May 17, 2025
IMG-20230709-WA0008

Prof. Dr. Ali Yusri menyampaikan pidato pada pengukuhannya selaku Guru Besar FISIP yang baru pada bidang Ilmu Politik Pemerintahan yang berlangsung Jumat, (07/07/2023) di kampus FISIP UNRI.

OIKETAI – Demokrasi bukanlah ide yang sempurna, ia memiliki cacat bawaan dan bisa saja patah di tengah jalan. Sejak pertama, nilai etik demokrasi sudah dibantah oleh Socrates dan murid Plato-nya yang sangat aristokrat. Lalu Aristoteles menggagas demokrasi secara parsial dan diskriminatif. Mulai dari Kleisthenes sebagai bapak demokrasi Athena hingga Abraham Lincoln, sebagai penegak demokrasi modern, demokrasi hanya dianggap sebagai:  tak rotan akar pun jadi.

Demokrasi akan tetap invalid sepanjang tak mencapai cita-cita idealnya. Ini menjadi kerisauan para filsuf dan pemikir utopis serta perdebatan laten di antara para guru besar. Sebagaimana yang dilakukan oleh Prof. Dr. Ali Yusri pada helat pengukuhannya selaku Guru Besar FISIP yang baru pada bidang Ilmu Politik Pemerintahan yang berlangsung Jumat, (07/07/2023) di kampus FISIP UNRI.

Di hadapan Dekan FISIP UNRI, Dr. Meyzi Heriyanto, S. Sos., M.Si, Ketua Senat FISIP UNRI, Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M. Phil, para akademisi dan hadirin lainnya, Prof. Dr. Ali Yusri membentangkan pidato berjudul “Perkembangan Demokrasi dan  Pemilihan Umum di Indonesia: Mewujudkan cita-cita Reformasi 1998”.

Dalam teks pidato tersebut, Ali Yusri memaparkan tentang esensi dan validitas demokrasi, serta tatanan implementasinya di Indonesia. Untuk menjaga orisinalitas dan keutuhan ide yang disajikan, redaksi memuat utuh naskah pidato tersebut, berikut ini:

Sejak lama, mereka yang mempelajari demokrasi akrab dengan penggagas demokrasi seperti para filsuf Yunani, maupun dengan para pemikir modern dan mereka yang dipandang sebagai pengritik demokrasi tersebut. Sekurang-kurangnya ada tiga bentuk kemungkinan pelaksanaan sistem demokrasi: demokrasi langsung, demokrasi perwakilan dan demokrasi liberal atau konstitusional.

Jangka waktu dua ribu tahun semenjak gagasan dan lembaga demokrasi secara jelas dikembangkan oleh orang-orang Yunani, telah banyak sekali memberikan tambahan kepada apa yang relevan bagi teori demokrasi. Penggunaaan istilah teori demokrasi untuk menunjukkan pada bidang penelitian, analis empiris dan pembuatan teori yang khas masih sangat baru, dan apa yang secara logis tercakup dalam suatu teori demokrasi tetap masih belum jelas.

Gagasan dan praktik demokrasi modern merupakan hasil dari dua tranformasi besar dalam kehidupan politik. Pertama seperti yang telah melanda Yunani dan Romawi kuno pada abad kelima SM. Transformasi besar kedua, telah dimulai dengan perubahan yang berangsur-angsur dari gagasan demokrasi yang jauh dari lokus historisnya dalam negara kota ke dalam kawasan bangsa, Negara atau negara nasional yang jauh lebih luas.

Tulisan ini bertujuan untuk melihat perkembangan demokrasi sebagai saluran perubahan dalam sistim politik dan menghubungkannya dengan pelaksanaan Pemilu di negara –negara demokrasi, terutama pengalaman Indonesia. Masalah ini menjadi menarik, karena Pemilu yang dilaksanakan di Indonesia, terutama pada masa reformasi menimbulkan berbagai persoalan seperti:  demokrasi biaya tinggi (harus punya modal uang banyak), calon terpilih tidak dekat dengan konstituennya, modal finansial mengalahkan modal politik, latar belakang calon selalu tidak mendukung pekerjaannya setelah ia menjadi sebagai anggota parlemen.  Di satu sisi ada tuntutan pekerjaan sebagai anggota parlemen di antaranya menampung aspirasi rakyat dan merumuskannya dalam berbagai peraturan yang diperlukan rakyat. Di sisi lain, calon tersebut tidak punya latar belakang pekerjaan, tetapi mendapatkan dukungan suara dari pemilihnya.

