
Foto Ilustrasi: https://aer.eu/
OIKETAI Edukasi – Migrasi internasional saat ini menjadi masalah penting yang menarik perhatian banyak pihak. Transisi ke ilmu pengetahuan berbasis ekonomi meningkatkan pangsa pasar yang terintegrasi bagi mereka yang memiliki bakat dan keahlian tinggi, yang menjadi aset penting dalam ekonomi dunia.
Sebagai akibatnya, brain drain semakin meningkat di negara-negara berkembang, yang menyebabkan diaspora yang luas dalam mencari kesempatan terbaik.
Sejarah menunjukkan bahwa setelah Perang Dunia II, para tenaga ahli dan terdidik dari berbagai negara, terutama Eropa, bermigrasi ke negara lain. Migrasi para tenaga ahli dari negara berkembang ke negara maju semakin meningkat pada tahun 1960-an dan 1970-an.
Brain drain saat ini menjadi kerugian besar bagi negara yang ditinggalkan, di mana banyak orang berbakat meninggalkan negara miskin mereka untuk bekerja di negara-negara maju.
Hasil penelitian UNCTAD menunjukkan bahwa brain drain dari negara-negara miskin ke negara-negara makmur dan maju terus meningkat, di mana dokter, informatisi, insinyur dan ahli lainnya bergerak dari negara-negara miskin ke negara-negara maju. Jumlah brain drain tertinggi berasal dari Haiti, yang kehilangan 80% sumber daya manusia berpendidikan tinggi dan terampil
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh UNCTAD, dapat diketahui bahwa dokter, informatisi (ahli ICT), insinyur serta ahli-ahli lainnya dari negara-negara miskin setiap tahun terus mengalir ke negara-negara makmur dan maju. Riset ini dilakukan setiap tahun yaitu di 50 negara kurang maju, antara lain 8 negara Asia, 33 negara Afrika, 8 kepulauan dan Haiti.
Terlihat bahwa brain drain alias human capital flight dari negara-negara di kawasan itu terus meningkat. Pada 1990 jumlahnya mencapai 16,5%. Dan sekarang jumlah itu meningkat menjadi 21,4%. Jumlah brain drain tertinggi berasal dari Haiti. Negeri itu kehilangan 80% sumber daya manusia berpendidikan tinggi dan terampil.
Sedangkan menurut Aaron Chaze, yang melakukan penelitian di 61 negara berkembang, dimana sebagian besar para braindrainer memilih bermigrasi ke negara-negara Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), terutama Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Perancis, dan Jerman.
Saat ini terdapat sebanyak 50.000 (5%) dokter India yang bekerja di negeri Paman Sam serta ratusan ribu manajer, teknisi, dan ahli komputer bekerja di Microsoft, McKinsey & Company, Citigroup, dan berbagai firma teknologi informasi di kota-kota metropolitan Amerika.
UNDP memperkirakan, India kehilangan sekitar dua miliar dollar AS per tahun akibat migrasi teknisi dan ahli komputer, yang diproyeksikan mencapai 2,2 juta orang sampai akhir tahun 2008. Beruntung, Indonesia termasuk yang paling rendah, yakni kurang dari 5% dari golongan terdidik yang bermigrasi ke negara-negara maju.
Dari kawasan Afrika, aliran migrasi paling banyak dari Ghana, Kenya, Afrika Selatan, Zimbabwe, Somalia, Nigeria, dan Etiopia, yang sekitar 60% juga berpendidikan tinggi. Bahkan sejak 20 tahun terakhir, Etiopia kehilangan sekitar 75 persen tenaga-tenaga ahli, seperti dosen, insinyur, dan dokter akibat brain drain.
Sungguh ironis, lebih mudah menjumpai dokter asal Etiopia di Chicago ketimbang di Addis Ababa, bahkan sekitar 21.000 dokter asal Nigeria berpraktik di seluruh penjuru Amerika. Lebih menyedihkan lagi, Afrika harus mengeluarkan dana lebih dari empat miliar dollar AS per tahun untuk membayar sekitar 150.000 expatriate profesional yang bekerja di benua miskin itu.
