October 6, 2024

Olympus Image: diginomica.com

Oleh Muhammad Natsir Tahar

Jauh sebelum postivisme Auguste Comte dan penabrakan Paul Karl Feyerabend pada kaidah-kaidah ketat metodologi, sastra dan filsafat telah mengalami kawin paksa oleh Plato. Karena sebenarnya sastra dan filsafat adalah dua hal yang saling memunggungi. Dua bidang yang silang sengketa, dalam satu kelindan poros kebenaran.

Plato ingin mengusir Homeros dari kota idealnya, karena sastra Homer bicara dusta tentang dewa dewi Olympus yang kadang liar dan menjahati manusia. Filsafat yang dingin dan ideal tentu saja membungkam Homer. Plato hanya ingin Homer pergi, tapi tidak sastranya.

Homer adalah sastrawan kuno paling sohor, darinya kita banyak tahu tentang mitologi Yunani. Sedangkan Plato adalah filsuf angkatan pertama yang menulis. Ia menulis Politeia tidak dengan kaku cara filsafat, tapi menghimpunnya di dalam diksi sastra, dalam dialog–dialog imajiner.

Agar metafora terbangun, sastra harus di depan. Sastra yang liar dan elok rupa tak henti bergelinjang di atas podium kata, tapi tanpa filsafat ia nirmakna.

Sastra mampu meruntuhkan bangunan pikiran yang menindas, tapi tanpa filsafat, ia akan abadi sebagai reruntuhan. Meminjam Martin Suryajaya, sastra menjebol, filsafat membangun.

Selain Aristoteles yang menyusun ensiklopedia, hampir semua filsuf dunia bertutur cara sastra. Aristoteles dibangkitkan di jazirah Arab. Pun demikian, oleh filsuf Islam Averroes, al Farabi atau al Kindi misalnya, ia dielaborasi kembali secara sastrawi.

Mereka yang beraliran filsafat Peripatetik (masysya’iyyah) membuat sintesa antara ajaran-ajaran Islam dengan Aristotelianisme dan Platonisme, mencakup Alexandrian maupun Athenian, juga ajaran-ajaran Plotinus dengan perpaduan wahyu Islam. Induk semang dari peripatetik adalah Aristoteles yang rigid.

Hal yang sama terlihat pada seorang Pujangga Gereja, Santo Thomas Aquinas, seorang frater Dominikan Italia dan imam Katolik. Thomas merangkul beberapa gagasan yang dikemukakan oleh Aristoteles dan berupaya untuk menyintesis filsafat Aristotelian dengan prinsip-prinsip Kekristenan.

Utopia yang ditulis Sir Thomas More terbit pada 1516 adalah karya filosofis yang dibangun secara sastra fiksi dan satire sosio-politik. Berbagai aliran filsafat mulai neoplatonisme hingga eksistensialisme jamak memakai sastra sebagai medium penyampai.

Bukan pula sastra yang bergantung kepada filsafat. Sastra bisa pergi sendiri secara dirinya. Tanpa menggendong filsafat, sastra tetaplah sastra. Sastra juga bisa menjadi kenderaan makna bagi dogma. Atau wahyu memang perlu disampaikan dengan cara indah. Kitab suci  bisa datang sebagai sastra tanpa tanding pada zamannya.

Ada 4.200 agama di dunia, mereka menyusun kidung dan bait puja puji kepada tuhan, juga mantra-mantra dan aji–ajian sastrawi kepada dewa. Mereka meminjam sastra, bukan sastra itu sendiri, kecuali kita ingin menyandingkan dogma dengan fiksi.

Filsafat yang bersembunyi di dalam kabin akal, adalah ia yang kaku beku dan tak terusik. Filsafat menghimpun nilai–nilai universal yang paling ideal, dan membebaskan diri dari kotak-kotak sempit fanatisme. Berpusat kepada logika dan teraju kebenaran yang terverifikasi.

Maka seorang filsuf yang baik menjadi fardhu memakai sastra agar nilai-nilai filosofisnya tersampaikan. Ini akan menjadi suatu paradoks yang kekal, sebab sastra bersifat irasional sementara filsafat sangat rasional. Sastra panas dan filsafat dingin. Tapi keduanya bisa membahu, ketika sastra berhasil meruntuhkan, filsafat datang membangun kebaruan.

Karya sastra yang ingin luas dan filosofis akan membawa serta filsafat baginya. Kita mengenal Sutan Takdir Alisjahbana dan Hasan Junus, dengan karya-karya sastranya yang berfilsafat.

Alegori Gua dari Plato dan alegori Orang Gila karya Nietzsche misalnya bisa saja dinikmati secara penikmat sastra tulen tanpa perlu berkernyit untuk menghitung makna filosofis yang ada di dalamnya.

Di sini kadang-kadang filsuf kemudian menjadi ragu untuk bersastra, karena ditakutkan ia hanya diingat sebagai fiksi atau sebatas himpunan aneka diksi.

Lalu bagaimana duduk perkara untuk pelaku sastra dan filosof? Sebab sastra dan filsafat di dalam pertemuannya akan menjumpai titik kritis, keduanya akan saling melemahkan.

Filosof harus membangun penekanan-penekanan filsafat ketika memasuki belokan tajam sastrawi. Demikian pula para sastrawan, harus tidak biasa-biasa saja bersastra dengan tunggal tanpa mengajak filsafat menjadi kawan bergelut.

Kita bisa meniru cara cerdik Ernest Hemingway yang dalam perwatakan karya-karyanya mengajak serta filsafat stoicisme dan determinisme. Apapun bantahannya, Hemingway telah memperoleh Hadiah Pulitzer pada 1953 untuk The Old Man and The Sea. ~