March 18, 2025
IMG-20230525-WA0004

Oleh Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M. Phil

Pagi-pagi menusuk ruang feng shui? Ya. Sebuah jalan suka. Bukan duka. Bersama murid-muridku bermain di tepi selat demi mengenal diri ke dalam. Manusia amat petah dan champion memahami segala ihwal yang berada di luar dirinya. Sementara, bungkam jika diajak berlari ke dalam diri. Tak berlebihan jika Alexis Carrel menyebut bahwa manusia ialah makhluk misterius, sekaligus makhluk yang tak dikenal [l’homme cet iconnu].

Kerisauan Carrel bukan pula jalan pagi [tentang kerisauan misterius atas makhluk ini]. Jauh sebelumnya, esoteris Timur, India, Cina, Persia kuno telah menggali ini, termasuk jua filsafat Yunani kuno, dilanjut jalan sufi Islam. Semburan Carrel tak lebih semacam rute ulang membelok [u-turn] terhadap tabiat manusia yang lebih gairah memahami dunia di luar dirinya berbanding menikam diri ke dalam.

Sejak abad tengah ada sekilas tren perdebatan yang berlangsung mengenai humanisme yang berporos pada Tuhan dan humanisme berporos manusia. Ihwal ini bergemuruh pada tiga agama besar dunia: Yahudi, Kristen dan Islam. Menyeruaklah beberapa nama seperti Arkoun, Jacques Maritain, Jouel K. Kramer, George Makdisi, juga seorang filsuf Prancis modern Marc Berge dalam karya besarnya “Pour un Humanisme Vecul: Abu Hauyyan al-Tauhidi [1979].

Maka, ada terma humanisme agama dan humanisme sekuler. Kita menjalani dua rute ini secara terpisah, terkadang bisa pula simultan [serempak dalam ketidak-tahuan]. Pagi-pagi, sengaja saya mengajak murid-murid berkunjung ke Klenteng di tengah sigau para umatnya melaksana “sembahyang pagi”. Dan mereka tak terganggu atas kehadiran kami. Malah mempersilakan masuk, menjelaskan segala ornamen yang menempel, menimpa dinding batu massif warna murung dalam idiom repetitif.

Dinding batu murung, ornamen kayu gigantis di pucuk atap, warna ceria di meja altar semacam ‘pertengkaran’ mini mengenai kehadiran dunia dan kita [makro dan mikro kosmos] yang super telanjang. Bahwa tak dijumpai komunitas yang sunyi dari fenomena agama dan sakralitas. Mungkin ada satu komunitas yang menafi-negasi agama, namun tak kan menolak sakralitas. Mereka yang menolak agama, akan mengadopsi sakralitas walau terkesan menjalani sejumlah banalitas [kedangkalan]; dalam hal ini ideologi yang dipeluk, ideologi yang diwariskan berupa nilai-nilai dari nenek moyang. Malah mereka ‘menjadikan ideologi dan pandangan’ yang telah mentradisi ini, bak agama.

Rute ‘tajalliat’ Ibn Arabi, menoleh tentang persangkaan manusia akan Tuhan bak deret ukur sekaligus deret hitung. Penciptaan tidak maujud dari ketiadaan [creatio ex nihilo] sebagaimana anggapan para teolog. Tapi lewat proses emanasi dan manifestasi [jelmaan-tajalliat], setiap maujud adalah manifestasi Tuhan. Dari sekian penampakan atau jelmaan yang teramat penting dan bertindak selaku iktisar alam raya itu, bernama manusia. Di sini, sekaligus hendak ditunjukkan mengenai argumentasi ke-esa-an Tuhan. Bahwa Tuhan Sang Pencipta itu adalah angka Satu bagi angka-angka selanjutnya. Segala yang ada itu berpaut pada angka Satu. Tanpa angka Satu, maka konstruksi angka yang mengandaikan deret bilangan, tidak akan pernah mewujud. Angka Satu dengan ikhlas membelah dirinya menjadi angka 5, 6, 7, 18, 57, 209, 2034 dan seterusnya. Dan angka-angka ini akan berbondong-bondong kembali ke alamat angka Satu lagi, kelak.

Angka-angka lain adalah angka Satu yang diulang-ulang secara repetitif. Maka, pada hakikatnya, pluralitas itu sebenarnya tiada. Pluralitas tak lebih dari maujud angka Satu yang dibelah-belah dan diulang-ulang. Di sini tegak berdiri humanisme teosentrik sekaligus belahan dirinya bernama humanisme sekuler [malah yang lebih ekstrim darinya humanisme atheis?]. Tuhan mengidentifikasi “diri-Nya” selaku kanzun makhtfi [khazanah tersembunyi] yang ingin dikenali. “Aku ciptakan makhluk agar mereka mengenali Ku”.

Balik lagi pada kerisauan Alexis Carrel sebelumnya, ketika orientasi nilai teosentrisme dihapus, maka tak boleh lagi dia dialamatkan sebagai humanisme agama alias humanisme teosentrik atau pun humanisme sufistik. Di Barat, keberlanjutan pemikiran dan lelaku humanisme itu terbelah pada tiga tembok sandaran utama. Dan Arkoun, termasuk Marc Berge menelaah ini dengan ciamik. Ada humanisme teologis, humanisme filosofis dan humanisme sekuler.

Bagi Arkoun, bahwa setiap gelombang peradaban memiliki kecenderungan humanisme masing-masing. Termasuk juga humanisme berbasis ideologi-sekuler, yang kemudian bisa berbalik menjadi semacam agama. Khusus dalam Islam, ditemukan prinsip-prinsip humanisme yang tak pernah buram dan mendung, kaya raya dan berlimpah-ruah sepanjang sungai-sungai tasawuf-falsafi sejalan dengan keragaman ruang dan keadilan waktu. Di sini hendak ditarik garis model relasi antara Tuhan dan manusia [makhluk] sebagai relasi penciptaan. Alam semesta sebagai puncak kegemilangan penciptaan ini, diikhtisarkan secara genial dalam maujud penciptaan ‘mikro’ pada sebatang tubuh bernama manusia.

Di sini bertumpu humanisme teosentrik yang kuat dan kenyal. Adapun, kisah jalan-jalan menabrak pagi bersama murid-muridku, tak lebih dari upaya mengenal diri ke dalam, melalui ‘penampakan-penampakan’ cermin alam dunia di sisi lain dalam tampilan angka yang diulang-ulang. Teori bilangan memperkatakan bahwa relasi angka Satu dengan angka-angka lain adalah analogi [majas] relasi Tuhan dengan makhluk-Nya. Dalam kapasitas selaku Tuhan, dia Esa. Deretan angka lain yang tanpa batas itu tak kan terbangun dalam akumulasi model penjumlahan, pengalian dan pengurangan [tikrar al-‘adad] tanpa angka Satu. Angka dua, terhasil dari akumulasi angka Satu yang diulang: satu dan satu…

Maka, bernyanyi dan bersahut-sahutlah angka-angka itu sepagi-pagi pada sebatang pagi demi memecah sunyi…