February 10, 2025
b

PEKANBARU Oiketai – Erma Silaban mahasiswa senior dan Haldy Yunian Ryaldi alumnus Fisip adalah lidah-lidah itu. Ujung dan pangkal lidah anak Pekan yang serba lincah. Mereka meng-awani, menggawangi citra serba “bermain” (ludens) dalam kaidah Huizinga tentang berkenalan dan perkenalaan. Pengenalan Kehidupan Kampus tak mesti diperkenal dalam gaya kekerasan, gaya menindih, menindas, meringkus dan bahkan menjingkang yang telah berlangsung sekian kurun.

Tak pelak, himpunan model kekerasan ini, berujung musibah terhadap mahasiswa baru. Bahkan ada yang meregang dan kehilangan nyawa. Tiada lagi rombong marche (barisan) mahasiswa yang dilabeli sebagi kaum pariah, para oiketai serba murung; “bertopi ala petani, gaya para ngebodor, para pelawak, sejumlah gaya hasil perolok-olokan dalam model relasi borjouis (kolonial) terhadap penjajah (tepatnya pribumi ledah)”. Ini satu sudut frasa diskusi Dr. Meilani (dosen muda) dengan Erma dan Haldy selaku adik binaan yang setia bertukar pandangan.

Erma, sosok aktivis yang merawat insomnia (mungkin satu syarat aktivis) hulu-hilir selama dua bulan ini antara kediaman Dr. Meilani dengan ruang kerja Saiman Pakpahan (Wadek 3). Muara perbuatan Erma ini? Permainan jenis apa yang mesti hadir dalam penyambutan mahasiswa baru. Inilah dia: permainan lidah-lidah yang kaya, penuh kocak, lucu, menggoda, tak jarang mual demi melayani kuriositas, penemuan,  mengenai lingkungan, segala ihwal yang ada dan bakal muncul pada sebuah masa yang tak terduga. Termasuk tentang siapa aku, kita, kami, engkau, mereka dan kalian.

Dilatih secara spartan oleh Fedli Aziz (tokoh teater Riau) dan Sendy Alpagari (seni pentas Riau) sejak dua minggu belakangan ini. Erma dan Haldy lah yang mengaudisi para mahasiswa yang bersedia mempersembahkan permainan lidah-lidah dalam model pengucapan dan idiom lokal sejalan latar suku dan kebudayaan asal mereka. Fedli, Sendy memang luar biasa.

Dua tokoh teater Riau ini sudah sekian lama bergulat membumikan teater dan seni pentas tradisi dan kontemporer di ruang-ruang acara FISIP sejak Meyzi Heriyanto menjabat selaku Dekan. Permainan teater ini bersifat interaktif. Mahasiswa-mahasiswa baru juga ikut terlibat dalam adegan, dengan peran bebas [menimpuk] tanpa teks dan naskah. Semua adegan terbuka.

Dunia main dan bermain yang diolah Fedli, kemudian diframe oleh Erma dan Haldy, mempercantik kisah PKKBM FISIP dalam palung gelora yang lain dan serba lain. Di luar dan melampaui “harapan datar” para audiens, para mahasiswa baru. Bermodal olah kicau (twitter) alami, berbekal kemampuan dan kemauan lidah, mereka hadir dalam sejumlah kesuma dan nirmala serba lokal. Mereka berdialog mengenai dunia akademis dan kerja-kerja intelektual sampai segi-segi ringan melayang, dalam canda dan seloroh, gurau menggoda, jatuh cinta, relasi asmara di taman-taman kampus dalam bahasa ibu masing-masing.

Ada lidah Ocu, lidah Siak, lidah Kuantan, lidah Minang, lidah Rokan, Kubu, lidah Rengat,  lidah Batak, lidah Bengkalis, lidah Kepulauan, lidah Pelalawan, lidah Jawa, lidah Sunda, lidah Aceh,  lidah Banjar dan lidah-lidah sepanjang sungai-sungai besar di Riau. Terutama lidah anak Pekan sebagai lidah tuan rumah. Seluruh lidah-lidah ini bergetar dan berucap dalam frasa dan idiom yang “saling bertendang-tendang”, namun mereka paham dan mengerti. Inilah FISIP, inilah Indonesia dan Riau (yang Agustus itu). Kenapa Agustus? Kita mengalami peristiwa “menjadi” Indonesia dan “menjadi” Riau, sempena bulan Agustus. Demikian Haldy pada Jumat senja merebah 11 Agustus 2023 sempena PKKBM FISIP di laman saujana hijau.

Tak semata frasa datar dalam pengucapan, tapi juga masuk dalam nada heran, menggoda, marah dan mengkomunikasikan komunikasi (tetap dalam kaidah bahasa ekspresif, bahasa ibu). Permainan lidah yang lincah ini disemarakkan lagi dengan jahitan lucu kanak-kanak yang sengaja dihangkut Fedli dan Sendy dari teater mini anak-anak Titah Negeri. Teater ini memang dihadirkan, mencitrakan keluguan seorang kanak-kanak dalam dunia bermain.

Dulu, dulu lagi, Temudjin, sosok anak kecil. Saban malam bermain-main menghitung gemintang yang menempel di langit kelam beludru. Dia mengimpikan jadi bagian dari bintang-bintang itu. Atau, malah jadi gemala yang sengaja dijatuhkan dari jantung bintang-bintang selejang malam kelam beludru. Saban malam dia bermain dan rebah sampai tertidur di atas batu hitam tanpa sehelai benang yang membalut tubuh. Batu itu tergeletak di padang gurun Gobi di Mongolia sana.

Dalam cuap lidah main-main saban senja, bertelanjang, membangun jembatan pasir dari onggokan batu raksasa ke batu raksasa berikutnya, dia hendak (ingin) menakluk dunia. Inilah main-main yang dipanggul sosok Temudjin kecil. Setelah besar? Temudjin bermetamorfose jadi seorang raksasa dunia. Dialah Jenghis Khan. Main-main jembatan pasir itu terbukti di kemudian hari. Bukan asa yang melayang, tanpa rekaman langit. Jenghis Khan adalah penakluk sayap dunia dan mempersatukan dua sayap Timur dan Barat dalam satu genggaman.

Semangat inilah yang hendak dipikul dalam gaya bermain dan permainan oleh Erma, Haldy yang didukung penuh Fedli dan Sendy. FISIP, satu entitas rumah akademik, sekaligus memikul “proyek” Riau pertama dalam olah cita sumber daya manusia sejak awal berdirinya provinsi ini. Dia sebuah “proyek” Riau dalam pencerdasan SDM Riau, anak-anak Melayu dan membuka diri sebagai wahana pencerahan peradaban Indonesia.

Ya, semua bermula dari kata-kata. Yang diucapkan sepotong daging tiada bertulang: Lidah-lidah. FISIP meminjam peran perkasa “lidah” dalam sejumlah permainan nan menawan demi menukil kehidupan yang indah dan benar dan kebenaran yang indah. RO/yy