November 1, 2024

Oleh Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M. Phil

Berburu kebenaran?  Barat menetaknya  lewat  jalan memilah, memisah, mengisolasi, memencil dan mematah-matah  alam. Mengeluarkan alam dan diri menjadi semacam lapisan-lapisan balok bahan bangunan. Sementara Timur, mendekatinya dengan “penyatuan diri dan alam”. Kebersatuan diri (jiwa, raga, ruh) dan alam ialah kunci  esoterik Timur dalam upaya mempekerjakan ‘mata fikir’ dalam relung intuitif.

Sementara Barat, mempekerjakan akal fikiran melalui kesadaran rasional. Inilah jalan esoteris Timur dalam menukil kehidupan dan Realitas Tertinggi. Kesamaan operasional agama kebijaksanaan Timur ini bisa diresapi dalam candra tasawuf sufisme Ibn Arabi (Toshihiko Izutsu), jalan Kabalistik (Yahudi) dan Mistisme (Kristiani). Dimensi transenden itu adalah Sunyata (Buddhisme); Brahman (Hinduisme); Tao (Taoisme), bersepupu sejajar dengan Ain Soph (Kabalisme Yahudi); Godhead, Hahut (Mistisme Kristen); dan al Haqq (Sufisme Islam).

Sepanjang sejarah, manusia terpelajar sekalipun sering dicederai oleh sains dan tidak memperoleh kebaikan setitik pun dari ilmu. Maka, mereka menyelusup ke relung-relung spiritual esoterik, bisa orang itu bernama Dante, Charlemagne, Shakespeare,  Micheangelo, Thomas Aquinas, al-Jilly, Ibrahim bin Adam, Dzun Nun al Misri,  Goethe, Ibn Arabi, Fatima al Qurduba,  Cervantes, Milton, Bach, Mozart, Beethoven bahkan Napoleon sekalipun. Ihwal ini menjadi sentakan mengejut bagi para filsuf dan fisikawan Barat. Bahwa “jalan” (Tao) penyatuan esoteris Timur sejatinya memiliki kesejajaran dalam mengungkap kebenaran, sebagaimana tombakan Frijtof Capra terhadap ilmu Fisika modern.

Kebijaksanaan Timur menyemarakkan praktik muka bumi, seakan tak terhubung ke atas (langit). Dia lebih mengutamakan praktik (tindakan) nyata dalam lelaku dan perbuatan; suguhan film-film Kungfu  (Kempo ala Jepang) atau pun Bushido, seseorang yang hendak belajar agama (di Biara Shaolin, Sorinji versi Jepang), malah disuruh membersih parit tali-air, mengadun bubur, berkebun sayur-mayur sembari memikul gentong air dari satu parak ke lapak kebun dalam medan ekstrem, belajar seni bela diri, membersih biara, patuh pada tindak-laku irrasional seorang guru lingkaran kuil (biara). Esoterisme Kejawen?…

Jumlahan perbuatan ini sejatinya adalah praktik beragama yang disematkan oleh agama-agama Timur. Bagi pikiran Barat yang kenyang , bosan atau sudah bi(a)sa dengan agama Ibrahimiyah yang cenderung terdegenerasi sehingga dia menjadi potongan-potongan doktrin (langit) yang tak terhubung ke bawah (bumi). Peristiwa “pembumian” wahyu “Tuhan Monarkhi” itu malah dilakukan lewat sejumlah pertumpahan darah dan perang, air mata dan sakwasangka.

Kajian-kajian spiritual Timur teramat menawan bagi Barat dan mereka menemukan sisi quick tour (pelancongan ringkas) pada dimensi spiritual yang terefleksi dari praktik hidup yang mengedepankan  perbuatan baik; sejatinya terhubung ke langit. Agama-agama bumi (Timur) ini dikenal sebagai agama “dengan-tanpa Tuhan” (bukan atheis); sebuah jalan  menikam ‘diri sejati’  lewat meditasi kesadaran intuitif (via contemplativa).

