November 1, 2024

Dr. (Cand) Saiman Pakpahan saat berbicara tentang Herbert Marcuse di Norma Coffee. (F: dok. Tsabitah Syndicate)

OIKETAI Edukasi – Marcuse, terinspirasi oleh bacaannya tentang Being and Time-nya Heidegger, lalu dipengaruhi oleh Marxisme selama masa militernya, pergi ke Freiberg pada tahun 1928 untuk belajar dengan Heidegger. Antara 1928 dan 1932, ia berusaha membangkitkan suatu telaah berpikir Heideggerian atau Marxisme fenomenologis. Proyek ini merupakan respons Marcuse terhadap apa yang disebut sebagai “Krisis Marxisme”.

Pada awal abad ke-20, telah terlihat tanda-tanda revolusi proletar yang diprediksi oleh Marx tidak akan terjadi. Eropa telah menghitung beberapa upaya revolusi yang gagal. Revolusi Bolshevik tahun 1917 tidak dipimpin oleh proletariat dan hanya menghasilkan bentuk totalitarianisme yang lain pula.

Menyambung Prof. Yusmar Yusuf, sisi lain Marcuse dalam konteks estetika, saat masih muda, Marcuse telah memiliki gairah pada sastra klasik Jerman dan dunia. Setelah menjalani tugas militernya dan mengalami keterlibatan politik singkat, Marcuse kembali ke studi sastra. Namun, setelah membaca Marxisme, studi sastra Marcuse menjadi lebih berorientasi politik. Ia tertarik pada peran seni yang revolusioner dan transformatif.

Transisi ke seni dan sastra ini adalah kembalinya kecintaan sebelumnya dengan tujuan yang baru. Tujuan baru ini tentu saja dipengaruhi oleh perjumpaannya dengan Marxisme dan krisis Marxisme. Beralih ke sastra juga merupakan pencarian subjektivitas revolusioner.

Dengan kata lain, sepanjang karir sastranya, Marcuse terus mencari ruang-ruang kesadaran kritis yang belum sepenuhnya dipengaruhi oleh kekuatan kapitalisme yang menindas dan represif. Revolusi dan perubahan sosial membutuhkan ruang pemikiran dan tindakan yang memungkinkan perlawanan terhadap status quo. Jauh sebelum dia mulai menggunakan istilah “Penolakan Besar”, dia telah mencarinya.

Dijelaskan oleh akademisi dari FISIP UNRI, Dr. (Cand) Saiman Pakpahan, M. Si sebagai pemateri dalam Syarahan Shadu Perdana sesi tiga yang khusus mengupas Marcuse, dalam bukunya yang tersohor, Marcuse menuliskan beberapa ciri dan penanda dari masyarakat hari ini yang dikuasai oleh teknologi modern.

“Alasan itu mengapa fase kehidupan masyarakat hari ini disebut sebagai manusia modern. Dalam kehidupan manusia modern, menurut Marcuse, kultur kapitalisme tidak lagi berbentuk relasi kuasa, antara borjuasi dan proletarian, karena kaum buruh (proletar) telah ‘menikmati’ tubuh indah kapitalisme,” papar Saiman.

Beberapa penanda kuat oleh Marcuse menurut Saiman minimal ada tiga, pertama, manusia berada di bawah prinsip-prinsip teknologi, yang arus utama dari prinsip teknologi ini adalah usaha untuk memperluas jaringan produksi.

Kedua, masyarakat modern menjadi rasional, karena secara tidak langsung terjadi penyatuan antara produktifitas dan destruktifitas, dan ketiga, masyarakatnya berdimensi satu, (one dimensional man/people) ini yang menurut Marcuse bersifat fundamental, karena masyarakatnya hanya punya satu tujuan.

“Di samping hal yang disebutkan tadi, karakteristik kuat dalam struktur sosial dan politik masyarakat hari ini juga ditandai dengan struktur adminitrasi total dan image imperium yang mengasingkan masyarakat dari dunianya (alienasi),” demikian Saiman. DO/mnt