Oleh Harnata Simanjutak
Red Devil, Amphilophus citrinellus si dahi lebar mencuri perhatian dalam tahun-tahun belakangan akibat populasi yang meroket di beberapa kawasan perairan tawar tertutup.
Spesies ikan dari Amerika tengah ini bersama beberapa jenis ikan lain diam-diam, sebagian mengatakan tak sengaja, diintroduksi ke beberapa danau, juga waduk dan selanjutnya tumbuh melejit melebihi spesies endemik bahkan jadi pemangsa. Perilaku invasif red devil dikhawatirkan mengancam keragaman hayati, mengakibatkan kerugian tak terukur.
Kehendak mendominasi, menjadi penguasa sejumput wilayah atau ruang bukan milik ikan saja. Sejarah manusia adalah catatan panjang penaklukan. Amphilophus sp bisa jadi mencatatkan banyak sifat agresif dalam asam deoksiribonukleat-nya, namun bagi manusia faktor pemicu tak semata dalam DNA. Ketakutan atau rasa kehilangan kendali memantik niat invasi, menjadi agresor terhadap hampir semua spesies, termasuk sesama.
Tajuk sebuah tulisan di CSIS tahun lalu, Putin Tidak Bermoral Tapi Tidak Irasional. Sebuah legalisasi sifat kemaruk. Pengaminan bak Marco Polo ketika bersua Kubilai Khan, menjulang hasrat penaklukannya.
Salah satu kekuatiran manusia sejak lama namun makin mencuat belakangan ini adalah kedatangan makhluk luar bumi. Manusia tidak terlalu yakin jika sebagai tamu alien membawa misi perdamaian. Skenario penaklukan, pendudukan planet lain untuk dikuasai terus membayangi. Sebuah refleksi atas kelakuan sendiri yang kemaruk.
Invasi makhluk luar bumi bahkan menginspirasi karya perfilman. Mulai dari Mars Attack bergenre jenaka termasuk Evolution yang di penghujung cerita hanya sebuah iklan sampo, hingga kisah mencekam seperti War of the Worlds. Manusia seperti mengamini bahwa pertemuan dengan mahluk atau kelompok liyan takkan berakhir sukacita.
Hidup bersama dalam keseimbangan entah kenapa luput dari pertimbangan, bukan opsi. Padahal invasi selalu berkelindan dengan gangguan homeostasis dan ketika ia terusik parah, dalam perjalanan mencapai keseimbangan baru, manusialah yang akan paling menderita.
Selalu berdalih, seperti air laut juga akan membela diri ketika ditanya apa sebab merambah lebuh raya kota – kota pesisir. Bukan kami yang memakai air tanah berlebihan, bukan juga kami menaikkan suhu bumi.
Serbuan pelumpuhan akal nan menyuntik tidur kemampuan berpikir makin merebak. Ironisnya oleh capaian teknologi yang seharusnya mencerdaskan. Tiba – tiba gawai di tangan dipenuhi video orang menari berdurasi pendek berpola sama, namun hampir semua tak gemulai.
Minda tergenang informasi sampah akibat batas wilayah privasi meleleh. Pengguna perangkat cerdas tidak cukup gigih memilah apa yang harus dilihat selama screen time. Mereka kuatir tidak tercatat dalam barisan hip hip hura dunia maya.
Penaklukan masa kini tak lagi butuh sosok seperti Snouck Hurgronje. Cukup mempelajari algoritma calon taklukan yang tanpa tekanan memapar diri di media sosial. Nyaris semua informasi yang dibutuhkan untuk memperdaya telah terhimpun.
Maka jangan heran jika hingga Februari 2024 nanti alat komunikasi di tangan siapa pun yang punya hak pilih akan dihujani pariwara orang – orang yang sekarang berdiri dan ingin duduk.
Intrkusi kecerdasan artifisial demikian masif bahkan hingga Elon Musk dan sederet nama besar di bidang teknologi kemarin menandatangani surat terbuka agar laboratorium AI menghentikan pengembangan sistem baru, merujuk GPT-4 OpenAI yang baru dirilis.
Apakah Red devil sungguh – sungguh demonik, durjana? Mengapa Putin mendadak agresif setelah bertahan 20 tahun, naluri mempertahankan diri atau aktualisasi? Atau mungkin ujaran Epictetus bahwa kekayaan adalah bukan memiliki banyak harta, tetapi memiliki sedikit keinginan, terdengar menggelikan?
Hati-hati menjawab, bisa jadi memperjelas siapa kita.
Harnata Simanjuntak__Gemar berenang dan mengapung. Penyelam samudra keindahan kata.