
Ilustrasi: us.123rf.com
Oleh Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M.Phil
Peradaban modern ialah penanda dengan lompatan dan patahan yang luar biasa merekah. Sekaligus mundur dan meruntuh. Penyebabnya? Alam terhalang demikian tebal di depan manusia. Alam, bagi manusia modern yang serba antroposentris itu tak lebih dari citra yang berada di depan layar [screen].
Ketika filsafat meninggalkan fisika [ilmu alam], manusia menanggapi alam di depan dan selingkar hidupnya berdasarkan ‘rujukan serba daku’ manusia. Peradaban modern mendorong penyusutan peradaban. Manusia diposisikan sebagai absolute measure of everything.
Dunia identik dengan manusia. Dari sini mula petaka dan penyusutan itu. Edmund Husserl mengkritisi ihwal ini dengan “der Lebens Welt” [dunia kehidupan]. Bahwa segala makhluk yang berada di ruang kehidupan manusia itulah yang menyediakan perkakas bagi manusia untuk membangun peradaban. Mereka bukan benda mati; kayu, batu, tanah, bunga, laut, sungai dan gunung. Sejak era modern, kita membrutalkan diri terhadap alam. Segala sesuatu diukur berdasarkan nilai manusia.
Kita menikmati pemandangan alam, tak lebih dari upaya eksploitasi terhadap alam. Manusia hanya melihat gambar alam sebagai obyek. Alam berjarak dengan tubuh manusia. Alam dipeluk oleh manusia melalui sejumlah semiotika. Di sini, antroposentrisme menjadi masalah. Karena tak berakar pada visi kosmologis. Semestinya, kita melihat pemandangan alam, demi mengembalikan kita secara eksistensial ke dalam pelukan alam nan hangat dan juwita.
Sebelum era modern yang meninggalkan ‘ilmu alam’ itu, konsep tanda [ayat] dilekatkan kepada segala benda: Benda-benda sebagai ayat [tanda]. Segala agama menyediakan diri sebagai media untuk menyalurkan penafsiran akan “tanda” terhadap benda-benda dari ‘sesuatu’ menjadi ‘hal-ihwal’. Peradaban modern yang antroposentris itu, membalikkan keadaan. Manusia berjarak demikian tebal dan terhalang dengan alam. Akibatnya, manusia tak lagi pernah ‘meng-alam-i’, tetapi menciutkan alam dalam kerangka semiotika yang dirancang oleh kesadaran eksploitasi.
Peristiwa ‘menanda’ terhadap segala benda-benda alam, beringsut ke model ‘menanda’ pada segala polah dan perbuatan manusia. Sejak itu, manusia memberi tanda terhadap simbol, tulisan, memberi tanda terhadap iklan, model perempuan pada sebuah baliho, kopiah yang dipakai seorang calon anggota legislatif. Tak cukup sampai di situ, ‘menanda’ juga dilakukan oleh manusia pada apa-apa yang dikatakan dan diperkatakan oleh seorang calon Presiden. Kita menanda pada ‘ranah material’. Kita disigaukan dengan gaya ‘penanda’ dan ‘menanda’ sekaligus ‘ditanda’ yang amat mabuk dan memualkan.
Tanda [ayat-ayat alam] diringkus menjadi peristiwa yang menyusut dan merosot: manusia hanya memberi “tanda” [menanda] khusus diperuntukkan pada segala produk kebudayaan. Dari sini, termasuk ‘proyek literasi’ yang diagung-agungkan saat ini, mengalami kesesatan maha liar.
Simaklah kerisauan dan ketajaman analisis Jean Baudrillard mengenai ‘kejadian menanda’ yang diingsutkan kepada produk kebudayaan manusia, bukan kepada segala ayat atau tanda alam melalui benda-benda. Manusia hanya diajak ‘menanda’ terhadap produk-produk buatannya sendiri. Bukan lagi terhadap benda-benda alam.
Sejak peradaban modern yang merekah itu, segala benda di depan mata manusia, berada di bawah eselon manusia. Maka dia tak layak ditanda. Tapi layak diekspoitasi. Setara dengan itu, Maurice Merleau-Ponty, merisaukan ihwal ini lewat gurauan être au monde [menghadap alam] ala seorang fenomenolog brilian.
Lalu, yang bermasalah dengan antroposentrisme itu adalah peradaban Barat, sebagai anak kandung dari gelora pasca renesans. Subyektivitas diukur pada skala human being [serba manusia]. Islam dan kebijaksanaan timur [Cina dan India] tak mengalami konflik dengan antroposentrisme.
Islam dan kebijaksanaan timur, punya visi kosmologis yang kuat akan semesta buana-raya. Yang menghidupi peradaban manusia itu bukan saja oleh manusia, tetapi oleh segenap kehidupan yang serempak dalam orkestrasi alami kosmik ala Husserl. Di sini, manusia melontarkan dirinya ke dalam pelukan alam. Bukan kita yang memeluk alam. Ya, dipeluk alam: demi sebuah kenyataan eksistensial. Juga sebuah ijtima eksistensial.