Dalam Fihi Ma Fihi, Rumi telah menyingkap cahaya rahasia cinta hamba kepada Tuhannya sangat dengan anggun. Tuhanlah menurut Rumi satu-satunya keindahan sejati dan semua bentuk keindahan lain di alam semesta hanya merupakan pantulan secercah keindahan-Nya.
Maka ketika banyak manusia melabuhkan cinta mereka kepada berbagai bentuk keindahan lain, sesungguhnya mereka mencintai wajah Tuhan, namun mereka telah keliru dalam melabuhkan perasaan cinta mereka.
Cinta merupakan central issue dalam hubungan antara hamba dengan Tuhannya yang diusung Rumi. Sebegitu pentingnya cinta bagi Rumi dalam menempatkan cinta sebagai bentuk hubungan transendental personality seorang hamba untuk mereguk kebahagiaan hakiki [Isyq Hakiki] ketika cinta itu sampai kepada Tuhannya bukan pada kebahagiaan majazi [Isyq Majazi] yang hanya pada makhluk yang diciptakan Tuhan.
Cinta majazi bersifat semu, dan akan melahirkan kekecewaan bagi siapa saja yang mendekapnya. Sementara cinta sejati bersifat hakiki, abadi, dan melahirkan kebahagiaan bagi siapa yang mereguknya.
Rumi dalam peristiwa perjalanan spritualnya menumpahkan kebahagiannya itu dalam tarian sufi [dervishes whirling] atau tarian yang berputar-putar.
Awalnya tarian sufi ini adalah ekspresi rasa cinta dan kehilangan Rumi atas meninggalnya guru spritualnya sekaligus kawan akrabnya yang bernama Syamsudin at Tabriz.
Namun, tarian sufi tidak hanya sebagai bentuk ekspresi cinta dan kebahagiaan namun tarian ini menjadi simbol dari ajaran-ajaran yang ada dalam tasawuf.
Dalam tarian ini terdapat simbol hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan makhluk yang ada di bumi dan juga hubungan dengan diri sendiri.
Hubungan yang muncul atas dasar kasih sayang dan juga cinta kasih dari Tuhan yang kemudian diteruskan kepada semua makhluk yang ada di bumi.
Dalam tarian ini mengajarkan bagaimana pentingnya mengenali diri sendiri yang mana hal tersebut menjadi bekal utama untuk kemudian dapat mengenal Tuhan. (*)