
Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M. Phil saat hadir di Badar Bakau Fest yang berlangsung di Dumai.
OIKETAI Ekologi – Hutan Bakau (Mangrove) harus dibebaskan dari polusi bunyi dan cahaya untuk menjaga ekosistemnya agar tidak stres dan mati. Demikian salah satu poin yang digagas Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M. Phil saat berbicara di hadapan peserta Bandar Bakau Fest yang berlangsung di Dumai, pada 21 Juni hingga 24 Juni 2023.
Bicara mangrove menurut Yusmar, tidak hanya pembahasan tentang bakau saja, tetapi juga soal bentangan pohon-pohon lain dalam lingkungan sekitarnya. Terkait dengan eksistensi Bandar Bakau yang belakangan menjadi salah satu destinasi wisata bahari yang ikonik di Dumai, bukanlah kondisi yang baik-baik saja, mengingat habitat mangrove tersebut sedang dikepung oleh perusahaan besar bernama Pelindo, yang dikenal sebagai maritime gateway-nya Indonesia.
“Kondisi bandar bakau dikelilingi sebuah perusahaan besar bernama Pelindo yang akan mengancam kondisi mangrove di tengah Kota Dumai,” ujarnya kepada para peserta diskusi yang didominasi mahasiswa itu.
Yusmar berharap kepada mahasiswa yang hadir untuk saling membantu melakukan riset serta diskusi untuk lebih memajukan fungsi mangrove sebenar seperti melakukan budi daya vegetasi, jadi tidak semata mempertahankan keberadaan bandar bakau yang sudah diwariskan Tuhan.
Dijelaskan, bahwa manajemen Bandar Bakau harus dikemas dengan pendekatan yang scientific dan natural, sehingga terhindar dari pancingan murahan dengan kebiasaan urban plaza (mall) yang dimanjakan dalam bentuk pasar kaget.
Kebisingan dan cahaya akibat interaksi yang terjadi di dalam ekosistem mangrove menurut Yusmar, dapat mengakibatkan satwa hidup di dalamya stres dan mati. Membangun akses ke Bandar Bakau harus lebih teratur dengan menggunakan perkakas dan fasilitas yang berunsur sama dan bersahabat, tanpa menggunakan unsur metal, termasuk semen yang mengandung bahan membahayakan pengunjung dan ekosistem.
“Menjadikan kawasan obseravasi lebih kepada pencerahan atau healing spiritual yang nyaman, alam memeluk manusia bukan sebaliknya,” sebut Yusmar.
Pengelola kata Yusmar, tentunya lebih paham dengan apa yang hendak dilakukan (eksplorasi bukan eksploitasi) pemanfaatan kawasan yang lebih tertata, dengan mencarikan pembanding di daerah lain (membuka diri) untuk memahami ketertarikan seperti merancang jungle canopy, flaying fox melihat pertautan daun-daun mangrove dari sky views.
Keterlibatan anak-anak sambung Yusmar, menjadikan peluang edukasi bagi pengenalan biota ekosistem mangrove dengan melakukan kegiatan pendekatan minat belajar seperti lomba melukis. Kemudian menciptakan pemetaan rute sebelum menuju pusat tujuan utama kunjungan hingga keluar dari kawasan.
“Rerangkai fest ini, terutama yang extravaganza-nya bisa dilaksanakan di Bukit Gelanggang demi pengunjung dan sosialisasi yang masif. Namun ada kegiatan healing edukasi yang bisa dilaksanakan di Bandar Bakau keesokan paginya. Sudah ada pelatih yoga dan tai chi yang nunggu di sana atau sejenis healing lainnya; islami, lokal atau malah new age. Yang mempertunjukkan kepada khalayak urban, bahwa ini adalah ruang [biotop] yang kohabitasi sekaligus ruang praksis gaya hidup urban yang dinamis dan stylist,” jelasnya.
Sekait dengan pergeseran garis pantai, kata Yusmar, dalam isu ketahanan nasional [national resilience]; posisi bandar bakau, berada pada layar kedua [second layer]; yang paling kritis itu adalah garis-garis pantai di pulau-pulau terluar seperti Rupat, Rangsang, Merbau dan Bengkalis. Zona [first layer] ini yang harus jadi tumpuan penyelamatan abrasi.
“Satu kekhasan lain dari Bandar Bakau Dumai ini, dia adalah sabuk hijau [green belt] estuari atau muara sungai Dumai, yang amat rentan terhadap pendangkalan ekosistemik estuari. Hal ini akan berdampak pada moda angkutan insulander [antar pulau] yang secara tradisional dan konvensional telah berlangsung di muara sungai ini dengan pulau Rupat dan pulau-pulau sekitar,” tutup Yusmar. DO/r