November 1, 2024

Ilustrasi: sufism

Oleh Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M. Phil

Bukan melepas otonomi diri pribadi. Ketundukan, jalan merenangi keindahan. Seorang yang baru belajar berputar ala darwisy di Konya [kota mukim Rumi], menikmati putaran dalam 23 detik pertama sebagai puncak kebahagiaan. Putaran yang benar. Dia tunduk dalam ‘kelinyakan’ putar menembus langit [atas dan dalam diri]. Kebahagiaan 23 detik itulah yang disangkutkan dengan ‘tabiat’ progresif yang diemban para sufi. Bahwa sufi adalah anak zaman. Putera sang waktu [ibn al waqt].

Islam itu sendiri maknanya adalah ketundukan. Jalan “menunduk”. Bukan membusung dada. Bawaan para sufi pun selalu menyembunyi demi taat kepada tema ketundukan. Jangan heran ketika Anda ingin menikmati ‘anggur sufi’ pada sebuah camp sufi, Anda dijemput seorang pria berdasi, beralas pansus, terkadang style jeans. Atau malah tampilan seorang nyaris ningrat konservatif. Pun, saat Anda memulai ‘pelatihan’ spiritual dalam sebuah hall, Anda akan bersua dengan orang yang sama, pakaian longgar dengan sorban melilit kepala dalam balutan serba putih.

Islam telah ada sejak Nabi Adam, tapi bukan sebagai sebuah agama [al Quran memperkatakan itu]. Islam baru dideklarasi sebagai agama secara resmi sejak era Nabi Muhammad. Sebelumnya, Islam adalah rerangkai nilai-nilai universal Tuhan sebagai penunjuk, laksana obor kebenaran. Lalu, akal yang ditumpahkan Tuhan kepada manusia, menjadi potensi alat ikhtilaf. Dari sini nilai-nilai universal Tuhan itu mengalami tafsir oleh manusia.

Anak keturunan Ya’qub [bani Israil] menafsirkannya dengan gaya ini, para pengikut Isa al Masih, menafsir begitu. Nabi Muhammad menafsir demikian pula. Tema besarnya ialah ketundukan. Selanjutnya mereka diikat pada tangkai nama-nama kesukaan masing-masing untuk disematkan atas hasil tafsiran tadi. Zuriat Ya’qub yang fanatik, mengikat pada nama suku Yehuda. Maka disebutlah Yudaisme.

Para pengikut Isa yang terhimpun dalam unit Messiah Yahudi memberi nama ikatan itu ‘Kristiani’ [Xristianos, bahasa Yunani sebagai padanan Meshicha, yang bersumber dari terma Aramaic -bahasanya Ibrahim-, bermakna: ‘yang diberi ucapan perminyakan suci’]. Nabi Muhammad, menyukai nama yang punya makna dan dampak yang luas dan mendalam. Beliau memilih nama ikatan itu: Islam:  ‘keberserahan’ atau ‘ketundukan’. Nama ini diambil dari terma pertama sejak Adam; sebuah jalan berserah dalam ketundukan demi meraih kebenaran.

Ketundukan atau keberserahan bukan mencabut otonomi diri. Malah, sebuah rute mengaktualkan “pengakuan akan keindahan”. Amsal produktif kaum sufi selalu menghias mega spiritual dan kalbu: “ketika baju yang Anda kenakan terbakar, ada kolam tak jauh dari tempat kejadian itu. Anda jangan panik. Berlarilah dan ceburkan diri Anda ke dalam kolam”. Sejak itu, Anda ‘tunduk’ pada air. Sehari-hari, manusia membakar diri dalam serangkaian perbuatan “menuju tunduk” [disebut ibadah, termasuk puasa]. Kita terbakar dan Tuhan adalah kolamnya.

Sekilas, ringan kisah ini. Banyak orang yang menyelenggara hidup dengan status baju terbakar, tapi hanya sedikit yang menyemplungkan dirinya ke dalam kolam. Pertimbangannya; tak percaya bahwa itu kolam. Kalau melompat, khawatir air terlalu dalam, api padam. Malah tubuh tenggelam. Inilah jenis gerutuan terhadap antusiame yang mendangkalkan spiritualitas, ujar Rumi. Menggerutu: apakah ini kolam? “Bentuk tak penting”, sekali lagi Rumi.

Farid Esack, mendaur kembali ‘sikap bijak’ [al hikmah] dalam buku “On Being Muslim”. Dalam hadith diperkatakan; “sikap bijak, sesuatu yang lesap dari orang beriman, dan perlu diambil kembali walau dari mana pun dia berasal”. “Bentuk tak penting”, ya… sebuah frasa yang mendorong orang untuk merenangi ‘segara bijak’ itu.

Islam khaffah, saat didatangi dengan ‘sikap bijak’, dia berarti bahwa Tuhan menciptakan manusia dalam keragaman.  Jalan Sufi, sebuah jalan pencarian kebenaran berkelanjutan dan kontinu demi melahirkan pluralisme yang sehat bugar. Mereka tak mudah tersandung, apakah jalan pemikiran berasal dari Timur atau Barat [cuplik surah An Nur; Cahaya di atas Cahaya, tak Barat, tak Timur].

Namun, Islam khaffah itu, juga memiliki makna “terpelanting dan tak sengaja”. Hingga kini, ujar Abdul Karim Soroush, dia menjadi sebentuk ideologisasi agama. Alias memodifikasi agama sebagai alat fanatisme dan kebencian. Secara umum, kaum muslim mengalami semacam “penyakit teoretis” terberat; “memahami Islam sebagai identitas ketimbang kebenaran”. Di sini, identitas datang dan bekerja dalam desain spontanitas. Identitas ialah denah gestalt ihwal pencapaian materi dan pemikiran dari beragam generasi. Sebagai desain spontanitas, ketika serangkap ikhtiar yang direncanakan, justru malah akan meruntuhkan desain tadi.

Islam menunjuk kebenaran sebagai jalan kedamaian. Pesona cuplikan Soroush, bahwa Nabi Muhammad sang pembawa kebenaran dan kedamaian. Misi utama para Nabi demi mempercepat proses evolusi spiritual manusia, memajeliskan kebaikan moralitas, mendedah dan menafsirkan pengalaman spiritual, tuntunan akhlak terindah. Pesona akhir rute kenabian, tentulah mengajarkan hikmah dan esoterisme. Membangun identitas, bukan rute yang ditempuh para Anbiya…

Jika dihimpun, seluruh elemen misi para Nabi dalam demonstrasi ke masa depan, sejak dari percepatan evolusi spiritual sampai akhlak yang karim [indah] dan hikmah-esoterisme, itulah jalan ‘ketundukan’, jalan ‘berserah’. Bukan rute identitas sempit. Tapi identitas kesemestaan…