May 17, 2025
emmanuel-phaeton-ZFIkUxRTWHk-unsplash

Oleh Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M. PHil

Selisih jarak antara ‘mayat’ dan manusia, jembatannya adalah “cinta”. Maka, menjadi manusia , bergumullah dengan cinta: “Cinta adalah hukuman mati yang menjadikan diri saya ada” (Julia Kristeva). Dalam cinta ada ideasi; sosok ideal. Dan ideal itu adalah sebuah kekuatan yang membutakan.

Kuasa atau kekuatan yang tak kasat mata; laksana matahari atau pun hantu. Romeo berujar: “…Juliet, engkaulah mentari”. Metafor pucuk cinta itu menyampaikan kepada Juliet tentang pandangan penuh cinta Romeo atas dirinya; lalu mempersembahkan tubuhnya bagi kematian agar ia bisa abadi dalam penyatuan simbolik dari Liyan yang bangkit tersebab cinta.

Cinta dan naluri kematian, malah menjadi ‘daya hidup’ (vita activa) bagi kelangsungan makhluk bumi. Melanie Klein, sosok figur yang hari-harinya dihabiskan untuk telaah naluri kematian, beranggapan bahwa desakan terawal kemampuan untuk mencinta adalah memberi ‘ucapan terimakasih’: ke atas ihwal apa yang penting untuk diketahui mengandung sesuatu yang baik (good) dalam diri seseorang dan orang lain. Kemampuan untuk berterimakasih ini muncul dari pengalaman atas “good breast” (masa penyusuan yang baik)  yang bertugas memenuhi rasa lapar dan haus bagi seorang anak. Memenuhi rasa lapar, terhubung dengan tema keberlimpahan yang menjadi prototipe dari keseluruhan pengalaman yang mengiringi kenyataan bahagia dan kenikmatan (jouissance).

Konsep rasa terimakasih ini dialamatkan pada obyek maternal (kepertiwian sang bunda) secara menyeluruh.  Berseberangan dengan itu, Klein malah menduga bahwa kemampuan mencinta, bukan semata insting dasar makhluk (Freudian), namun merangkap sebagai “aktivitas primordial dari ego” (bawaan asali entitas).

Melalui cinta lah segala ihwal terhampar di alam raya. Tersebab Cinta (C-besar) Yang Maha Kuasa yang melebihi amarahnya (dengan a-kecil), jagad semesta tercipta dalam hukum keteraturan dan ‘ke-berterimakasih-an’ di antara sesama obyek alam dan subyek alam. Sisi ontologis tasawuf mengisyaratkan bahwa ‘wujud’ itu milik Tuhan, maka ‘adam’ (ketiadaan) adalah ‘milik’ alam. Ketersambungan antara ‘wujud’ dan ‘adam’ oleh Ibn Arabi dipandang sebagai cinta yang menyinari kegelapan: bahwa ‘wujud’ adalah cahaya dan ‘adam’ adalah kegelapan.

Cinta melampaui akal. Di depan cinta, akal mati. Di hadapan cinta, akal membeku dan layu. Auman para filsuf dan ilmuan yang membela manusia selaku “haiwan berakal’ (animal rational) ialah sebuah kekeliruan sejarah yang calar. Sekaligus menyesatkan. Kemampuan berfikir, bukanlah sifat yang boleh diagung-agungkan sebagai milik manusia semata. Kemampuan ini dimiliki oleh seluruh elemen alam. Yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk alam lain itu adalah “bentuk ilahi” yang diemban oleh manusia. “Bentuk Tuhan” (al-surah al-ilahiyyah). Pandangan ini merujuk pada Hadith “Imago Dei”: Allah mencipta manusia menurut bentuk-Nya.

Bentuk, bukan semata peristiwa fisik. Dia mewakili sisian ruh dan renjana; Cinta dan Kasih. Maka terbitlah agama cinta, ilmu mencintai, pengetahuan mencintai, tabiat cinta dan kasih, bawaan dan ucapan mencinta, perilaku mencinta, uluran tangan penuh cinta, ujaran dan senyum muai kasih dan cinta. Adam (sebagai ketiadaan) duduk di atas sebuah ‘halte’ yang mengemban dan menyemburkan cinta dan kasih (bernama bumi/pertiwi) demi memercikkan kembali “gambaran Tuhan” (Imago Dei) yang terekat pada peristiwa perjanjian dan penciptaan primordial Adam. Bumi bak charge-tool (alat cas ulang) bagi Adam dan turunannya untuk menyemai cinta dan bagaimana mencintai. Cinta: “Imej Ilahiyah”.

Sejak itu, Cinta menjadi variabel “pengusik” kreatif-profetis yang meresahi Buddha, Musa, Khidr, Daud, Sulaiman,  Jesus, Muhammad, Uways Qarni, Hasan al Basri, Rabi’ah al-Adawiyah, Dzun Nun, Abu Yazid al-Bustami, Ibrahim bin Adam, Hafez, Rumi, Thomas Aquinas, Milarepa, Gibran Kahlil Gibran, Dalai Lama, Dara Sikhoh, Martin Lings  dan… (mudah-mudahan) KITA. Para penghayat dan pengembara spiritual menyauk dan menyemburkan kembali cinta; tak semata dalam karya, dalam cara berfikir dan bertindak, namun dalam lelaku terdiferensiasi ke atas segala makhluk, pun tak terkecuali: tungau.

Tiupan cinta, hari ini tak diekspresikan dengan cara saling bersedekap; namun menjaga jarak, tak mengguncang genggaman tangan, namun mengangguk wajah dalam nada takzim, menghindari kerumunan (melatih diri dan emosi, bahwa semakin berjarak, kian mencinta yang menyilaukan bak kelihangan Juliet bagi sang Romeo; kesirnaan Laila bagi sosok Majenun). Berjarak dalam maujud cinta itu ditampilkan oleh selembar tipis mask(er) yang menutup segala tampilan ekspresi dan impresi ‘person’, yang sejatinya menggalang kekuatan “persona” (bukan topeng).

Ternyata cinta itu berjarak dalam elusan, desah serba lembut. Cinta yang diekspresi seorang anak kecil terhadap anak ayam? Membawa maut di dalam genggaman. Anak ayam mungil, di dalam genggaman si anak kecil dipenuhi ‘keberlimpahan membatu’; toxic.

Belajar ‘mencinta’, demi menyalin “Imago Dei” yang tercitra dalam “perjanjian primordial”. Bukan “drama kosmis”…