
Ilustrasi: shutterstock
Oleh Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M. Phil
Mengapa harus ada nabi: gelap. Kenapa harus diutus rasul: kelam. Lalu, gelap dan kelam bergabung, bergulung dan menyatu, mengumpul badai, menggoncang angin, menghentak taufan. Semua berlangsung dalam gelap dan kelam, demi menghempas kemanusiaan. Nabi dan rasul datang dalam fase-fase; bertahap dan periodik. Tidak dalam rombongan satu jamaah nabi, datang dan menyuling cerita langit. Dia hadir kala 5.000 gelap berhimpun. Dia datang ketika sejuta kelam mengental. Menjinjing tugas nubuah untuk sesayup sayap bumi, demi segenap gempita bunyi, demi segempita rona cahaya, sejak subuh ke fajar selanjutnya.
Demi makhluk bernyawa maupun abiotik. Sebab, hidup manusia tak bisa lepas dari segala persinggungan dengan bunyi, rona dan gempita makhluk bernyawa atau pun abiotika, walau. Mereka datang untuk mengurai gelap, memecah kelam; demi keseimbangan partisi nyata dengan partisi ruhani.
Mengurai kehadiran, tentang yang lalu dan mencicil ingatan tentang yang kini, tak saja hak prerogatif para sejarawan. Dia juga hak milik istimewa yang dipanggul oleh para fisikawan, tentang sejarah astro-fisika yang berisi sejarah bintang-bintang, sejarah bumi, sejarah bulan dan sejarah segala sesuatu yang hanya bisa diukur dalam hitungan tahun cahaya (light years).
Pun, sastrawan memperoleh tempat untuk menyusun ingatan masa lalu para nabi dan rasul, karena tak hanya para teolog yang berada di tengah gelanggang untuk menyusun sirah lurus dan zig zag kenabian dan rasul. Para mistikus (sofie, sufi, kaum tasawuf), menjalani pengalaman eskatologis dan esoterik keagamaan pun memperoleh tempat dalam persinggungan sastrawi: perenungan batin.
Maulidur rasul, sebuah peristiwa yang senantiasa berulang dan diulang selagi bumi dan detak jarum jam bergerak. Maulidur rasul, ialah setangkai tiang ingatan mengenai sosok pembebas, figur yang mengurai gelap dan memecah kelam. Dia ditulis dan dihimpun oleh banyak kaum profesi; sejarawan, teolog, ilmuan, mistikus bahkan sastra.
Tuhan menghadirkan para “maula” dalam wujud manusia. Menjalani masa kecil sebagai disusui, menyusui. Mendaraskan hidup dalam kontraksi tubuh biologis dengan serangkaian hukum “kejadian”; makan, minum, buang air, berkelamin, menjalani fase kanak-kanak, remaja dan dewasa. Mengarungi emosi nan bergelombang, panca roba pada fase peralihan usia. Namun, ada beberapa keistimewaan yang mengatasi manusia awam, manusia normal (supra human), baik dari segi fisik, penampilan, akhlak, dan sisi ruhani. Kelebihan-kelebihan inilah yang dinukilkan sebagai “badrun”, “badar”; rembulan merekah, candra buana yang menjadi tumpuan hati dan harap bagi segempita makhluk, tak saja manusia.
Inilah kenangan menggoda yang dilantun dan diulang-ulang dalam kisah maulidur rasul. Lalu, kisah ini diterjemah jadi serangkaian perbuatan yang memuliakan kehadiran orang lain, makhluk-makhluk lain dalam serangkaian akhlak mulia. Mengasihi si miskin, membahagia anak yatim, dalam perbuatan bukan dalam keinginan dan fikiran. Sebab, ujar Gandhi “kebenaran dan kebohongan itu sama saja, dia harus ditunjukkan”. Mengisahkan sesuatu yang tinggi, tak bisa lepas dari cerita tentang indah dan suci. Lalu, jalan untuk sampai ke situ? Alatnya ialah sastra.
“Teologi dan sastra, ujar Amstrong, sama-sama mengajarkan seseorang untuk mengaitkan kesamaan dengan ketidaksamaan, serta untuk melihat bahwa hal tersebut dapat menciptakan sebuah kebenaran baru”. Lalu, “kedua disiplin itu menyediakan sebuah alternatif dari pandangan murni rasional tentang dunia. Kedua-duanya tertarik pada mitologi: kedua disiplin ilmu itu memang memperlakukan fiksi secara amat serius”. Kunci dari dua disiplin ini adalah “kekuatan emosi” sebagai sebuah daya dunia yang diperlukan untuk “menggambarkan”.
Maulidur rasul, adalah ihwal menggambar, menghias lukisan dengan bingkai “kekuatan emosi” sehingga orang yang menjalaninya mengalami “basah jiwa”, “lembab ruhani”; sisi jamaliyahnya Allah yang diidam, dipupuk dan dimatangkan dalam perjalanan hidup manusia. “Sastra secara khusus, lanjut Amstrong, mengajarkan kita tentang kekuatan emosi sebagai daya dunia dan menunjukkan bahwa fikiran-fikiran kita tidak sepenuhnya berhubungan dengan otak”.
Kehadiran para nabi, kelahiran para pencerah, lalu diikuti dengan serangkaian perbuatan yang mendaraskan tata kelola hidup bersama, hidup bernegara, tidak semata berdasarkan pemahaman rasional. Begitu juga dengan tindakan perang suci atau pun perang salib, tidak saja difahami melalui alasan rasional, namun juga dapat disigi lewat kekuatan emosi yang meletup-letup ketika itu, di awal persinggungan tiga kaum bersaudara: Yahudi-Nasrani dan Muslim dalam satu tempat (Al Quds) yang mengalami klaim kesucian oleh ketiga belah pihak.
Maulidur rasul, bukan kisah perjalanan hidup, kisah sendi-sendi ekonomi masa remaja dan dewasa rasul dengan katup sentral pasar di tepi Mediterania bernama negeri Surya (Syria). Bukan semata perjalanan “mistisme” memanjat Jabal Nur dan bernaung di sebuah gua. Semua itu, dibakar oleh sebuah “kekuatan emosi” kita hari ini melalui pengalaman batin para sahabat sezaman yang merasakan langsung getar pengalaman, sekaligus sayat pedih tentang kehilangan Rasul.
Bagaimana getar batin dan pengalaman pertama seorang bilal yang melaungkan adzan subuh sepeninggal rasul, ketika mendaraskan ayat “Asyhaduanna Muhammad ar-rasul Allah…. Di menara masjid Nabi di Madinah? Lalu, bagaimana pula getar batin dan koyak moyaknya hati para ahl bait, terutama puteri kesayangan beliau Asyaiyyidah Fatimah az Zahrah pertama kali mendengar kalimat itu dilantunkan oleh Bilal di atas menara sana, dan pada subuh yang sama dia tak menemukan kehadiran Ayahanda tercinta berdiri dan bergerak menuju masjid?
Di sinilah kehadiran sastra amat diperlukan untuk bersanding dan berbulan madu dengan disiplin ilmu Teologi, yang kemudian diperkaya oleh sains juga para mistikus yang dalam dan tajam mata ruhani itu. Maulidur rasul,…mungkin bagi orang-orang tertentu ialah linangan dan tumpahan air mata…***