
Ilustrasi: newindianexpress.com
Oleh Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M. Phil
Menumpang sebuah ‘negara gagal’? Kegagalan yang dialamatkan kepada kualitas hidup dan jaringan sosial sebuah bangsa. Artinya, nilai gagal itu lebih diarahkan kepada kenyataan berdimensi sosial yang carut-marut; tidak bahagia. Ketika kita hidup dalam sebuah rumah besar dengan kandungan segala jenis keragaman; suku, adat, resam, kepercayaan, agama dan ideologi, maka pada ketika itu kegagalan atau pun kejayaan bisa dilekatkan pada elemen-elemen tadi.
Kini, seakan semuanya hanya milik mayoritas. Segala yang berbau minoritas semacam tak punya hak hidup (‘hak bahagia’). Minoritas berada dalam tekanan mayoritas. Toleransi yang terkandung dalam Pancasila itu, sebuah ambiguitas, kabur, tanpa gayutan. Tanpa teluk teduh tempat segala minoritas melabuhkan sauh. Penguasa yang nota bene pernah mengikuti segala jenis dan level pemilihan, termasuk parlemen, sejatinya tidak bertujuan mengabdi kepada negara, tak jua kepada rakyat. Tetapi mengabdi kepada kapital, kepada uang dan kuasa; power and property. Kekuasaan loyal kepada pasar. Sementara, pasar itu sendiri tidak berideologi. Dia hanya patuh dan tunduk kepada uang.
Sistem demokrasi yang diadopsi oleh masyarakat berbasis “budaya yang rendah” (minimal), akan menghadirkan sejumlah kelucuan-kelucuan hidup yang “maksimal”: Utamanya, kelucuan sosial tiada henti. Setelah suami yang berkuasa, maka ganti tikar kekuasaan kepada isteri, kepada anak atau menantu. Seolah-olah kekuasaan itu hanya hak milik keluarga fulan. Majelis kekuasaan itu, tak menjadi ranah warga bersama. Pun, terbangunlah oligarki kekuasaan oleh satu keluarga yang berbungkus ‘emas demokrasi’ (dipilih, diusung dan didukung rakyat sejati).
Bila setuju dengan hasil survei lembaga internasional mengenai negara gagal, maka kita juga harus bersepakat, bahwa dia adalah hasil dari barisan panjang kegagalan: negara yang gagal adalah hasil penjumlahan dari provinsi yang gagal. Seterusnya, provinsi yang gagal, adalah hasil penjumlahan dari kabupaten-kota yang gagal. Kabupaten-kota yang gagal adalah cerminan dari kecamatan yang gagal, kelurahan gagal, desa gagal dan terakhir rakyat yang gagal. Terpuncak dari semua itu adalah para ‘imam masyarakat’ itulah yang gagal; pemimpin formal, informal maupun non-formal.
Pemimpin, sejak tingkat terendah sampai tingkat tertinggi di negara ini, seakan bercita-cita hanya mengumpul property [kekayaan] sebanyak mungkin. Walau masih tersisa sejumlah pemimpin sejati demi akal budi dan pelayanan rakyat sesungguhnya. Selebihnya, jika dilihat dari kasus korupsi tiada jengah, non sense rasanya mereka hendak melayani rakyat dan membangun. Dua asa yang mendorong mereka ikut dalam peristiwa politik, tak lain: power and property. Entitas maujud economic animal (hewan ekonomi) paling rakus-haloba. Kenyataan ini, pun telah menembus tembok moral peradaban bernama universitas. Kabar sayup-sayup sampai, juga menembus dinding tebal Kementerian Agama, sejatinya jadi suri tauladan pucuk perbuatan dan tindakan mulia. Negara gagal itu bukan harus dijawab dengan pertumbuhan ekonomi yang cenderung menaik. Tetapi, negara gagal itu mencerminkan ketiadaan rasa bahagia dalam kehidupan warga dan masyarakat.
Pilihan ke atas demokrasi sebagai instrumen hidup bersama demi menyapa dan memetik madunya politik, malah berbelok arah; demokrasi vis a vis dijadikan alat untuk membunuh demokrasi. Bergemuruh, helat pemilihan kepala daerah memainkan isu-isu SARA dan politik identitas: Sebagai kewajaran serba normal? Ya, sebuah nestapa, jua brutalitas politik yang turut mengkelamkan cakrawala hidup bersama: Terakhir, pemilihan Gubernur Jakarta (2017) yang amat heboh dan mencekam. Energi nasional seakan terkuras hanya untuk sebuah peristiwa pemilihan gubernur ibukota Negara. Pola ini bakal menjadi model? Demi merusak sendi-sendi demokrasi di masa datang.
Demokrasi meleceh dan mempermainkan demokrasi, ketika politik bukan sesuatu yang menakutkan (layaknya politik era Orde Baru dua dekade silam). Saat itu, orang ditakut-takuti untuk berpolitik. Kala politik bukan sesuatu yang menakutkan, malah kita mempermainkan dan memperolok-olok politik lewat gerakan massa, brutalitas, menjingkang hak-hak minoritas, mengumpul kekuasaan demi mengabdi pada kaum mayoritas (ironi). Politik belah bambu ‘gaya baru’; kaum minoritas memilih figurnya sendiri, sementara yang keluar sebagai pemenangnya (tetap dan pasti) ialah figur dari puak mayoritas. Sebab, sistem suara (vote) berdasarkan suara “kuantita”, bukan suara “mutu” (keterwakilan komunitas).
Wajah negara dengan kadar demokrasi gagal. Sebuah demokrasi mobilisasi massa yang menempatkan individu sebagai massa, bukan selaku warga negara (citizen). Individu tak lebih dari setumpuk daging emosional, tak rasional, diutak-atik secara mekanis; identitas satu suku, satu iman, satu latar kebudayaan. Impian mengenai “masyarakat madani” itu, malah dipintas, diringkus menjadi “maunya” madani sepihak (selera mayoritas) yang memaksa minoritas harus masuk dalam narasi madaninya puak mayoritas yang otomatis sebagai pemenang dalam kontestasi persaingan dan perebutan jumlah suara.
Sampai bila hal ini berlangsung? Dia akan berlangsung selagi elit-elit politik merasa terangsang syahwat kuasanya. Elite politik dengan mental sekonyong-konyong. Sebagian besar bermental elite-pragmatis; muncul secara dadakan dengan jargon dan motto sekelas produk “jamu masuk angin” yang berbincang tentang dunia serba “akan”: Akan membangun masyarakat bahagia, akan menciptakan kesejahteraan rakyat, akan menciptakan keadilan sosial, akan mencipta lapangan kerja, akan mencipta kestabilan ekonomi, akan mencipta kenyamanan-ketenteraman sosial. Semuanya (baru) ‘serba akan’. Belum terbukti. Mereka tampil bak “juru selamat”, namun dalam suasana serba sekonyong-konyong. Mental sekonyong-konyong ini akan terus berlanjut? Entahlah…