November 1, 2024

Ilustrasi: cdn.pixabay.com

Oleh Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M.Phil

Banyak yang meratapi runtuhnya ‘kosmologi tradisional” dalam sistem pewarisan ilmu. Ya, kosmologi tradisional ilmu itu mengandalkan temali warisan yang turunannya jelas terhubung ke pangkal kayu; misalnya dalam tradisi pemikiran  Hellenik (Yunani), Plato atau Socrates. Dalam tradisi pesantren sanad segala hadith dan kajian kitab kuning itu berpangkal pada Nabi al Mursalin.

Kosmologi tradisional itu diobrak-abrik oleh internet dengan segala aplikasinya pada revolusi era ini. Kota-kota menjadi wilayah letup yang maha dahsyat dalam tradisi dan pewarisan ilmu gaya sanad lepuh ini. Dan setiap orang yang dulunya gairah dalam sistem pondok (pesantren), dibalut dalam gaya pendidikan forma terlembaga. Ujungnya? Perolehan ijazah (sijil) sebagai tanda pengakuan dari sebuah institusi otoritatif dengan masa belajar yang telah disepakati. Bergumul dengan sejumlah materia kurikula yang berhajat besar pada pencerahan manusia.

Itulah fase sekolah konstruksi formal dan terlembaga, baik di bawah seliaan negara maupun oleh gerakan swasta (private) atau diurus oleh sebuah Yayasan. Tema besarnya adalah tradisi pewarisan pemikiran. Menjaga dan merawat tertib pewarisan ilmu itu melalui  figur pemikir yang otoritatif; baik lisan (verba) apatah lagi tulisan (teks-literer).

Pada fase tabrakan internet, orang bisa mengakses pengetahuan di mana dan kapan saja. Tak perlu lembaga dan terlembaga secara formal. Toh ujungnya berakhir pada selembar sertifikat (elektronik). Penjemputan ilmu pada era internet ini, beroperasi dalam moda semacam mendatangi “tenda-tenda minat”. Anda berminat dalam bidang pengetahuan A, maka datangi saja tenda R. Yang berminat dalam pergumulan pemikiran C, datangi tenda W. Begitu seterusnya…

Di sini, segala ihwal pengetahuan seakan berdiri sendiri, tak terhubung dengan rerangkai “pohon pengetahuan” yang ranggi dan bisa dipertanggung-jawabkan kesahihan pengetahuannya. Orang didesak mendatangi pulau-pulau pengetahuan dalam sejuk dan memencil. Pulau-pulau itu terpisah dengan bentang daratan benua (terra) pengetahuan yang amat luas.

Saya pribadi, termasuk yang meratapi hancurnya “kosmologi tradisional” itu. Tapi, apa daya. Yang tersisa bagi manusia yang punya daya sintas kenyal tak lain adalah adaptasi dan penyesuaian (adjustment) terhadap keadaan dan klima yang ada di depan dan mengepung kita.

Kota-kota menjadi pabrik raksasa yang memproduksi manusia ‘penjemput’ pulau dan “tenda” pengetahuan yang berdiri memencil dalam riuh rendah dunia internet (walau sejatinya dia sedang diperolok-olokkan). Dari sini muncullah fenomena penukangan basis kosmologi itu secara terancang, bisu,  masa bodoh, ambigu,  dalam gaya serba bazaar: Profesor Kehormatan, Doctor Honoris Causa…  (era fabrikasi kota-kota tentang capaian dan selibat gelar yang dipanggul).

Orang-orang mengaitkannya dengan setting dan panggung politik jelang memasuki tahun politik. Oh tidak… ini adalah sebuah bentuk produk fabrikasi perkotaan bergaya konstruksi urban dalam sejumlah bias kota (urban biased), nafsu dan maunya orang-orang kota dan peristiwa ‘mengkota’, semburat budaya pop (pop culture) yang disorak dan disemburkan oleh keriangan era internet. Mudah hanyut dan terbuai oleh segala ihwal superfisial dan artifisial. Serba permukaan. Kita sedang menjalani masa pendangkalan peradaban (banality).

Jauh dari mimpi dan upaya Austen Henry Layard yang, menggali, mencicil dan membariskan sekumpulan fondasi pengetahuan dari lempengan-lempengan kuno Enuma Elish. Sebuah maha karya sastra Babilonia kuno tentang penciptaan. Layard bertindak cermat di antara kepingan reruntuhan pustaka kuno Ashurbanipal di Niniveh, Mosul, Iraq, pada 1849. Semua tindakan ini, demi sebuah tindak laku kosmologi pengetahuan tradisional yang diraut dalam lorong cermat dan kesabaran eselon satu plus.

Mungkin saja, orang-orang kota kelas menengah-atas (established perkotaan) dengan PDRB 1500 Dollar US, sedang menjalani kehampaan batin tersebab oleh kekayaan material (post-material). Bisa pula mereka semacam kehilangan panggung kuasa dan politik; atau sekaligus hampa ‘renjana spiritual’, kesyahduan batini yang terampas; sedang merakit upaya-upaya “oligarkhis” ilmu dan “penanda kebudayaan” (cultural marker) dalam entitas baru walau dia hampa. Bisa entitas itu berbalut agama; gelar Ustad Honoris Causa, Tuan Guru Honoris Causa, Kiyai Honoris Causa, Mursyid Honoris Causa, Habaib Honoris Causa. Ah… entahlah!

Apakah kita perlu masuk, mencemplung, tergelincir dan terpeleset dalam sejumlah aktivitas dan gerakan banalitas peradaban?

Kita tengah memperolok-olok peradaban dalam kesemberonoan bekadar karnaval: Penyorak adalah mereka yang disorak. Penggendang adalah jua mereka yang digendang. Rerangkai perbuatan kebudayaan yang semberono dalam gempita penyemberonoan peradaban…  dan, kita tengah menjalani sejumlah kesemberonoan itu dalam relung kesadaran terdangkal. Tak kan pernah dituntun oleh akal kemalaikatan (angelic reason)…

Enuma Elish, satu monumen penanda ingatan (tadzkirat) tentang penciptaan dan kesadaran ‘akan’ waktu. Di sini, segala kalender peredaran kosmik disusun dalam skala ‘waktu subyektif’ dan ‘waktu vulgar’.  Kita sedang berolok-olok dalam candaan serba kodian-murahan sembari meruntuhkan kosmologi pengetahuan… Selamat di(men)datangi 1 Muharram tahun Lunar-Hageria.