
Ilustrasi: Getty Images
Oleh Bambang Putra Ermansyah
Ada dua dosa besar manusia mutaakhirin (meminjam istilah dari ilmu Ushul Hadits), atau manusia-manusia yang “datang sesudah”, terhadap para pemikir, filsuf atau pun kalangan intelektual dan cerdik cendekia. Akan saya hantarkan Anda kepada dosa-dosa kolektif tersebut.
Yang pertama:
Pandanglah ke laut lepas, atau ke padang yang lapang membentang. Semakin lapang dan luas semakin baik. Maka Anda akan melihat di ujung pandang Anda sebuah garis yang sangat tipis. Sangat-sangat tipis, bahkan. Sebuah garis yang menjadi pertemuan antara langit dan bumi. Kita menyebutnya, garis tipis itu, sebagai horizon. Schopenhauer, jawara Neo-Kantian yang dengan gagah perkasa mencemooh Kant dalam bukunya “The World as Will and Representation”, pernah menyebutkan bahwa horizon tidak lain hanyalah tipuan mata yang seakan mempertemukan langit dan bumi. Padahal, tiadalah pernah langit dan bumi bersatu pasca dipisahkan dalam fenomena misterius yang disebutkan kitab suci (Al Anbiya : 30). Schopenhauer, dengan nada tulisan yang penuh cemooh sebagaimana biasanya, menyamakan horizon dengan ketertipuan intelek manusia yang membatasi dunia dengan batasan-batasan penglihatannya sendiri.
“Every man takes the limits of his own field of vision for the limits of the world”, tulisnya.
Begitulah memang manusia. Manusia dikutuk untuk bebas, kata Sartre. Dalam kebebasannya itu, manusia pun menurunkan begitu banyak kutukan-kutukan lainnya, termasuk kutukan untuk menzhalimi sesamanya. Tidakkah Anda pernah mendengar mengenai Hypatia? Hypatia, seorang perempuan jenius dimasanya, ditelanjangi, dicongkel kedua matanya, dicincang, diseret bagian-bagian tubuhnya ke jalan-jalan kota, kemudian dibakar. Matinya Hypatia, menurut Edward Watts, merupakan persekusi pertama yang dilakukan oleh kuasa Katolik terhadap para cendekiawan pagan. Hypatia ketika mati diangkat derajatnya oleh para pagan sebagai martir paganisme. Ratusan tahun setelah kematiannya, Hypatia menjadi simbol Anti-Katolik pada masa Pencerahan di Eropa.
Atau pernahkah Anda mendengar tentang Suhrawadi Al Maqtul? Al Maqtul, artinya “Yang Terbunuh”. Betapa dahsyatnya pembunuhan Suhrawardi hingga ia dikenal dengan nama tersebut? Suhrawardi mengguncang kejayaan Mazhab Peripatetik Aristotelian (yang berjaya melalui dominasi madrasah-madrasah pendukung Imam Ibnu Rusyd). Epistemologi Aristotelian yang berkembang di dunia Islam semenjak Al Kindi mentranslasi Organon ke dalam bahasa Arab mendapat pukulan telak kedua setelah sebelumnya sudah pernah dipecundangi oleh intelektual ilmu kalam Asy’ari semacam Imam Ghazali dan Imam Fakhruddin Razi.
Melalui penjelasannya mengenai ilmu yang “seperti“ cahaya dan hierarkinya (karenanya filsafatnya dikenal dengan filsafat Israqiyyah atau Iluminasi), Suhrawardi menantang kebangkitan Mazhab Peripatetik Aristotelian. And the list goes on and on and on. Semuanya bermula dari satu dosa : membatasi wawasan dan gagasan orang lain dengan paradigma (atau gestalt jika meminjam istilah Kuhn) pribadi diri sendiri. Catatan kezhaliman terhadap sesama yang disokong oleh kesempitan berpikir tidak akan sanggup dilampirkan dalam risalah singkat ini. Namun, saya rasa saya sudah mampu menyampaikan poin saya. Itulah dosa besar pertama kaum mutaakhirin.
Yang kedua:
Kaum Mutaakhirin seringkali memandang sebuah teks sebagai sesuatu yang mati, yang statis. Teks (dalam artian luas) berhenti di momen ketika tulisan (atau pemikiran) tersebut dibunyikan atau dihurufkan. Dampaknya adalah teks menjelma menjadi bersifat doktrinal. Kaku, beku dan menyebalkan. Tidak jarang yang bahkan menjadi dogmatis. Konklusi yang dibangun dari premis-premis yang disusun oleh para jagoan intelektual muttaqadimin (yang terdahulu) dianggap sebagai sesuatu yang fundamental ; non-kontekstual. Padahal teks dan pemikiran yang dibunyikan tersebut sangat bergantung pada konteks ketika teks dan pemikiran tersebut di bunyikan. Konteks disini tidak hanya merujuk pada makna temporer, namun juga merujuk pada semangat zaman, hingga fenomena (yang sebenarnya) terbatas.
