February 10, 2025
1

Ilustrasi: leader.com

Oleh Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M.Phil

Menjadi seorang Buddha, karena tak sengaja. Andai dia lahir di Prancis, dia menjadi Katholik. Jika dia lahir di Israel, maka jadi Yahudi. Kalau  lahir di Makkah, menjadi Islam pula, di Jepang jadi Shinto. Di China jadi atheis. Di Siberia, dia pasti seorang penganut Shaman. Jika dia lahir di Amritsar, maka Sikh pula. Andai lahir di India, maka jadi Hindu.

Ketidak-sengajaan itu diperangkap dan diringkus dalam sejumlah agama terorganisasi. Artinya, di seberang itu masih ada jenis agama [kebenaran] yang tak diorganisasi? Ya, ada. Semacam kondisi transendental. Dia tetap memiliki kepercayaan pada Tuhan. Merindukan dan menusuk masuk [akan] Tuhan.

Ya, di dalam serba kesendirian. Melatih dimensi spiritual secara personal. Termasuk berdoa, dilakukan dalam kesendirian. Tak mengikuti model mobilisasi keagamaan tergoranisir. Dia menjalani semacam “pengalaman liminal”. Penghayat kumal spiritual bermodal metafisika. Bagi sosok ini, kebenaran, dijemput dalam lelaku tindakan kebersendirian. Dalam kesendirian itulah agama numpang berteduh dan melayari puncak dahaga [spiritual]. Apa-apa yang dilakukan dalam kesendirian, itulah agama. Pengalaman ‘liminal’, semacam mematikan “rasa dan keragaan” [pasca diselam dalam air, ekstase penari darwisy] menjadi penanda. Selanjutnya, hidup berjalan normal. Tak dilebih-lebihkan…

Menjadi spiritual bukan maksa serba melemah [raga, rasa, resa dan hati]. Menjadi spiritual sejatinya ialah pemberdayaan. Ada anggapan, menjadi spiritual dalam lelaku dzikir pulas, sampai tertidur. Duduk semadi di bawah pohon, semilir angin juga melena. Menjadi spiritual bukan menghentikan derap aktivitas Anda. Menjadi spiritual tetap dicoraki dengan serangkaian perbuatan; memasak, mengolah kebun, menyapu laman, mengurus bisnis, berkumpul bersama rekan, melancong, bekerja. Alias, apa pun yang ingin Anda  lakukan, dia adalah jalan spiritual. Spiritual; memberdayakan. Bukan mematikan lingkup perbuatan, sampai-sampai menyengsara kehidupan.

Metafisika ialah samudera kelam, tanpa pantai dan mercusuar. Juga dipenuhi begitu banyak bangkai kapal filosofis”, ujar Immanuel Kant. Ihwal kebenaran, pun demikian. Saking banyak defenisi tentang kebenaran diraut, kebenaran itu kehilangan makna atas dirinya. Tak sedikit penyalahan [falsifikasi] dalam modus bantahan demi bantahan, pemeriksaan demi pemeriksaan ke atas ragam teori kebenaran, terjadi. Sepanjang sejarah mengenai kebenaran, pun begitu legam kuburan teori, beradu dalam kegelapan sejarah dan tak pernah diziarahi.

Kebenaran masa lalu ‘membangkai’, dirubungi belatung zaman. Kebenaran metafisis, malah jadi sumber pertengkaran maha hebat di ladang filsafat. Filsafat mendedah sejumlah kaidah teori kebenaran. Berlandas galian akal-budi tiada henti: ala Plato, Aristoteles. Atau dalam gaya meragukan [Descartes] secara radikal, hingga tendangan tumit post-structural ala Foucault-Derrida. Terserah …

Filsafat bersikeras menugal kebenaran. Kebenaran korespondensi; ketika sebuah pernyataan dianggap benar jika sesuai dengan kenyataan [realitas] yang ada di dunia. Kebenaran koherensi; suatu penyataan dianggap benar jika konsisten dengan sistem keyakinan atau konsepsi internal. Di sini kebenaran berpembawaan relatif terhadap suatu kerangka referensi.

Kebenaran konstruktivisme; suatu hasil konvensi sosial, persetujuan bersama atau hasil konstruksi manusia. Pun,  konstruksi para pakar. Bom atom adalah kebenaran konstruksionis hasil konvensi para ilmuan. Melampaui itu semua, dua kota di Jepang [Nagasaki dan Hiroshima] pun luluh-lantak oleh bom itu. Kebenaran konvensi ini berdampak pada kenyataan natur [alamiah]. Bagaimana manusia dan kebenaran? Konvensi ilmuan mengenai bom atom, mungkin amat spiritual pada awalnya. Tapi, dia menjadi liar, beroperasi selaku pembunuh kehidupan. Di sini, spiritual pun meredup.

Dunia pun ternganga. Lalu…, “Kebijaksanaan berdiri tegak di tikungan jalan serta memanggil kita di depan khalayak, tapi kita menganggapnya salah dan membenci para penganutnya” [Gibran Kahlil Gibran]. Bagi sebagian kecil Yahudi juga beranggapan bahwa Taurat ialah gudang aturan serba konyol. Ya, singkatnya penjara. Dalam penjara itu, lebih banyak kata “tak boleh” berbanding “boleh”. Selanjutnya, mereka pun setuju, bahwa kehidupan itu juga adalah penjara, sebagaimana Taurat. Lalu, Taurat pula yang menjawab segala teka-teki kehidupan yang penjara itu.

Musim semi bantah-berbantah di media sosial dalam kerumunan kata dan diksi serba vulgar, jadi penanda memudar dan mundurnya spiritualitas di satu sisi. Di sisi lain, dia malah mendorong orang untuk mendaki tangga spiritualitas yang lebih tinggi dan meninggi. Musim semi post-truth ini, menjadi bodoh dan dungu bukan pilihan. Anda dan saya menjadi pintar, cerdas atau  spiritualis sekalipun, semua itu sedang dilayani oleh sebuah ‘sekolah’ yang nyaris gratis.

Bagi seorang Yogi, sosok spiritual adalah “orang yang menemukan tindakan dalam ketiadaan tindakan, dan ketiadaan tindakan dalam tindakan”. Spiritual memang sebuah peristiwa renang di kolam liminal, namun kehidupan normal tetap berjalan secara berdaya. Menjadi spiritual, bukan bermaksud menghentikan segala jenis pergaulan hidup yang dinamis. “Spiritualitas ialah dinamisme dan keheningan yang bertaut di dalam diri, seakan memberi Anda ‘rasa mati dalam hidup’ sepanjang waktu”, ujar Sadhguru.