Terjadi perdebatan di antara filsuf tentang demokrasi, mereka menilai demokrasi itu perlu dikaji ulang.  Intinya, demokrasi akan menghasilkan perubahan. Demokrasi bukan mekanisme yang tuntas dan singkat, karena melibatkan banyak orang.  Apa yang dibicarakan pemerintah atau parlemen, sementara persoalan masyarakat sudah berubah.  Jadi, demokrasi itu sangat lambat.  Produk dari penggabungan seluruh pemikiran. Yang dipelajari para filsuf adalah “perkembangan demokrasi” dalam pemikiran.  Perkembangan apa saja; ke arah mana; perubahan-perubahan apa saja yang terjadi.

Demokrasi di Barat berkembang dalam faham liberalisme. Demokrasi kongkritnya, bagaimana rakyat diatur dan bagaimana peran rakyat dalam pengaturan itu. Paham liberal tersebut menghasilkan demokrasi. Karena didasarkan atas paham liberal, sehingga disebut demokrasi liberal. Keyakinan orang liberal klasik ternyata sangat takut kepada peran Negara. Karena ia melihat dua kekuasaan yaitu Negara dan rakyat. Sehingga mereka berpendapat mengurangi kekuasaan Negara sampai pada titik nol, dan memberikan kekuasaan itu kepada rakyat (peran rakyat).

Bila ditelusuri dalam berbagai literutur, sejarah politik hak-hak sipil dan politik muncul lebih dahulu dibandingkan hak-hak sosial. Hak-hak sipil muncul pada abad ke-18, hak-hak politik pada abad ke-19 dan hak-hak sosial muncul pada pada ke 20. Hak-hak sipil adalah hak-hak yang diperlukan untuk kebebasan individu. Hak sipil antara lain berupa kebebasan untuk berbicara dan berfikir, beragama, memiliki properti atau membuat kontrak.

Dalam upaya menuju manusia modern megendalikan lingkungannya dalam bentuk bentuk tiga perubahan besar dalam sajarah. Pertama, renaisans, yaitu ketika manusia barat mendapatkan kembali keyakinan lama dalam kemampuannya untuk mengendalikan lingkunggnya melalui pengamatan dan rasio. Kedua, liberalisme yang meliputi tujuan ganda yaitu pengendalian yang rasional terhadap pemerintahan dengan melalui demokrasi dan pengendalian rasional terhadap soal-soal ekonomi dengan melaui kapitalisme.

Sedangkan perubahan Ketiga adalah sosialisme demokratis yang mempercayai pengendalian manusia yang rasional terhadap pemerintahan maupun masalah-masalah ekonomi akan sangat diperkuat dengan menjadikan masalah ekonomi itu merupakan masalah pemerintahan. Demokrasi adalah suatu sistem di mana para anggotanya saling memandang antar satu dengan yang lainnya sebagai orang-orang yang sama dipandang dari segi politik, dan mereka itu secara bersama-sama adalah berdaulat, akan sangat dan memiliki segala kemampuan, sumberdaya, dan lembaga-lembaga yang mereka perlukan demi untuk memerintah diri mereka sendiri.

Dalam perkembangan demokrasi Modern terutama setelah tahun 1960-an, orang-orang mulai mempertanyakan efektifitas demokrasi, apakah masih relevan konsep keadilan sosial; konsep pemilihan umum; kebebasan; konsep perwakilan. Pengkajian tentang demokrasi akan tetap berlangsung, dulunya dianggap sebagai suatu yang final.  Sekarang orang tidak begitu yakin terhadap validitas demokrasi. Selalu ada pandangan baru tentang demokrasi. Pertanyaan yang selalu muncul adalah, mengapa orang-orang tidak puas dengan pemikiran yang sudah dihasilkan oleh orang-orang yang lalu. Kata para filsuf, kajian terhadap demokrasi membuka peluang terhadap pemikiran demokrasi.

Usaha untuk memperkuat demokrasi, perlu diikuti dengan memahami budaya demokrasi. Sebagaimana  Robert A. Dahl mengatakan, memperkuat ide bahwa konsolidasi demokrasi  menuntut budaya demokrasi yang kuat yang memberikan kematangan emosional dan dukungan  yang rasional untuk menerapkan prosedur-prosedur demokrasi. Ia melandaskan penekanannya pada pentingnya budaya demokrasi pada  perbandingan  bahwa semua sistem politik termasuk sistem demokrasi, cepat atau lambat akan menghadapi krisis dan budaya demokrasi yang tertanam dengan kuatlah yang akan menolong negara-negara demokrasi melewati krisis tersebut.

