
Ilustrasi: news9live.com
Oleh Prof. Dr. Yusmar Yusuf. M.Phil
Hanya tiga hal yang bermakna, pada akhirnya: “Seberapa banyak kau mencintai. Seberapa lunak kau menjalani hidup dan seberapa ikhlas kau melepas sesuatu yang tak dihajatkan sebagai milikmu”. Siddharta berujar pada sebatang pagi tengah senyum rekah. Prinsip keterlepasan ini, disimpul dalam frasa yang teramat pendek dari Buddha: “Pada akhirnya, tak ada yang bisa dilakukan”.
Ibadah, ritual dan sejenis itu pada sebagian agama di dunia, ialah tumpukan kertas “post-it” raksasa. Ditumpuk terus menerus sehingga kita letih. Ritual atau ibadah dengan fungsi sebagai pengingat [dzikir]. “Tumpukan-tumpukan yang saling menindih itu bak pengingat dari pengingat dari pengingat dari… dari apa?”. Dalam idiom lain bolehlah disejajarkan dengan fenomena “pengingat mengingat pengingat”. Lalu apa yang diingat?
Sebagaimana Rumi, seorang Buddha tak mencari kebenaran atau realitas melalui jawaban di luar sana. Melainkan ke dalam diri sendiri. “Jadilah lampu bagi diri mu sendiri”. Ini bukan jenis kebenaran subyektif. Tapi kebenaran yang digali di dalam sumur kesadaran terdalam.
Sains modern boleh menepikan ihwal “kebenaran” jenis ini [subyektif]. Lebih mengedepankan “kebenaran obyektif”. Disebut juga sebagai “kebenaran sekuler” [mencari penyebab-penyebab atas suatu akibat] yang tidak disangkutkan dengan sebab langit atau sebab ilahiah. Ketika Galilei-Galileo memperkenalkan permukaan bulan dan benda-benda langit kepada kaum gereja yang beku kala itu, dia mengundang para bani jumud menatap permukaan benda-benda langit lewat teropong [teleskop]. Permukaan bulan dan benda-benda langit lainnya tak mulus dan tak licin. Sebagaimana imej benda-benda ilahiah dalam nisbah suci kaum gereja.
Awam beranggapan, bahwa efek miring dari teropong itulah yang membuat permukaan bulan tampak bergerigi alias tak mulus. Galileo tak berhenti sampai di situ. Dia tetap merayu dan merayu. “Saya akan buktikan bahwa permukaan bulan itu banyak panau dan bopeng”. Sejurus, dia tembakkan arah teropong itu menuju gunung, rumah di sekitar, lembah, batu, tebing sungai dan seterusnya. Setelah itu, barulah teropong diarahkan ke benda-benda langit.
Tembakan arah ke benda-benda sekitar itu lah yang dijadikan sebagai pembanding, sekaligus replikasi terhadap obyek. Bahwa kebenaran itu melekat pada obyek. Permukaan bulan yang tak mulus dalam citra ilahiah para bani gerejani kala itu, terbukti. Sejak itu revolusi sains yang mengandalkan kebenaran obyektif, menegakkan satu pilar kedigjayaan. Inilah kebenaran obyektif alias kebenaran sekuler.
Buddhisme menarasikan tentang “menyelidiki dan memeriksa diri sendiri”. Apakah setara dengan sampiran “menggigit gigi sendiri’? Di sini, Buddhisme seakan mengajak kita melancong dalam sebuah perjalanan dengan tujuan yang tak diketahui [alias tanpa kesimpulan]. Apa persisnya Nirwana? Tak seperti Kristen dengan kisah al Kitab tentang detail alam surga dan kehadiran para bidadari, sungai susu dan madu dalam konsepsi surga Islam.
Buddhisme ialah keyakinan yang tak tergantung pada keyakinan ketika dikaitkan mengenai Nirw[v]ana. Simpulnya: Percayalah! Ketika Siddharta duduk bersimpuh bak bunga teratai di bawah pohon Bodhi [di Bihar, India sekarang], lalu dia bersumpah tak akan bergerak dan pergi sebelum dia ‘meraih kebijaksaan terpuncak”. Hermann Hesse sang penulis Jerman melukis dengan cantik perjalanan Siddharta ini. Ya, perjalanan spiritual. Bukan perjalanan sekuler yang dipersembahkan oleh puak saintis modern yang serba obyektif itu.
Pada sebuah pagi nan cerah, dia mencapai tingkat kesadaran spiritual tertinggi [pencerahan] dalam pengumuman kata ganti “Aku” menjadi “Itu”: “Itu telah dibebaskan”. Bukan “Aku” telah dibebaskan. Di sini, kunci pemecahan ego dan melepas segala bentuk keterikatan ego yang serba mengikat itu terjadi dan menyembur luluh. “Itu” yang tak lagi ego, telah meraih Nirwana.
Orang Buddha tak tertarik pada ihwal supra-natural. Walau ada kisah mencerita bahwa Buddha mampu berjalan di atas air sebagaimana Jesus. Bagi mereka, jenis mukjizat apa pun bentuknya bukan fokus dari pusat keyakinan. Bahkan sebagian besar membencinya. Jangan karena mukjizat, iman diajak terbang melayang. Agama ini adalah jalan praktik, jalan perbuatan yang ditunai dalam keseharian, dalam laku tindak kebiasaan sehari-hari. Orang boleh menyebutnya sebagai agama medis. Agama filsafat. Bahkan sangat menekankan pada “absennya keinginan” [desirelessness]. Sayang frasa ini telah mengalami mutilasi makna oleh orang-orang di luar sana.
Sejatinya, Sang Buddha ialah sosok figur yang amat-sangat perseptif, yang menanam kesadaran yang teramat sadar, bahwa tanpa keinginan, tak akan ada eksistensi.