___Peminat Sastra, Alumnus Ilmu Kelautan Universitas Riau