May 17, 2025
a

OIKETAI – Senyampang matahari bangkit  sepinggang di pinggir pantai. Inilah Negeri Pagi (die Morgen Lande). Kaum Puan bergegas berhimpun pada satu titik di tebing mangrove berkilau pendaran surya pagi merekah. Berbusana bak nuju tapak majelis taklim. Cantik dan molek semua. Mereka berhimpun dalam sebuah hajat mini. Hajat menggoda dan menjelitakan kampung nan molek tersadai di tepi selat Melaka.

Kulum kalender 4 Agustus 2023, memecah pagi. Ya, upaya menghadir dan mempertingkat rona dan eskalasi souvenir khas kampung tak semata berstatus “cendera mata”, tapi harus naik klas ke arasy “cendera kenangan” dan bahkan “cendera hati”. Dari Pangkalan Jambi cendera segala cendera itu bersiul dan bernyanyi.

Sudah dirintis oleh kelompok Usaha desa oleh lentik jemarik kaum puan (ibu-ibu) yang lucu dan ceria. Bentuknya? Makanan olahan tanpa pengawet. Produknya? Ya, kue daki (amplang) dari buah berembang/ kedabu (S. Caseolaris), biskuit lomek (bislom), sirup dari ekstrak buah kedabu dan atau pedada (Sonneratia caseolaris), sabun dari ekstraks berembang.

Tugas besar lainnya? Memperbanyak  turunan atau derivasi jenis makanan olahan yang bisa dijadikan cendera kenangan dan “cendera perut” bagi pengunjung dan para pelintas jalan raya yang menyusuri sepanjang selat Melaka. Jalur ini ini mempertaut dan mempersambung kota-kota di pesisir timur Riau. Selain itu, tentulah tapak gerai yang memadai, modern dan bisa menampung para konsumen dengan area parkir dan fasilitas umum yang trendi dan modern. Lahan? Ya, sekita 05-1.0 Ha yang diperlukan. Menghadirkan bangunan inilah yang menjadi mimpi sekaligus masalah.

Jika hanya bersandar pada dana desa curahan dari Kabupaten, tentu amat terbatas. Sebab skema peruntukan dana desa tak bersifat tunggal. Harus merengkuh sebanyak mungkin keperluan masyarakat secara luas.

Mungkin skema kerjasama filantropis dengan pihak ketiga; perusahaan minyak atau model kerjasama vertikal untuk “mencuri”  APBN pusat sambil menjaja isu garis pantai terluar sebuah negara (kelembagaan BRGM dan Badan yang mengurus kawasan perbatasan dan pulau terluar).

Produk makanan olahan, saat ini masih bertumpu pada bahan baku utama tetumbuhan berembang, pedada saja. Pengembangan secara horisontal, berupa produk  sabun ber aroma ekstrak berembang. Kembangan lanjut? Ya, berupa teh daun berembang melalui proses pengeringan modern (refreezer) agar kualitas dan daya tahan lebih lama, tanpa pengawet.

Melirik potensi berembang, masih ada unggulan yang disediakan oleh pohon ini; ya pulp (bubur kertas). Uji laboratoris kandungan pulp pada pokok ini, pernah dilakukan di Afrika Selatan dan Brazil untuk memenuhi kebutuhan pulp bagi pabrik kertas di dua negara itu. Tema pulp ini, bagaimana ibu-ibu ini harus mendatanginya? Masih awam dan rada bingung… Mungkin sebagai material untuk pewangi alami, bahan baku  untuk produk kosmetika? Masih dalam eksplorasi laboratoris.

Sumber daya lain yang bisa dikembangkan dari lingkup zona ekosistem mangrove adalah pemuliaan produk “zat pewarna” alami. Ihwal inilah yang dipercakapkan selama perbincangan pagi antara kaum puan desa Pangakalan Jambi dengan Tim KJFD “Masyarakat dan Kebudayaan Aquatik” yang diketuai langsung Prof. Dr. Yusmar Yusuf.  Tajuk rengkuh pengabdian pada masyarakat ini adalah: “Resiliensi Usaha Makanan Olahan Berbasis Bahan baku Lansekap Mangrove (Moda Souvenir Alternatif Masyarakat Aquatik di Desa Pangkalan Jambi Kecamatan Bukit Batu Kabupaten Bengkalis). Dialog dan diksui berlangsung sejak pukul 08.30 pagi hingga pukul 11.30 Wib di bangsal/ Balai-balai Mangrove pangkalan jambi.

Maka, ditemukan sumber bahan baku di luar berembang dan pedada. Yaitu, pokok Nyirih (Xylocarpus Garantum) dan kulit pokok bakau (Rhizophora mucronata). Dua jenis pokok ini dalam pengalaman sehari-hari orang kampung sejak 50 tahun lalu (terutama bakau), dijadikan bahan “samak” dan pewarna sekaligus untuk mengawetkan lambung perahu dan tali-tambang. Caranya, lewat cara “ditangas” api yang disulut di lambung perahu atau kapal, lalu cairan ekstrak getah bakau itu dilumuri atau dioles pada permukaan papan lambung perahu dan kapal.

Merujuk pada pengalaman ini, maka ekstraks yang dihasil dari kulit bakau, sekaligus kulit pohon nyirih akan bisa diolah untuk menghasilkan  zat (induk) pewarna dasar untuk kepenting pewarnaan yang ditimpakan pada perajin batik. Apalagi gempita batik lokal dan etnik, pada masa ini amat bergemuruh dan bergempita oleh sejumlah Dekranasda (Kabupaten/kota dan Provinsi).

Zat pewarna alami, ini bisa dibongkar dari kazanah dan perkakas alami yang tersedia di sumber deposito natural bernama kawasan ekosistem mangrove Pangkalan Jambi. Hari ini, kecenderungan gaya hidup dan gaya berpakaian anak-anak muda dan kaum trendis perkotaan, menghindari  warna-warna “jahat di mata”: Warna keras, dan menantang. Saat ini fashion dalam berbusana (termasuk dress code kaum milenial perkotaan) juga sudah kembali ke jenis warna-warna bumi; warna bias dan atau warna semu. Tak serba menantang.  Kini saatnya kita kembali ke warna Bumi.

Dialog ini dipercantik dengan tutur luncur dari Dra. Risdayati, digenapkan oleh opini-opini luar garis dari 4 (empat) orang mahasiswa milenial; Bagus, Dayat, Aimoko dan Muhardy. Dikatup dengan celoteh cerdas ceria dari kaum puan dan remaja puteri desa Pangkalan Jambi. Teguh Widodo, Syafrizal dan Resdati, S. Sos, M. Si (dosen) mengumpul segala himpunan pendapat yang bersilang-silang itu dalam modul “Penyentakan Akal Kesadaran Ekologis” di lapis kedua. Para dosen ini belajar segi-segi inklusi sosial pada dimensi perajin dan pelaku UMKM.

Pendar mentari pagi, merekam segala notulensi persilangan ide dan narasi sepenggalah pagi itu. Ya, di Negeri Pagi (die Morgen Lande)…

RO/yy