Ambillah contoh teori klasik Thomas Malthus. Malthus menulis dalam An Essay on the Principle of Population : “The power of population is so superior to the power of the earth to produce subsistence for man.” Apakah salah ketika Malthus menuliskan pernyataan tersebut? Sepertinya tidak. Namun orang lupa untuk melihat teks Malthus sebagai sesuatu yang hidup, yang punya daya gerak untuk beranjak dari relevan menjadi tidak relevan. Atas kekurangajaran manusia setelahnya, premis terbatas Malthus dibakukan menjadi fundamen dalam ajaran Utilitarian Consequentalism. Seakan pernyataan Malthus adalah standar pasti yang tak berubah.
Kemudian datanglah Engels, satu dari Dwi Tunggal Marxisme. Dalam Outlines of a Critique of Political Economy, Engels dengan tangkas menempatkan argumen Malthus secara adil. Engels berargumen bahwa manusia bisa memproduksi lebih dari apa yang dia butuhkan dikarenakan tanah/lahan memiliki kekuatan produksi yang (bisa dibilang) tidak terbatas selagi diurus dengan efisien dan baik dan didukung oleh perkembangan sains dan teknologi. Engels menempatkan teks dari Malthus sebagai sesuatu yang hidup, yang punya daya gerak. Teks tidak boleh dimatikan, dijadikan dogma yang tak bisa terbantah. Poin Engels ; Malthus tidak salah dimasanya. Di masa kini, Malthus salah dan keliru karena ada premis-premis yang belum maujud (mengada, come into existence) di masanya, yakni teknologi produktif. Adab untuk menyikapi teks sebagai sesuatu yang hidup inilah yang dibahasakan oleh Fazlurrahman dengan double movement theory. Fazlurrahman menyebutkan bahwa teks harus dilibatkan dalam dialog dengan konteks. Teks tidak bisa dilepaskan dari konteks, dan konteks tak bisa bebas liar dari ikatan teks.
Kedua dosa inilah yang tidak luput menyasar Herbert Marcuse, marja’ utama mazhab Frankfurt yang mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Neumann dan Adorno. Gagasan Marcuse sebenarnya tidak terlalu rumit, sekalipun ketidakrumitan ini tidak berdampak pada kepamungkasan gagasannya. Dalam One Dimensional Man, Marcuse merongrong penindasan yang tercipta di dalam masyarakat industri modern. Argumen Marcuse, masyarakat industri modern ini menciptakan seperangkat forma dan norma yang menindas kemerdekaan dan daya kritis-kreatif manusia. Dampaknya, potensi manusia untuk bebas tersandera oleh perangkat-perangkat penindasan ini. Hal ini mengakibatkan terhambatnya transformasi sosial.
Mengenai ketertindasan ini, Marcuse mengarahkan ujung telunjuknya kepada dampak bawaan kapitalisme tahap lanjut yang menciptakan teknologi, bukan untuk kemajuan dan kemudahan manusia, namun untuk menciptakan konsumerisme akut dan kebutuhan-kebutuhan palsu. Kapitalisme, Marcuse berargumen, telah mampu memanipulasi hasrat-hasrat manusia sehingga menciptakan kebutuhan yang “sebenarnya” tidak dibutuhkan oleh manusia itu secara hakiki sebagai agen yang merdeka menciptakan jalan dan kebebasan hidup mereka sendiri.
Tentu saja, sebagaimana mazhab Frankfurt lainnya, Marcuse menjadikan Marxisme sebagai pisau analisanya. Tentu saja, sebagai seorang intelektual yang beradab, dia menjadikan teks-teks Marxian sebagai sesuatu yang hidup. Yang bergerak. Maka, menjadilah Neo-Marx. Premis-premis Marxian tradisional dikuliti oleh kontekstualitas masa dan keadaan. Ada yang tergeser, ada yang direvisi. Marx bukan Nabi, Marx (dan Engels) hanyalah pembaharu dimasanya. Di masa Marcuse, banyak yang telah berubah. Pembaharu disikapi sebagai yang bergerak, tidak statis. Sehingga tidak haram untuk dikritik, dikuliti, dan direvisi.
