
Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M. Phil bersama pegiat literasi dan kebudayaan Kepri dalam bincang eksistensi Hasan Junus, belum lama ini. (F: Moel Achyar)
Hasan Junus (HJ) adalah seorang maha guru bagi dunia literasi seantero Riau. Mendiang adalah Bapak Besar dan sang pembaca agung sastra dunia, dengan kemampuan poliglot ia menyerap bacaan-bacaan mondial Eropa kemudian menuliskannya, secara agung pula. Patutlah kiranya, penerus literasi Riau berutang untuk memonumenkan karya-karya HJ demi melawan pelapukan dan pelupaan oleh kegaduhan superfisialisme.
Guru Besar Filsafat Ilmu dan Fenomenolog Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M. Phil, 18 Februari 2023 silam datang ke Tanjung Pinang, di Rumah Singgah Teluk Sekatap, Dompak punya Husnizar Hood, dalam satu diskusi kecil bersama pegiat literasi, ia membawa agenda khusus sempena HJ, agar eksistensinya diperkuat dengan mendirikan sebuah pusat bacaan khusus untuk mengabadikan karya-karyanya.
Yusmar menaruh ekspektasi kepada Husnizar bersama rekan-rekan kebudayaannya untuk menghidupkan HJ dalam sebuah monumen dan ruang baca karya HJ yang bisa diakses publik.
Yusmar berkisah tentang suatu nostalgia literasi yang telah dibangun oleh HJ kepada penulis-penulis Riau. HJ bagi Yusmar adalah puncak literasi kedua serantau Riau setelah Raja Ali Haji.
Bersama budayawan utama Kepri Rida K Liamsi, dalam formasi round table, Yusmar yang dikelilingi sekelompok pegiat literasi Kepri, Husnizar Hood, Muhammad Natsir Tahar, Zamzami A. Karim, Rendra Setyadiharja, Fatih Muftih, Moel Achyar dan Sita Rohana, seorang peneliti budaya Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepri, beserta rekan lainnya, bertutur banyak tentang linimasa Sang Maestro.
HJ menurut Yusmar menguasai kaidah-kaidah fonetis dan mempelajari sebagian besar bahasa Eropa yang kaya dengan simbol-simbol fonetis. Yusmar dapat memahami karya HJ dan mengapresiasinya dengan lebih kuat dari pembacaan awam, lantaran ada kesamaan mereka dalam menguasai bahasa-bahasa Eropa, bahkan selain Prancis, Jerman, Inggris, HJ juga mendalami bahasa Spanyol, Portugis, dan Italia.
Bahkan menurut Yusmar, HJ juga menguasai bahasa Jepang, sampai kerincian anatomi kanji; baik kosa kata kategori “hiragana“, dan “katagana”. Juga penguasaannya atas bahasa Mandarin yang bersumber dari dialek Han.
Sang Maestro juga menguasai segala aliran filsafat Barat sejak dari Yunani Kuno, klasik, Parsia, jalan tasawuf dan esoteris Timur. “Dalam diri HJ terhimpun lautan pemikiran Barat sebarat-baratnya, dan Timur setimur-timurnya. Namun, dia datangi dan diuli kembali dalam estetika dan stylistica Melayu yang melambung dan memucuk, namun dalam gaya parsimoni, berkilau, bercahaya dan bening,” papar Yusmar.
Yusmar membuat semacam depersonikasi HJ sebagai Aritificial Intelligence pada zamannya. “Dialah “kaisar” anti-typo zamannya yang hari-hari ini menjadi sesuatu yang diselesaikan oleh sebuah jenis gangguan jiwa modern bernama “sorry syndrome“,” tandasnya.
HJ memiliki kemampuan membaca dan bacaan yang berlapis-lapis. Mendatangi sebuah teks dengam ribuan teks-teks yang hidup. “Demi membongkar teks-teks yang terdedah itu, walau dalam gaya teks tergolong “incripted” [sebagaimana satu kekuatan sediaan android saat ini] khususnya dalam tampilan teks WhatApps misalnya,” jelas Yusmar.
Sebuah teks kebudayaan, akan diperiksa HJ dari semua bahasa dunia. Dikupas dan dikubak menurut “penjuru bahasa dunia”; baru dia berani menarik sebuah kesimpulan gaya stylistica Melayu yang teramat indah, merdu dan mendayu.
“Secara progresif, avatar HJ itu terjelma dalam kemodernan berpikir futuristik MNT (Muhammad Natsir Tahar). Termasuk kesepakatan tentang “credo anti-typo” dalam dunia literer [untuk menghindari term “literasi” hari ini yang telah dikerumuni banyak dimensi makna],” lanjutnya.
HJ dan Penyengat sebagai pusat literasi klasik Melayu dalam pandangan Yusmar adalah tanah kelahiran yang membungakan pemikiran dari segi lanskap pandang dan kesediaan teks Melayu yang ranggi di zamannya.
“HJ mendatangi Penyengat dalam aura tak hitam-putih. Penyengat dan Kepenyengatan bukan fenomena “tuts piano”. HJ tak memandang Penyengat dan kepenyengatan dalam sauk mata kuda,” sebutnya.
Hari ini? Para intelektualis Melayu kata Yusmar, mendatangi Penyengat [sebagai kata benda] dan kePenyengatan [sebagai adjektif/sifat]; semua digulung sebagai “kata benda”, noun atau nom saja. “(padahal) HJ adalah suluh anti kebekuan [jumud] dalam segala sisi,” demikian Yusmar.

Sebelumnya, secara “keluarga” Yusmar sudah mendiskusikan ihwal pusat literasi HJ dengan kemenakan HJ di Batam yakni Raja Suzana Fitri dan Raja Imran. Kemudian berlanjut di Tanjung Pinang.
HJ adalah mutiara terpendam, yang belum tentu ada dalam masa 100 tahun, bahkan secara nasional. HJ adalah aset atau khazanah literasi paripurna bagi Riau, sehingga Yusmar bersepakat bersama budayawan Kepulauan Riau, Rida K Liamsi untuk mendorong pembangunan suatu pusat dokumentasi dan studi tentang HJ di Kepulauan Riau.
Karya-karya HJ perlu diabadikan dalam semangat filologi dengan membangun ruang perlakuan yang tematis. Di mana kemudian semua khazanah literasi yang pernah lahir dari tangan HJ dapat terpusat dan terkemas setara dengan penghormatan serta semangat mendiang yang mampu mencelupkan keagungan sastra dunia ke dalam kancah literasi Melayu. DO/mnt