
Ilustrasi: cutewallpaper.org
Oleh Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M.Phil
Sempena idul fitri, awam berujar saling bermaaflah! Tapi, anehnya dalam gempita mental selebgram, kita saling bermaafan dengan orang-orang jauh, orang-orang yang tak kita kenal. Sejatinya, ihwal maaf dan memaaf itu diutamakan kepada orang-orang yang terlibat dalam pergaulan dan interaksi sehari-hari. Di situ ukiran kesalahan, saling iris, saling singgung dan saling tonjok antar individu berlangsung dan terjadi.
Apa takaran makbul dan mabrur atas ibadah puasa? Apakah puasa selama satu bulan itu makbul? Ya, makbul. Sebab kita sudah berupaya menahan hawa nafsu dengan segala takaran. Apakah puasa mabrur? Ha ini dia. Makbul ialah urusan selama menjalani ibadah. Sementara mabrur, dinilai pasca ibadah. Puasa yang mabrur ditandai dengan upaya melepas segala bentuk keterikatan. Termasuk diri yang terikat. Di sini, amat dianjurkan memaafkan diri sendiri. Ini satu pola melepas keterikatan. Orang yang mampu memaaf diri sendirilah, yang bisa memaafkan orang lain. Di sini ukuran mabrur itu maujud.
Fideisme, sudut pandang epistemi tentang iman yang terpisah dengan nalar. Malah kaum fideisme semacam Martin Gardner menganjung iman lebih tinggi eselonnya dari nalar dalam justifikasi tentang kebenaran. Janganlah nalar dilibat-libatkan dalam urusan keimanan. Tak semata memborong kebenaran supra-natural, tapi jua kebenaran natural. Nalar, jangan sok mengurus iman. Duduk saja di istana nalar dengan cergas dan lincah tanpa perlu mengusik ladang keimanan.
Fenomena bermaafan, masuk dalam kategori perbuatan baik [amalun shalihah] sebagai penyokong iman yang serba gaib itu. Di sini tak perlu nalar menjadi juri, tentang benar-salahnya perbuatan maaf bermaaf tadi. “Wa amalun shalihah” itu adalah kalimat ujung pelengkap frasa inn al ladzi na’amanu [orang-orang beriman].
Sesuatu yang ditandai sebagai baik [makruf]; hanya sebatas wirid Yaassin, shalawat nabi, tahlil, pergi umrah saban tahun ke Makkah. Jenis keimanan yang diampu oleh sejumlah amalan imajinatif. Ibadah serba gaib. Demi mengumpul pahala dan tiket melorong ke surga. Padahal keimanan itu harus juga ditandai dengan mode perbuatan tak gaib; menumpas kemiskinan di ujung kampung, menyantuni anak yatim, memberes ragam perselisihan, membangun madrasah, rumah sakit, panti jompo dan lainnya. Semua ini dimasukkan dalam “perbuatan shalihah, makruf, ihsan”.
Agama, bagi Carl Gustav Jung sebagai “entitas yang memberi jaminan dan kekuatan, sehingga [kita] mungkin tidak kewalahan dalam menghadapi monster semesta”. Kala kita tergoncang oleh gempuran monster itu, manusia mencari tembok untuk bersandar agar tak huyung dan doyong. Buddhisme mempelawa suaka mini bagi monster tersebut. Agama dalam frasa religio, diambil dari bahasa Latin yang bermakna “mengikat”. Sebaliknya, Buddhisme menjulang keterlepasan atau ketidak-terikatan. Buddhisme sebagai agama yang “melepas” segala ihwal, melepas konsep jiwa, Tuhan dan berujung pada garis final; melepas diri mu sendiri.
Segala perbuatan “amalan” yang tak gaib itu tadi [bersedekah, menyantuni anak yatim dan orang miskin] adalah bentuk dharma untuk melepaskan diri dari sejumlah keterikatan atas materi, semarak duniawi. Sebaliknya, para polisi syariah di Aceh menangkap orang yang membuka aurat, khalwat, boncengan di atas motor mengangkang. Tapi tak pernah menangkap orang yang tak bersedekah. Dan penangkapan itu baru terjadi kalau ada anggarannya. Kalau tiada pos anggaran tindakan “isbah” [mengawasi] itu senyap dan bisu.
Ikhtiar fideisme untuk membuktikan eksistensi Tuhan, semacam proyek yang terhenti. Tapi, kaum ini tetap percaya akan Tuhan [itu ada]. Apakah mereka yang berpergian saban tahun umrah ke tanah suci Makkah dan menangkap para pembuka aurat di Aceh masuk dalam kategori ini [fideisme] era modern? Agama-agama di dunia telah mendefenisi Tuhan dalam bahasa serba kabur, ambigu, semacam keadaan semesta yang tak terjelaskan, menghimpun sejumlah kebingungan. Bahwa di dalam kebingungan, Tuhan maujud secara eksistensial. Maka, tambahkan terus kebingungan kami, demi mendefenisikan Tuhan dalam sejumlah citra manusia akan Tuhan.
Maka, sebagian besar kaum fideisme menggambarkan Tuhan dalam gaya dan selera antropomorfis. Lewat gambaran morfi semacam itu manusia bisa melangsungkan pemujaan, mencintai, bersyukur, meminta ampun, menduga ketakjuban, menikmati gegar yang mendebar dan menenteramkan [tremendum et fascinum], minta bantuan, minta sesuatu yang serba akan, sekaligus menangkap dan menyiksa orang-orang yang tak sejalan dengan keyakinannya? Elemen yang terakhir ini [menangkap dan menyiksa] “tak masuk” dalam gambaran antropomorfis akan Tuhan.
Fideisme, mendorong para penganut atau masyarakat beragama untuk berbuat dalam tindakan nyata. Bukan sebuah entropi. Tak sebatas urusan ibadah-ibadah imajinatif demi menabung pahala serba pahala. Ya, yang dirindukan ialah sebuah bentuk lonjoran keimanan yang dilandasi “rukun iman” progresif yang diampu oleh sejumlah amalan nyata yang tak bermaksud memetik atau memanen pahala.