Namun, karena ketidaberadaban kita yang mutaakhirin ini, seringkali pengasosiasian Marcuse dengan Neo-Marxisme (sebagai pisau analisa) berujung pada penempatan dirinya dalam barisan komunis. Pengkotakan dan pendikotomian menghasilkan sentimen dan penghakiman. Dosa kita sebagai mutaakhirin yang menyempitkan Marcuse serta membunuh teks-teksnya membuat kita menjebak diri dalam perang imajiner antara Kapitalisme vs Komunisme. Karena Marcuse menyalahkan kapitalisme atas masalah yang menimpa masyarakat industrial modern, maka dia adalah seorang commie. Itu final. Maka gagasan Marcuse termutilasi, teksnya dibunuh, dan visinya dibatasi oleh kesempitan pandang kaum mutaakhirin setelahnya. Secara berjamaah, kita telah berdosa pada Marcuse dan orang-orang yang sepertinya.
Padahal, cara argumentatif Marcuse sangat rapi dan hidup. Dirinya mengkritisi dampak-dampak kapitalisme tahap lanjut, ketika inovasi teknologis diinisiasi oleh dan untuk penumpukan kapital. Apakah kapitalisme sebagai “kapitalisme itu sendiri” dihujat oleh Marcuse? Rasanya perlu penelusuran yang jeli dan menyeluruh atas teks-teks yang ditulisnya untuk bisa sampai pada kesimpulan ini. Namun, sepanjang penelusuran penulis, apa yang Marcuse lihat sebagai biang penyakit bukanlah kapitalisme sebagai “dirinya” sendiri, namun dampaknya. Apakah dampak selalu inheren? Bisa jadi. Adakah dampak yang terbatas? Jauh lebih mungkin.
Namun ada yang menarik. Yang dikritik oleh Marcuse tidaklah hanya kapitalisme tahap lanjut. Marcuse berargumen bahwa komunisme pun sama-sama menindas individu. Dalam bahasanya, sifat represif dari teknologi modern adalah inheren, natural. Baik dalam tata masyarakat komunisme dan kapitalisme, kelas pekerja “kompak” kehilangan daya kritis dan membebaskan dikarenakan mekanisme penindasan yang berjalan. Ini adalah poin penting. Terlupakannya poin ini yang seringkali mencampakkan Marcuse dalam bilik yang diberi tajuk “Komunis”. Marcuse, seorang yang berhasil mendialogkan teks dan konteks, menyimpulkan bahwa baik kapitalisme dan komunisme sama-sama menindas individu yang hidup dalam tata bermasyarakatnya. Masing-masing dengan caranya sendiri, namun dengan dampak yang sama.
Lalu, bagaimana jalan keluar dari represi yang tercipta itu? Untuk pertanyaan ini, izinkan penulis untuk meminjam gagasan-gagasan Marcuse sebagai bahan kontemplasi dalam koridor sufisme. Ialah takhali, atau pengosongan. Kosongkan pembentukan tata masyarakat dari nilai dan dampak destruktif kapitalisme dan komunisme. Lebih radikal lagi, kosongkan realitas dari dikotomi kapitalis dan komunisme. Tak perlu menjebak diri dengan pengkotakkan ini kapitalis dan itu komunis. Kosongkan saja. Kemudian, tahalli, pengisian. Isi yang kosong itu dengan gagasan-gagasan pembebasan diri.
Jika menggunakan gestaltnya Marcuse, bunuh pola konsumerisme, sebagaimana Khidir yang “membunuh” bocah, sadari dan kenali yang mana yang kebutuhan hakiki dan kebutuhan palsu, sebagaimana Khidir yang menyadari mana tembok rumah yang harus dibangun, dan tenggelamkan pengembangan teknologi yang menjadi agen pencipta kreatif kebutuhan palsu sebagaimana Khidir menenggelamkan kapal. Dengan takhali dan tahalli, maka tajalli. Termanifestasilah kemerdekaan individu. Yang khalifah di muka bumi, yang tak tertindas oleh daya dan kuasa represif. Fi takhalli tajalli. Dengan pengosongan maka akan termanifestasikan. Dimana tahalli? Tahalli adalah tahapan “menuju”. Poin singgah, titik tengah. Dalam garis lengkung yang melingkar, titik tengah tak perlu ditunjuk dan dibahasakan.
Fi takhali tajalli. Dalam pengosongan, mewujudlah manifestasi.
Bambang P. Ermansyah___Cendekia muda yang lasak dengan bacaan-bacaan tinggi. Penekun “jalan tasawuf” muda penuh bergemuruh. Alumnus Hubungan Internasional FISIP UNRI dan filosof magang paruh waktu.