Barat seakan terserbuk kualitas phallologosentris (kemewahan sains partriarkhal); pemuja sains, sekaligus memisahkannya dengan seni dan moral. Sebaliknya agama kebijaksanaan Timur, membebat sains, seni dan moral dalam satu bulatan padu (tak terpisah). Sejatinya sains tak menghidang kebenaran, tapi hanya sejumlah prasangka yang disenanginya. Pun bukan fakta-fakta universal, hanya desakan kekuasaan atas dirinya sendiri. Lalu, apa bedanya dengan seni dan puisi?

Jemari yang menunjuk bulan, bukanlah rembulan”, bunyi ajaran Zen Buddhis. Artinya, jari memang diperlukan untuk menujuk bulan, tapi jangan sampai kita menyusahkan diri kita sendiri dengan jari itu, setelah bulan itu kita kenali. Lalu, sampiran ini disambut cergas oleh satu cabang Zen (Ch’an;  versi Cina) dalam Taoisme: “Jaring untuk menangkap ikan; setelah ikan tertangkap, lupakan jaring; jerat untuk menangkap marmut, setelah marmut tertangkap, lupakan jerat. Kata-kata digunakan untuk menjinjing makna; makna dipahami, lupakanlah kata-kata”.

Seorang tokoh aliran Semantik yang juga seorang ahli pedang (peraih medali emas Olimpiade) dan pakar matematika dari Rusia era Soviet (Alfred Korzybski) berkata; “Peta bukanlah wilayah”. Pun, para mistikus Timur, (nukil Capra lagi) menumpukan cenungannya pada pengalaman atas realitas, yang melampaui nalar dan persepsi indrawi sebagaimana termaktub dalam Upanishad: “ Tak bersuara, tak tersentuh, tak berbentuk, tak termusnahkan, tak berasa, tak bergeming, tak tercium, Tanpa awal, tanpa akhir, lebih agung dari yang agung, tak berubah. Dengan mengenali-Nya, orang terbebas dari mulut kematian”.

Capra menunjukkan bahwa, kalau terdapat unsur intuitif di dalam sains, maka kesejajarannya terpikul pula di dalam mistisme Timur yang esoterik itu (ada dimensi sains dalam mistisme). Misal; mendadak lupa, tanpa sebab. Lalu, didiamkan saja sejenak dengan kesibukan kerja lain;  beberapa saat kemudian, tersembul ingatan tentang sesuatu yang dilupakan tadi. Kelupaan dan mendadak ingat akan sesuatu itu, tidak melalui proses berfikir. Dia hadir secara spontan (dan inilah cara kerja intuitif spontan itu).

Kadar beroperasinya nalar dan logika di dalam beberapa aliran dan sekte esoterisme Timur itu berbeda antara satu tradisi dengan tradisi lain; Hindu Vedanta atau pun Buddha Madhyamika adalah representasi tradisi yang dikenal amat intelektual.  Toisme, sebuah gaya olkutis, malah mencurigai nalar dan logika. Lebih melampau, Zen yang tumbuh dari Buddhisme dan amat terpengaruh Taoisme, tampil  sebagai entitas ‘yang tanpa kata’, ‘tanpa penjelasan’, ‘tanpa perintah’, ‘tanpa pengetahuan’. Zen, menumpukan sepenuhnya pada ‘pengalaman pencerahan’, tak berminat untuk menakwil atau menafsir pengalaman itu. Sebuah ungkapan tua Zen: “Ketika engkau berbicara mengenai suatu hal, segera lupakan maknanya”. Persepupuan kecerahan esoterik Taoisme?: “KetikaTuhan  bernama, maka bukan Tuhan lagi”.

Zen yang aduhai itu selalu dilengkung dalam puisi klasik Jepang (Haiku) atau sajak “telapak tangan”, karena tampil serba pandak, pun tak menyuruh didatangi “makna”. Capra menulis; ketika seorang rahib bertanya kepada Fuketsu Ensho; “Jika bicara ataupun diam tak bisa diterima, bagaimana seseorang bisa lulus tanpa kesalahan”? Jawab Sang Guru:

Kerap ku ingat Kiangsu di bulan Maret…
Merdu ayam hutan,
Semerbak bunga mewangi