Oleh Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M. Phil
Tuhan yang menari! Inilah Tuhan yang dipercayai oleh Nietzsche. Bukan Tuhan yang diam, membeku dalam dogma, mendingin dalam doktrin yang dibenam di kepala. Bukan Tuhan yang berada di luar garis sejarah. Yang dirindu ialah Tuhan yang lincah bermain gelombang, menari di atas ski ombak yang bergulung.
Nietzsche meyakini, Tuhan berada dalam persangkaan beku masyarakat modern. Tuhan jenis ini yang harus “dimatikan”. Kematian Tuhan amsal bagai lenyapnya cakrawala. Ketiadaan cakrawala, menghidang kelam. Kita terhempas dalam kegelapan. Lalu? Kehidupan adalah dramatis.
Justru dia mengajak kita melancong untuk melihat Tuhan dari patahan lain. Dia boleh ditabal selaku “a path seeker” [pencari jalan]. Meneroka Tuhan dari garis yang melampaui zamannya. Dia memeram kerinduan akan Tuhan dalam simpangan batas antara “kepercayaan dan ketidakpercayaan” [sebuah agama dan iman yang paradoks].
Maka, terimalah dia [kehidupan] sebagai sebuah imperatif dan kenyataan: antara yang baik dan jahat. Di antara kelam dan ketiadaan, serta kehampaan, manusia harus mengapung, berlayar menuju tebing seberang sana. Layar sudah terkembang, dermaga telah pun dibakar. Tak ada pilihan. Laksanakan pelayaran nan melelah. Meletuplah idiom matahari Nietzsche: Über Mensch [Super Men]. Manusia yang melampaui batas cakrawala. Manusia unggul yang tak perlu tergantung kepada Yang Absolut [Yang Lain, tout l’autre]. Jangan pertontonkan dirimu bak hamba nan lemah. Tampillah selaku nan juwita dan menawan di depan Tuhan. Bukan sosok pengemis yang tertatih-tatih memikul duka dalam tema sahaya nan lepuh, lumpuh dan bilur.
Tuhan yang dirindu adalah Tuhan yang memahami bagaimana menggerakkan sebuah tarian indah. Tuhan yang berpengaruh secara aktif dalam setiap denyut kehidupan per seorangan. Tuhan yang tak menghindar dari segala petaka yang menimpa para yatim-piatu. Tuhan yang tak meng-alibi ketika berdepan dengan tragedi pemerkosaan dua perempuan yang diarak bugil di sepanjang jalan-jalan Manipur.
Sejauh ini, Tuhan ditafsir dalam kepungan “teks tertutup” yang hanya bisa ditafsir oleh sosok otoritatif yang memiliki akses khusus, lalu Tuhan ‘ditawan’ secara resmi. Upacara ‘peresmian’ akan tafsir ini disebut sebagai ‘agama obyektif’, dalam laras obyektivasi yang menampilkan Tuhan obyektif [Roh Absolut Obyek], dengan peran Tuhan yang pasif, teologi positif.
Inilah Tuhan yang dihadirkan oleh sejumlah tafsir. Kita ‘mengimani Tuhan versi tafsir-tafsir’, sebuah permainan tafsir [teks] tanpa henti dan tiada jeda, ujar Derrida lebih ekstrem lagi. Di sini agama hadir selaku pranata penafsiran. Seraya mengharamkan penafsiran ulang. Sebaliknya, ada Tuhan dari jalur negatif [via negativa]; bukan itu, bukan ini, bukan atas, bukan bawah, tidak tinggi, tidak rendah, tak kiri dan tak kanan dan …
Pergulatan hidup yang amat keras, mendorong seorang pemikir berkelana mencari akan Tuhan. Pencarian ini berada di perbatasan “kemungkinan dan ketak-mungkinan”. Mungkin bersua dalam sejumlah ‘pengalaman’ mistik yang terdalam, terdasar dari segala dasar, sebagaimana dialami Syaikh al Akbar Ibn Arabi, Thomas Aquinas, Spinoza atau al Ghazaly, Milarepa. Pengalaman terdalam [tak berhingga itu], tak bisa diceritakan secara “apa adanya”. Dia dihadirkan melalui amsal dan analogi.
Peminjaman amsal dan analogi itu, bisa berupa tarian [sufi], bunga [apung teratai], jeram, samudera, puncak gunung, demi menggambar kemilau mistika tentang perjumpaan mistis [tremendum-fascinosum]. Media analogis yang dipakai untuk menyampaikan “khabar terdalam” itu adalah ‘topeng’ yang dalam bahasa Latin disapa “persona”.
Persona; dua suku kata Par dan Sono [for sound; untuk bersuara]. Tragedi Yunani memperkenalkan ‘topeng’ yang dikenakan para pemain teater. Berlakon di amphiteater yang dikelilingi pinggang gunung. Agar penonton bisa mendengar bunyi dialog para aktor ‘tragedi” yang sedang berlakon, maka aktor harus mengenakan topeng yang berfungsi memberi efek bunyi suara yang keras ke dinding gunung [gema pantulan].
Topeng [persona] bagi Nietzsche ialah medium untuk mengisahkan ihwal terdalam dan teramat jeluk. Dalam risalah “Beyond Good and Evil” dia berkata: “Semua pemikir yang dalam, lebih takut dipahami daripada disalah-pahami”. Andai disalah-pahami, hanya diri si pemikir yang luka dan menderita. Namun, jika segala teks yang terdedah itu malah dipahami, maka hati dan rasa simpatinya akan berkata: “Yaaa… kasian, kenapa engkau ingin menderita sekeras apa yang ku alami?”.
Bagi Nietzsche, teks-teks yang terdedah dalam format aphorisme [penggalan patah]; tak ada awal dan tiada akhir. Boleh dibaca dari tengah dan boleh dari akhir. Tak masalah. Dan itulah diri si pemikir. Segala opini adalah tempat persembunyian, dan kata-kata adalah topeng. Apa-apa yang disemburkan lewat tulisan, semua itu adalah topeng. Bukan kebenaran sejati. Termasuk kisah dia “membunuh Tuhan”, tak bisa dijelaskan lewat teks bak topeng itu.
Walhasil, “lebih enak berbicara dengan Tuhan berbanding berbicara tentang Tuhan”. Untuk menjelaskan pengalaman dan kesan mistik terdalam, orang harus dengan hati-hati menyampaikannya [ingat al Hallaj]. Dan semua itu akan bermuara pada salah tafsir. Di atas tumpukan balok bangunan [salah] tafsir itulah kita menyandarkan iman? Entahlah. Saya petik doa pendek seorang resi agung dalam tradisi mistik Kristen yang sohor di abad-14, Meister Eckart: “I pray God to rid me of God” [ku panjat doa kepada Tuhan demi membebaskan daku dari Tuhan].
Lalu, Filsafat datang sebagai “Kunts der transfiguration”, sebuah seni yang memberi dan menghadirkan figur-figur yang lebih gaya, seksi, indah menawan….
Niietzsche dan Tuhan,… biarlah di sana.