Oleh Chaidir
“Takhayul membakar dunia, filsafat memadamkannya’, ujar filsuf Prancis Voltaire. Ungkapan tersebut barangkali bisa dianalogkan, kebuntuan berpikir dalam perangkap Batman, ke sana tertumbuk ke sini buntu, maka filsafatlah yang bertanya dan bertanya-tanya, di mana kelokan tikus jalan keluar.
Begitulah cakrawala berpikir manusia. Maka, sebuah diskusi filsafat di kampus UNRI satu purnama berselang, yang diinisiasi Prof. Yusmar Yusuf di tengah jebakan pandemi perilaku instan pragmatik masyarakat hedon, siapa peduli.
Tapi menghadirkan fenomena filsafat yang tak gaul di lingkungan masyarakat gaul, pasti menjadi fenomena yang mengganggu tidur orang-orang seperti Rene Descartes, filsuf Prancis yang terkenal dengan frasa keren cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada.
Diskusi itu sebuah pemberontakan terhadap tema-tema kekinian yang menjajah dan selalu mendesak otoritas akademis agar memberi justifikasi, tidak boleh tidak. Tema-tema kekinian yang diselimuti kecerdasan buatan manusia, tanpa disadari telah mendegradasi kemanusiaan manusia itu sendiri.
Manusia terperangkap oleh jebakan Batman dalam goa yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Jepang berontak melalui sintesis supersmart society 5.0; manusia tak boleh diperbudak teknologi. Teknologi adalah alat bagi manusia untuk menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi untuk menjadikan hidup lebih mudah.
Prof. Yusmar menghadirkan secara imajiner filsuf Feyerabend yang memberontak terhadap penjajahan metodologi epistemilogis dunia akademis, menolak kerajaan banalitas sains yang mendaku-daku sebagai raja kebenaran.
Masalahnya pandangan universalitas dalam ilmu pengetahuan justru bisa menghadirkan penghakiman yang tidak adil terhadap pandangan alternatif yang muncul. Padahal pandangan alternatif itu bisa saja sebuah inovasi.
Provokasi Prof. Yusmar membuat kupasan pembicara tunggal Bambang Putra Ermansyah soal cara berpikir Paul Karl Feyerabend terhadap konsep ilmu pengetahuan, terasa amat menggelitik.
Bambang menyebut Feyerabend agaknya malu dengan konsepsi pengetahuan yang terkesan memaksa satu metode baku. Terlalu banyak ambiguitas atau bahkan hipokritisasi, atau variabel di panggung kehidupan kita, seperti benang kusut yang susah diungkai.
Inilah agaknya relevansi mengeksplorasi pemikiran “anarkis” Feyerabend, dalam masyarakat yang serba instan dan tak mau ambil pusing ini. Kehidupan sudah sangat rumit untuk dipahami faktanya, karena variabel-variabel yang ada sangat bervariasi dan dimensinya yang tak terukur berderet-deret tak beraturan. Baik-buruk, benar-salah, pahlawan-pengkhianat, bisa ditarik-tarik ke wilayah teori relativitas ruang dan waktu Einstein: fleksibel, relatif dan dinamis.
Lihatlah drama kehidupan kekinian, drama-demi-drama, terasa laksana Déjà vu zoon politikon-nya Aristoteles. Manusia itu hewan yang bermasyarakat, hewan yang berakal, kata Aristoteles. Secara transcendental dipahami, manusia diciptakan sebagai makhluk sempurna. Namun sayangnya, karena kepentingan, manusia yang satu seringkali menjadi serigala bagi manusia lainnya, homo homini lupus, kata filsuf Thomas Hobbes.
Hukum yang berlaku pada bangsa hewan misalnya, bersifat limitatif. Hukumnya: tak ada hukum. Bukankah klausul limitatif ini sesungguhnya yang menjadi idaman bangsa manusia? Bahasa hukum atau undang-undang harus limitatif, jelas dan tegas, tak boleh menimbulkan keragu-raguan.
Tapi dalam kenyataannya, semakin dibuat limitatif semakin menjadi konotatif. Dalam konstruksi ini, bukankah bangsa hewan lebih baik? Bangsa manusia bilang, hukum itu dibuat untuk dilanggar. Dengan kata lain sebenarnya, bangsa manusia itu secara naluriah mendambakan instink primitifnya, menghendaki tak ada hukum. Siapa yang kuat dialah yang mengendalikan belantara jagat raya kehidupan.
Ketertiban dianggap jadul, ketinggalan zaman. Sikap moderat digolongkan tak berpendirian. Bangsa manusia itu inginnya “semau gue” ingin bebas sesuka hatinya. Agar keinginan itu tampak modern, maka dibungkuslah dalam kemasan “perubahan”, bahwa dunia sedang berubah, “hanya ada satu yang tak berubah, yaitu perubahan itu sendiri”.
Pada sisi lain bangsa yang sama menyebut, “tak ada yang baru di bawah matahari”. Ambigu. Barangkali tergantung konteks, atau barangkali juga karena kita tak mau repot-repot mengkritisi sebuah dogma.
Dengan pendekatan anarkisme epistemologis, filsuf Austria Paul Karl Feyerabend di pertengahan abad 20 silam, merakit “bom waktu” untuk mendobrak kebuntuan berpikir masyarakat yang terperangkap dalam jebakan kehidupan hedon yang serba instan itu.
Membangun jembatan bagi ambiguitas-ambiguitas yang memerangkap kehidupan. Orang Melayu sudah sejak lama memiliki kearifan filsafati seperti itu sebagaimana tertuang dalam ungkapan, “tertumbuk biduk dikelokkan, tertumbuk kata dipikiri”. (*)
Chaidir__ seorang Demang pemikiran Melayu yang menghanyutkan diri sepanjang sungai sejarah pemikiran dunia klasik dan kontemporer. Kombinasi antara akademisi, politisi dan pegiat literasi.