Adapun imigran dari Afrika Utara dan Timur Tengah yang paling banyak berasal dari Maroko (satu juta), Aljazair dan Iran (masing-masing 500.000), serta Mesir, Sudan, Tunisia, Irak, Suriah, Lebanon, Jordania (masing-masing 250.000). Sekali lagi, amat memilukan mengingat mayoritas para imigran itu adalah anak-anak muda terpelajar lulusan universitas.
Fenomena Diaspora terhadap Brain Drain
Diaspora dan brain drain merupakan dua fenomena yang saling terkait dalam konteks migrasi internasional. Brain drain terjadi ketika orang-orang berbakat dan terlatih meninggalkan negara asal mereka untuk mencari kesempatan dan kehidupan yang lebih baik di negara lain. Hal ini menyebabkan hilangnya sumber daya manusia yang berharga bagi negara asal mereka.
Diaspora, di sisi lain, merujuk pada sekelompok orang yang tinggal di luar negara asal mereka, tetapi masih memiliki ikatan budaya, politik, atau sosial dengan negara asal mereka. Munculnya diaspora bisa menjadi konsekuensi dari brain drain, karena ketika orang-orang terbaik dari negara asal mereka meninggalkan, mereka sering kali membentuk komunitas di negara tujuan mereka.
Dalam konteks migrasi internasional, diaspora bisa menjadi sumber daya penting bagi negara asal mereka, misalnya melalui investasi, transfer teknologi, atau hubungan politik.
Namun, dalam banyak kasus, diaspora juga bisa memperkuat efek negatif dari brain drain, karena mereka membantu menarik orang-orang terbaik dari negara asal mereka untuk bergabung dengan mereka di negara tujuan mereka. Oleh karena itu, upaya untuk memperkuat diaspora dan membalikkan brain drain sering menjadi fokus kebijakan pembangunan di negara-negara berkembang.
Menjawab Problema Brain Drain
Humas BRIN. Fenomena ‘brain drain’, di mana talenta nasional memilih pergi dan bekerja di luar negeri, seolah menantang Indonesia untuk berupaya mempertahankan dan memanggil pulang diaspora. Menjadi leading sector dalam Gugus Tugas Manajemen Talenta Nasional yang dibentuk Presiden Joko Widodo, bagaimana Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyikapinya?
Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko menjelaskan, Gugus Manajemen Talenta Nasional terdiri dari tiga sektor. “Posisi dan peran BRIN ada pada riset dan inovasi, olahraga di Kemenpora, serta seni dan budaya Kemendikbudristek,” jelasnya dalam wawancara Radio Idola (7/2) melalui sambungan telepon.
Mengalirnya talenta nasional ke luar negeri, Handoko mengajak untuk melihat dahulu apa objek yang mereka riset. “Jika memang tidak atau belum tersedia di Indonesia, maka tentu risetnya tidak bisa dilakukan di sini,” tuturnya.
Ia mengatakan, sejak 2019 BRIN sudah berhasil menarik diaspora. “Tahun lalu kami membuka 325 formasi kandidat berlatar belakang S3. Ke depan, 500 orang setiap tahun,” terangnya.
Menurutnya, ada dua hal yang membuat agar diaspora mau kembali pulang. “Pertama, lingkungan. Ekosistem yang membuat mereka melanjutkan passion sesuai bidang dan kepakarannya. Alat dan manajemen riset minimal sudah harus mendekati standar global,” sebutnya.
“Kedua, tidak bisa dihindari tentang finansial. Saat ini jika dibandingkan Malaysia kita sudah kompetitif bahkan lebih menarik karena di sini bisa dapat posisi permanen. Kalau dari sisi total take home pay sudah mirip,” ulasnya. DO/r/brin