
Ilustrasi: freepik.com
Oleh Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M. Phil
Taoisme, gudang agung yang mempromosi kebodohan? Bagi Taoisme dan pengikutnya, pengetahuan adalah musuh utama. Penghambat kemajuan spiritualitas. Pengetahuan ialah kezaliman alias kegelapan. Benarkah? Tao itu sendiri bermakna “jalan”. Juga berarti semesta, Tuhan, kekosongan raya, alam, misteri agung, kejuwitaan jeluk yang tak bernama, jua tak bisa dibayangkan.
Kitab agungnya adalah Tao Te Ching yang didatangi terlalu heboh penafsiran, melebihi tafsir ke atas kitab-kitab suci agama mana pun di muka bumi. Pengikut Tao lebih mengutamakan menempuh “sudah jalan” bukan “jalan sudah”. Sesuatu yang tak selesai dan tanpa kesimpulan. Kesimpulan adalah akhir dari puncak kesombongan. Ketika Yang Agung, Tuhan, diberi nama dan dinamakan, itulah jalan simpul dan kesimpulan.
Pilihan hidup pastoral, seklusi di tengah kebun, di kampung-kampung lusuh dan buram adalah jalan terbaik untuk mencapai “wu-wei” alias tanpa lelaku alias tanpa tindakan. Dikerling selintas, maka Taoisme ialah promotor utama kebodohan dan kemalasan bangsa Timur yang teramat Timur di zaman itu. “Mereka, para pemalaslah yang menyelamatkan dunia ini dari keruntuhan dan kiamat”. “Wu-wei” adalah landasan utama dari ajaran ini, selain menghindari pengetahuan.
Melanconglah ke bilik juwita Tao penuh kontridiksi itu. Bukan hanya kontradiksi, malah puncak dari semua paradoks ajaran muka bumi. Paradoks, jadi semacam pilar iman dan dirindukan. Pengetahuan yang jadi musuh Taoisme ialah pengetahuan yang dilahirkan dari rahim ‘konsep’, ‘observasi’ dan ‘abstraksi’ yang disebutnya sebagai pengetahuan dari “logika kasar”. Tao menempuh pengetahuan jenis lain. Disebut pengetahuan “intuitif”. Di sini Rumi bersahut dan menyahut. Begitu jua Santo Fransiskus.
Fritjof Capra, sosok Barat yang merindu pengetahuan intuitif dalam dimensi “metafisika” dan sudut teroka Fisika. Dia bergumul dengan alam “kosong” tanpa tindakan, menyetel bulan tak sampai purnama dalam sebuah buku “The Tao of Physics”. Pun, The Tao of Islam dari Sachiko Murata, juga memperjumpa dan mempersambung kaidah jalan “Tao” dan “monoteisme@ Tauhid” yang tak niskala. Toshihiko Izutsu juga jatuh cinta tentang persemendaan antara Sufisme dan Taoisme. Berangkat dari Fushus al Hikam-nya Ibn Arabi. Ya, Jalan Yang Tak Ternamakan, Jalan Tak Bernama, Jalan Yang Tak Ternamai. Di sini terjadi peleburan [hablur] antara transendensi dan imanenitas.
Begitu banyak paradoks yang dihidang Taoisme, sehingga dia disebut sebagai puncak gemilang sri gunungnya paradoks kebijaksanaan [oriental wisdom]. Di samping wu-wei, Lao Tzu mengajar murid-muridnya [dan kita] untuk gagal. Dia sangat berkepentingan pada kegagalan dan serba gagal. Maka, Anda harus menjadi diri yang gagal saban hari dan saban detik. Laksana bulan, jangan pernah mempurnamakan tampilan.
Anda ingin sukses dan berjaya? Tampillah seperti bulan yang tak purnama. Purnama itu bawaannya mengembang dan mengambang. Ketika menjadi bak bulan purnama, kita akan menderita, teraniaya, silau dan memudar. Alias, kita akan lesap. Jadilah bulan yang senantiasa mengecil alias “bulan baru”. Memposisikan diri selaku “bulan baru”, kita akan mengalami pertumbuhan dan tak pernah memudar.
Lantas, bagaimana cara melakukan “reborn” agar senantiasa tampil “bulan baru” alias “bulan tajuk”? Posisikanlah diri mu laksana peselancar di tengah laut [segara] yang senantiasa berhayun dalam gerakan menuju titik gelombang yang terendah. Di situ Anda senantiasa menguntum bak “bulan tajuk”. Purnama ialah titik simpul alias kesimpulan. Kesimpulan itu adalah puncak kepongahan dan kesombongan. Jangan mudah menyimpul kehidupan, apalagi menyimpul Tuhan. Biarkan saja Dia tak bernama dan atau tanpa nama. Tuhan tak cukup didatangi dengan sejumlah pengetahuan dan kecerdasan nan pongah. Datangi dengan sejumlah kebingungan. “Tambahkan lagi kebingungan demi kebingunan ku untuk memahami Mu”. Muhammad Suci mengujar ini dalam lelaku tasawuf mencari dan memahami Tuhan.
Wu-Wei ialah tindakan tanpa usaha. Wah kian paradoks? Ada terma “melawan dengan tidak melawan adalah melawan”. Renung sejenak frasa ini; “mewujudkan sesuatu atau membiarkannya terwujud begitu saja”. Perlawanan, bagi Tao ialah kesia-siaan. Sekaligus tindakan konyol. Kesemberonoan dalam mengerah energi. Semena-mena dalam mengalirkan energi. Wu-wei meminimalkan pertikaian dalam menggumuli hidup dan memperbiak navigasi. Di sini Tao bersua dengan Buddhisme. Dua sepupu yang saling pinjam meminjam ajaran selama berabad-abad.
Tao dan Buddhisme itu berbeda. Tao menumpu pada tubuh. Buddhisme menumpu pada fikiran. Taoisme ialah filsafat mengenai tubuh dan keragaan yang dinyatakan dalam sejumlah model pelatihan yang ekspresif; antara lain taichi dan qi gong. Kenapa menumpu pada tubuh? Agar tindakan kita tidak dibebani oleh fikiran. Bahkan akhir-akhir ini ada gelombang “Tao Keabadian”, bahwa kebahagiaan itu bukan di sana. Tapi di sini. Surga itu bukan di sana, tapi di sini, di bumi. Lebih mikro lagi; ya, di tubuh ini.
Lalu,… saya seorang “pengamal” qi gong saban subuh. Tindakan yang tak dibebani oleh fikiran. Begitu kita memulainya, maka dia mengalirkan chi bak “bulan tajuk” yang tak kenal purnama. Senantiasa tumbuh. Chi ialah energi, bahkan energi koheren yang terbuka menghala dan menuju ke dasar gelombang terendah untuk selancar yang teramat riuh…