Ilmuan politik lainnya memandang dari sejarah pertumbuhan demokrasi modern, sebagaimana Huntington  mengatakan  bahwa periode pertumbuhan  demokrasi saat ini berasal dari  runtuhnya otorianisme  di Portugal, Spanyol dan Yunani pada tahun 1974-1975 mewakili ”gelombang ketiga” ekspansi demokrasi global. Gelombang panjang pertama dari tahun 1820-an hingga 1926 dan gelombang kedua dari tahun 1945 hingga tahun 1962 membuka jalan bagi ”gelombang balik” yang secara signifikan mengurangi jumlah negara demokrasi di dunia dan harapan akan prospek demokrasi global.

Sejak proklamasi Indonesia merdeka tahun 1945 sampai sekarang ini, telah berkali-kali dilaksanakan pemilihan umum. Pemilihan umum pertama sekali dilaksanakan pada tahun 1955. Pemilihan Umum tahun 1955 dilaksanakan dua kali, pertama pada bulan September 1955 untuk memilih DPR  dan  Kedua, dilaksanakan pada bulan Desember 1955 untuk Konstituante (yang dipilih untuk menyusun Undang-Undang Dasar yang permanan). Dalam pemilihan Umum tahun 1955 tersebut lebih dari 170 partai politik termasuk calon independen non-partisan yang berjuang untuk dipilih di 15 distrik pemilihan (disamakan dengan wilayah provinsi–provinsi yang ada pada saat itu).  Terdapat 16 Partai Politik peserta pimilu yang memenangkan lebih dari 1 kursi. Badan konstituante yang tidak berhasil mendapatkan kata sepakat dalam penyusunan UUD yang permanan, akhirnya Soekarno sebagai presiden  republik Indonesia mengeluarkan Dekrit 5 juli 1959.

Pemilu Pertama pada masa Orde Baru dilaksanakan pada tahun 1971, pada pemilu ini diikuti oleh 10 partai politik hasil penyederhanaan partai politik pada masa demokrasi terpimpin. Babak akhir melemahnya partai-partai politik terjadi pada Pemilihan Umum tahun 1971, dengan kemenangan di pihak Golongan Karya, yang pada hakekatnya adalah perserikatan profesi para birokrat yang diorganisir dari atas kebawah

Pemilihan umum Periode tahun 1999 merupakan Pemilihan Umum yang pertama sekali dilaksanakan pada masa reformasi. Pemilihan yang dilaksanakn pada tahun 1999 untuk memilih wakil rakyat periode 1999-2004, dengan menggunakan sistem pemilihan secara proporsional tetutup, artinya masyarakat diminta untuk memilih partai politik tertentu sebagai peserta pemilu yang didasarkan atas nomor urut daftar calon legislative (Caleg). Sejak Pemilu pertama pada masa Orde Baru (1971 hingga 1999) sistem pemilu yang dianut menggunakan sistem proporsional tertutup.

Periode tahun 2004 sistem pemilu pasca reformasi kemudian mengalami perubahan yaitu pada tahun 2004 dengan sistem proporsional semi terbuka. Sistem proporsional terbuka baru kemudian benar-benar diterapkan pada pemilu tahun 2009, diawali dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 22-24/PUU-VI/2008. Sistem proporsional terbuka saat ini diatur dalam dasar hukum pemilu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, pada Pasal 168 Ayat (2) yang berbunyi: Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sister roporsional terbuka

Pemilu Periode, tahun 2009 diharapkan menjadi sistem yang adil, agar caleg terpilih lebih representatif dan legitimasinya jauh lebih kuat karena sudah selayaknya yang berhak mendapat kursi adalah caleg yang memang memperoleh dukungan rakyat yang paling banyak.  Namun setelah berjalannya sistem ini dari 2009 sampai 2019, tidak lepas dari berbagai problem dan kritikan. Biaya kampanye yang menjadi mahal, integritas calon dan pemilih dipertaruhkan dengan maraknya money politic, polarisasi politik, politik identitas, dan biaya yang dikeluarkan oleh negara terhitung cukup banyak. Dengan sistem ini juga, hanya memungkinkan untuk calon yang memiliki modal besar yang bisa kompetitif dalam pemilu dan bahkan meski bukan kader partai yang dekat dengan partainya asal memiliki modal bisa bertarung dalam pemilu.

