February 10, 2025
IMG-20230620-WA0015

Suasana diskusi filsafat seri ketiga yang ditaja Tsabitah Syndicate, di Norma Cofee, Pekanbaru, Selasa (20/06/2023).

OIKETAI Edukasi – Tsabitah Syndicate, Komunitas Penikmat Filsafat FISIP Universitas Riau (UNRI) menaja seri ketiga diskusi filsafat. Tajuk diskusi yang diselenggarakan di Norma Cofee tersebut mengulas alam pemikiran tokoh filusuf asal Jerman Herbert Marcuse.

Dekan FISIP UNRI Dr. Meyzi Heriyanto menyambut baik diadakannya diskusi filsafat ini. “Institusi akan terus mendorong dan memfasilitas kegiatan berupa pengayaan keilmuan,” kata Meyzi.

Sementara Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M. Phil yang menjadi pemantik dibukanya cakrawala akademik lintas profesi ini melalui Tsabitah Syndicate menyatakan Herbert Marcuse menawarkan dialektika prasangka konstruksi sosial. Marcuse, kata Yusmar, memandang garis kiri adalah cara memandang kondisi yang ada saat ini. Mengeritik secara radikal dan berseberangan dengan kapitalis. Manusia saat ini dimabukkan oleh sistem kapitalisme.”

Yusmar berbicara lebih jauh ihwal diangkatnya figur Marcuse dalam diskusi kali ini. Menurut Yusmar, Marcuse menyodorkan kurikulum alternatif. Sebagaimana dirisaukan Francis Fukuyama tentang the end of history.

Sebagai misal, musik klasik menempati takhta kerajaan musik hampir 100 tahun. Lalu para seniman didorong untuk berimajinasi, apakah ada genre musik yang bisa mengganti posisi takhta ini? Berkelabut, kata Yusmar. Akhirnya ada yang muncul sebagai rose of music bernama jazz. Dan ia mengambil alih tahta itu dari musik klasik.

“Analogi ini saya andaikan pada Marcuse. Dia seorang seniman agung dengan lambungan imaji yang berbuih-buih. Ingin menemukan format membentur ke tembok singularitas bernama demokrasi-kapitalisme yang menjadi sandaran serba “one dimensional” itu,” jelasnya.

“Dan sesiapa yang ingin mendobrak dan menyodorkan alternatif itu, semua akan berdepan dengan serangkaian kesadaran palsu, kata Marcuse. Dijahit lagi sehingga sejumlah jahitan pop culture yang membuat para proletar tak merasa teraniaya sebagaimana keperihan alienasi Marx. Malah para oiketai (proletar) menikmati segala sumbu hedonis pop culture itu, dalam bayang kekaisaran citrawi. Esensinya sama. Kita didorong untuk membeli merek-merek berhala kapitalisme itu,” sambung Yusmar.

Dua pembahas pemikiran Marcuse yang menjadi bagian dari Mahzab Frankfurt ini adalah Dr. (Cand) Saiman Pakpahan dan Dr. Tito Handoko. Tito memandang  dari sudut pandangan struktur politik, sementara Saiman mengelaborasi gagasan Mercuse dari sudut pandang realitas hari ini.

Tito dalam makalahnya yang berjudul, “Perang Semesta Melawan Kapitaslisme Global” menjelaskan tentang latar belakang Marcuse sebagai anggota Institut Penelitian Sosial yang secara struktural akademis berafiliasi dan berkedudukan di Universitas Frankfurt, sehingga terkenal dengan nama Sekolah Frankfurt atau Mahzab Frankfurt.

Seluruh refleksi dan aktivitas ilmiah Marcuse mesti dibaca dalam konteks pertarungan ideologi antara komunisme dan kapitalisme global. Tito mengupas lebih banyak tentang institut, peristiwa yang membidani lahirnya institut, itinerari institut di tanah Jerman, dan institut sebagai tempat berlabuh bagi Marcuse.

Dijelaskan pula oleh Ahmad Jamaan yang bertindak selaku moderator, dalam pengantar diskusi tersebut bahwa mahzab Frankfurt sendiri mengembangkan teori kritis dengan meminjam teori Marxis klasik yang berfokus pada budaya dan melakukan pemikiran ulang  diperbarui ke periode sosio-historis; untuk bidang sosiologi, studi budaya, dan studi media. Dengan kasus perkembangan pemikiran landskap sejarah-budaya Eropa.

Diskusi ini dihadiri berbagai kalangan seperti akademisi UIR, UNRI, UIN, Unilak, kepala sekolah, birokrat, pengusaha, mahasiswa dan jurnalis. DO/r