
Ilustrasi Immanuel Kant: simplycharly.com
Oleh Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M. Phil
Agama, ideologi, organisasi, partai, negara adalah sekumpulan perintah (imperative). Perintah yang bersandarkan ‘moralitas’. Perintah dan moralitas: akan terhubung dengan ide dan proyek pemikiran Immanuel Kant. Inilah sosok filsuf yang menghabiskan hari-harinya dalam perenungan menusuk ke relung-relung moral terdalam sepanjang sejarah filsafat dunia.
Kant dan jam adalah jam itu sendiri. Sosok yang sangat disiplin dengan pola hidup serba amat mekanis: sarapan tepat waktu, bangun tidur tepat waktu, melintas jalanan menuju tempat kerja juga tepat waktu. Tepat waktu dalam segala hal. Sehingga orang di kota kelahirannya Koenigsberg, menabalkan gelar kepada Kant adalah waktu itu sendiri. Dia laksana jam yang berdetak bagi kota itu.
Kant yang lembut, kaku dan tertib itu menyampaikan kepada dunia dan kita; bahwa sebuah perintah atau kewajiban yang dilaksanakan demi maksud tertentu, di luar maksud moralitas, bukan lah kecemerlangan akal budi. Kecemerlangan ini disebutnya “kebaikan tanpa pengecualian”. Mari kita singkap satu persatu. Keberanian: bukan. Keberanian akan menjadi bencana ketika tiba di tangan seorang perompak yang dengan santai mencungkil mata mangsanya.
Kecerdasan (pengetahuan). Juga bukan. Kecerdasan akan memupuk resiko negatif jadi bencana ketika digunakan seorang penjahat. Lalu, Kesehatan? Woww… kesehatan juga bukan. Dia akan membahayakan makhluk lain ketika dianugerahkan kepada seorang diktator bengis dan zalim (ingat rezim fasis Mussolini atau Hitler). Kebahagiaan? Juga bukan. Karena kebahagiaan dan kesenangan itu amat berbahaya ketika sampai kepada orang-orang jahat. Kebaikan sejati itu adalah “kehendak baik” atau good will atau niat.
Pemikiran Kant amat rumit dan subtil, baginya hanya ada dua hal yang amat bernilai gemala dalam hidupnya: “two things awe me most, the starry sky above me and the moral law within me”. Ya, bintang cemerlang di langit sana dan bintang cerlang di dalam kalbu. Bintang cerlang di dalam diri inilah yang disebutnya sebagai good will. Niat, kehendak baik menjadi dasar bertolak atas serangkaian perbuatan dan tindak laku manusia. Tindak laku ini akan berujung pada sejumlah maksud dan alasan. Maka dia menjadi sebuah tindak laku yang berpaksi (berpangku) pada alasan-alasan perintah jenis hipotetis. Bukan perintah kategoris (categorial imperative).
Perintah hipotetis (hyphotetcial imperative) akan dibingkai dalam rumus serba singkat dan rapi (jika…, maka…; atau if…, then…). Hari ini, sumber moralitas apakah agama, adat resam, nilai lokalitas, nilai-nilai kemanusiaan universal, mengalami peringkusan oleh sejumlah orang demi menunaikan dan mensyahkan perbuatan itu dalam kerangka demi tujuan pribadi atau kelompok sempalan (alias manusia selaku alat).
Di sini, ujar Kant, manusia dalam posisi alat. Semestinya manusia diperlakukan sebagai tujuan (no persons should be used). Karena moralitas merupakan “rational-self regulator”. Tindakan moral itu dilakukan berdasarkan prinsip moral tertentu, bukan berdasarkan kebaikan dari tujuan atau hasilnya. Bagi Kant, orang yang baik adalah orang yang menguasai kehendaknya (niat, good will) karena senantiasa memperturut hukum moral.
Jenis perintah hipotetis: “Jika rajin masuk kerja, maka akan naik pangkat”. “Rajin menghadiri kuliah, demi kelulusan lebih lekas”. Si anak kecil berkata: “aku mau disuruh ibu membeli beras ke kedai, demi mendapat upah candy”. Jenis perintah (hipotetis) ini sedang berkeliaran di ruang-ruang sejuk dan berwibawa; kantor, perusahaan multi-nasional, koorporasi anggun, ruang-ruang kampus, markas partai, pusat budaya, rumah ideologi, gedung LSM (NGOs) dan seterusnya.
Kita telah dikepung oleh ‘moralitas semu’ dalam bingkai perintah hipotetis. Jabatan politis; Gubernur, Bupati atau Walikota rajin dan tertib menjalani perintah hipotetis ini. Karena di dalam jabatan itu melekat sejumlah kehendak berkuasa dan kehendak politik yang beragam (sejatinya tunggal). Kemudian dibenturkan lagi dengan “perintah hipotetis” yang berseberangan dengannya (LSM, pressure group, kelompok kritis, seniman, gerakan mahasiswa) yang juga berlaga dalam keriangan “perintah-perintah hipotetis” secara oposisional.
Yang dirindui Kant dalam prinsip moral (filsafat) adalah tegak hadirnya sejumlah tindak laku manusia yang beralas pada perintah kategoris (categorial imperative). Jenis perintah ini tak lagi menawarkan kaidah “jika…, maka..., atau if…, then…” itu lagi. Prinsip dasar dari perintah kategoris adalah: “apa yang harus dilakukan”: Kita tak boleh membunuh, apa pun tujuan dan alasannya. Titik. Apa formula dari perintah kategoris ini? Berbuatlah yang mengacu pada prinsip kebaikan semesta (what is fair for one is fair for all). Formula kedua adalah; “Always treat human beings as an end in themselves, never simply as a means to an end”. Alias, perlakukan manusia selaku manusia, termasuk diri sendiri, apatah lagi kepada orang lain. Tak meletakkan mereka laksana alat, namun jadikan semua manusia sebagai tujuan.
Apakah semua tindak laku selama ini bisa dimasukkan dalam jenis perbuatan “cardinal virtue”, sebagaimana imajinal Platonik? Kebaikan terpuncak itu oleh Immanuel Kant disebut “Summum Bonum” (yang mempertautkan antara kebajikan dan kebahagiaan). Melatih diri untuk berkarib-kerabat dengan perintah jenis ‘kategoris’ ini, paling tidak demi sebuah ingsutan yang secara perlahan akan mendekatkan kita ke sumber cahaya (matahari peradaban). Untuk itu petiklah gemintang bersinar yang ada di dalam diri mu. Walau kita tak perlu memaksa harus disebut sebagai kaum Kantian…