Biro Hubungan Internasional Deputi Seswapres Bidang Politik Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia, dalam terbitannya pada tahun 2010, menyatakan bahwa perkembangan demokrasi di Indonesia, dan sampai pada satu kesimpulan bahwa demokrasi di Indonesia itu tidak kalah dengan demokrasi yang ada di AS, Inggris, dan Australia. Demokrasi di AS yang telah berjalan sekitar dua ratus tahun, namun tidak ada sistem pemilihan Presiden/Wakil Presiden secara langsung, sebagaimana telah dilakukan dua kali di Indonesia. Terlebih-lebih pada tingkat provinsi, kabupaten/kota, Indonesia telah melakukan pemilihan secara langsung. Sebaliknya, dari kalangan akademisi dan pengamatan yang skeptik dengan perkembangan demokrasi di Indonesia, menyimpulkan bahwa demokrasi di Indonesia hanyalah sebagai Prosedural Demokrasi yang tidak menyentuh substansi.

Hasil penelitian yang dilakukan Ali Yusri (Et.al) terhadap calon legislative tingkat kabupaten, menemukan 4 tipe kandidat yang paling diprioritaskan oleh partai untuk dijadikan caleg oleh sebuah partai politik: Pertama, loyalis partai, pelayan konstituen (tokoh masyarakat yang mempunyai  basis massa), pengusaha (individu yang mempunyai kedekatan dengan elit partai) dan tokoh organisasi yang berpengaruh.

Pemilu Periode tahun 2019 biaya kampanye para caleg-pun diperhitungkan mencapai belasan miliar untuk anggaran alat kampanye dan lain-lain dengan tujuan merebut hati rakyat.  Sistem pemilu proporsional terbuka memang merupakan sistem yang berkembang di Indonesia, akan tetapi sistem ini jika dilaksanakan sama seperti pada tahun 2019 untuk 2024 (pemilu serentak) masih harus dikaji kembali, sebab bukan hanya masyarakat yang mengalami beban –konflik sosial-, dan juga para peserta dengan ongkos yang banyak akan tetapi para penyelenggara juga sangat terbebani.

Sebagimana disampaikan pada awal tulisan bahwa demokrasi melalui beberapa fase perkembangannya. Demikian juga Pemilu yang diaksanakan di Indonesia, mulai dari Pemilu masa Demokrasi Liberal (parlementer), pada Era Orde Baru, maupun pada Era Reformasi yang mengalami beberapa kali perubahan.

Globalisasi merupakan proses di mana masyarakat dunia semakin terhubungkan dalam berbagai aspek kehidupan baik, dalam ekonomi, politik dan social lainya. Dengan globalisasi perekonomian yang semakin nyata menunjukkan interdepedensi berbagai Negara dan masyarakat bangsa semakin kuat dan nyata. Dalam bidang ekonomi mengakibatkan lahirnya perekonomian pasar dalam kondisi ekonomi global seperti ini dunia tidak kenal batas. Globalisasi menuntut reformasi sistem perekonomian dan pemerintahan. Dalam bidang politik menunjukkan praktik berpolitik tidak sehat. Terjadinya politik uang; prilaku tidak santun dalam berdemokrasi; berbagai tindakan anarkhis, represif, dan berbagai ketidakjujuran yang dilakukan politisi di lingkungan partai politik.

Berdasarkan data dari berbagi sumber, dalam perkembangannya pemilu di Indonesia memiliki dua sistem. Pertama, sistem proporsional tertutup (closed-list PR) dengan mekanisme pemilihan oleh rakyat hanya pada partai. Kedua, cara kerja sistem tersebut adalah pemilih memberikan suaranya hanya dengan mencoblos gambar partai, suara partai untuk kesempatan pertama akan diberikan kepada calon nomor urut teratas. Kedua, sistem proporsional terbuka (open-list PR) dengan cara kerja sistem ini, pemilih memilih langsung wakil-wakil legislatifnya.

Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (PUSKAPOL UI) mencatat lebih dari separuh caleg yang bertarung pada Pemilu 2014 (58.86%) adalah pengusaha atau profesional. Karena itu, agar Pemilihan Umum yang merupakan wahana untuk mencari wakil rakyat, maka segala kelemahan yang terkandung dalam Pemilu secara terbuka tersebut terutama menyangkut demokrasi biaya tinggi, maraknya money politic, calon yang benar-benar dikenal oleh pemilihnya, perlu terus dikaji untuk memperbaikinya. DO/r