November 7, 2024

Ilustrasi: pixabay.com

Oleh Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M. Phil

Sebuah diksi teramat tua. Sebelum Masehi. Terselit di antara gunung-ganang dan tebing Mediterania nan berkilau. Dalam semangat lumpur, dia menatap nirmala cahaya di puncak Olympus.

Ya, di tanah Helenia, saujana Greek atau kini orang menyapanya Yunani. Oiketai bentuk jamak dari oiketes bermakna sang pelayan, sang babu, sang kuli habuk, mereka yang tak dihitung sepanjang sobekan lembar sejarah.

Nama ini diusung. Demi mengusung semangat progresif para pelayan kemanusiaan, pelayan peradaban di pangkal waktu serba digital. Seakan tak hendak ketinggalan gerbong kereta digital itu, kaum muda pada sebuah tapak sisian timur pulau Perca ”mencarut” dan “menceburkan” dirinya dalam genangan samudera kala air surut tiba. Pada ketika air mendangkal, genangan air itu disedot kembali oleh gulungan ombak selanjutnya; menyerap tubuh-tubuh para oiketai di pinggir pantai surut itu ke tengah samudera dengan tekanan arus air lebih massif menuju ‘arus pusat’ dalam kerimbunan ombak rima wahyu Sinar Kasih Ilahi [a Ray of Divine Mercy].

Meminjam Martin Lings, “laksana sufi, maka para oiketai ialah sejumlah orang yang disibukkan oleh ombak surut ketimbang genangan air ombak itu sendiri”. Kala surut dan mendangkal, orang boleh mengutip dan memungut segala bengkalai, semua ihwal sampah-sarap, bakung terdampar, limbah menyembul. Penampang paling terburuk sebuah lautan ialah kala air surut; menyisa gerigi tebing peot, bebatuan cadas tak beraturan, kesemrawutan sisi, amis pantai menyengat, segala bangkai makhluk benua bergulung dalam lumpur busuk, cangkang mangrove menyeringai bak gigi tentera Romawi, sabuk pantai bak balutan jilbab yang tak selesai digelung.

Peradaban ultra-modern seakan menampilkan sejumlah kedangkalan dan pendangkalan. Era digital lebih memperburuk kenyataan ini. Orang menyebutnya sebagai era informasi. Sejatinya, kita tak hanya memperoleh informasi, namun sekaligus diserbu oleh sejumlah disinformasi, jua mengalami misinformasi. Kita berkeliling-liling di laman  ‘hutan’ informasi yang menginformasikan informasi.

Oiketai hadir dalam rima sang pelayan. Bukan pula ‘pelayan buta-gagu’. Para pendaku tengkorak oiketai itu berujar sinis dan menyindir dunia: “kita memang pelayan, orang-orang terbuang. Tapi pelayan dalam selera pemikiran kasta Brahmana”. Maka jangan heran, oiketai tak kan terseret dalam mode media pemberitaan [news] murahan. Sekali terbang tinggi, maka kemasan segala perbuatan peradaban yang dipersembahkan oleh media ini [oiketai] akan senantiasa tinggi-falsafati. Lalu? Tetap berumah di bumi.

Celaru informasi yang disinformasi dan misinformasi itu memang ditugal dan terjadi bumi. Maka, tiada pilihan bagi oiketai untuk tidak berumah di bumi. Sejauh dan setinggi apa pun terbang “lanyangan pemikiran” dan model pemberitaan yang mengedepankan sisi indepth news, dikemas dalam kesegaran menembak waktu. Pun, kepedulian pada kaum terdepak oleh mesin waktu dan gilas teknologi modernitas, menyembulkan pula seraut sisi human-interest yang jadi julangan oiketai agar mereka yang terpelanting, bisa dilontar kembali hadir di tengah “pertengkaran peradaban” yang produktif.

Mungkin, ilmuan, pelancong, ambtenar, ulama, eksekutif, seniman, pemikir, pendidik, pelaku ekonomi gigantis yang cenderung urban biased, teserbuk kenaifan memandang segala ihwal yang berada di luar tembok kota adalah sesuatu nan eksotis. Berada dalam kolam damai serba sasmita. Namun oiketai akan menyeret realitas sisian mata “urban biased” itu sebagai lara, derai air mata, drama nestapa yang amat penat dan jengah diperankan oleh orang-orang miskin dan orang-orang desa.

Seorang kaya mengenderai Mercedes-benz, akan diterpa fenomena “pedal happy”. Memandang segala ihwal panoramik pedesaan hijau dan damai. Langkah kaki petani, teratak mungil di tengah sawah, dilingkari lereng lembah berpaku gunung dan bukit-bukau, deruman air mengalir membelah bebatuan sungai. Sang konglomerat ini menyaksi keindahan itu dari kilauan kaca pembatas mobil. Surga, di depan mata dia. Tapi, neraka bagi pelaku kemiskinan.

Tungkai kaki petani melangkah, menyabit rumput pakan ternak, rumah-rumah huyung sepanjang jalan ialah nestapa kemiskinan sesungguhnya. Orang-orang yang berada dalam sangkar kampung nan permai itu teramat berat, letih memerankan diri selaku tokoh dan figur orang-orang miskin sejati. Tanpa pilihan. Mereka tak punya banyak pilihan untuk keluar dari kepompong itu.

Begitulah abad ultra-modern, mencampakkan segala jenis informasi yang terlalu rimbun untuk dikatakan sebagai bahan baku pecah-belah peradaban. Dia seakan tak sengaja dijatuhkan dari bangunan tinggi dalam kesadaran “sampah”. Dan kita didesak atau didorong agar berenang di dalam tumpukan sampah itu. Kita hanyut dalam kedangkalan peradaban? Entahlah.

Oiketai hadir demi menyuruh para pembaca untuk berfikir. Bukan bersepakat dengan “jebakan algoritma” yang membangun batas-batas ‘toleransi mata manusia’ menatap layar sabak cerdas, demi kejayaan ‘hiperlink’ lain yang melintas. Kita seakan terbodohkan oleh ‘jajaan-jajaan’ norak dan murahan di media-media sosial yang memberi batas orang menatap satu jenis informasi hanya dalam ukuran detik.

Terjadi pengkerdilan kemanusiaan oleh manusia melalui instrumen ultra-modern: algoritma. Ingat, algoritma itu tidak hidup dalam ladang persepsi manusia, dia juga tak ‘meng-alam-i’ dan tidak hidup dalam bahasa, sehingga dia juga tak bisa menuai atau memanen ‘pengalaman-pengalaman bahasa’  kebudayaan. Satu di antaranya adalah bahasa batin. Bukan bahasa tentang pilihan hitam dan putih.

Manusia juga terikat dengan bahasa abu-abu. Bahasa ambigu. Iman berada dalam ambiguitas. Oiketai juga mendatangi teks dalam sangkutan ‘akal kemalaikatan’ demi melayani kemiripan-kemiripan misteri.  Kita sebagai satu dari sekian tampilan ‘kembaran samawi”. Oiketai, sang pelayan inklusi. Ya, inklusivisme progresif…