
Ilustrasi: freepik.com
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Manusia berada di dalam jagat hypergalaxy yang selain berotasi pada porosnya juga bergerak ke arah menjauhi pusar alam semesta raya dengan kecepatan akumulatif 100.000 kilometer perdetik. Angka itu merupakan pertambahan percepatan karena kita berada pada sistem tata surya yang memutari Galaksi Bima Sakti pada kecepatan 2.150 kilometer per detik.
Selain itu kita tinggal di bumi yang mengitari matahari sebagai pusat tata surya secara elips dengan kecepatan 29,79 kilometer per detik. Dan pada detik yang sama, kita sedang dibawa berputar pada poros bumi dengan kecepatan 11,18 kilometer per detik.
Sangat menakjubkan, dalam satu detik saja manusia bergerak secara pasif dan melesat pada kecepatan 100.000 kilometer atau sepertiga dari kecepatan cahaya (pada hipotesis terkini, alam semesta mengembang lebih cepat dari kemampuan cahaya mengejarnya). Tiga detik menyamai kecepatan cahaya. Satu jam 36 juta kilometer dan dalam sehari, selama 24 jam kita telah terseret sejauh 8,64 miliar kilometer di jagat semesta raya.
Fenomena ini diargumentasikan oleh para ilmuan astronom mutakhir dengan teori yang disebut The Exppanding Universe atau Alam Semesta Raya yang Mengembang. Teori ini menyimpulkan bahwa detik demi detik kita tengah bergerak ke arah yang menyebar, terdorong oleh hentakan big bang (letupan akbar) menjauhi pusar semesta raya.
Pada intinya, manusia dihadapkan pada realita yang menipu. Ketika seseorang duduk terpaku, maka akal purbawi kita segera menyimpulkan bahwa orang tersebut tidak beringsut sejengkal pun dari posisinya. Padahal satu detik itu 100.000 kilometer.
Lalu mengapa kita menunggu sampai 365 hari untuk merayakan sebuah pergantian waktu? Itu artinya sama dengan 8.760 jam atau 525.600 menit atau 31.536.000 detik. Siapa yang tahu apa makna tahun baru? Apa bedanya dengan detik baru, jam baru atau hari baru? Sesuatu yang sangat besar di alam semesta raya ini berubah super dinamis setiap detiknya. Sekecil apapun dimensi waktu, ia akan sama–sama melesat menuju akhir dunia, ketika alam semesta raya ini kembali digulung oleh Sang Super Kosmos.
Tidak ada yang berubah setelah perayaan tahun baru, kecuali kalender. Maka untuk menyambut kalender baru itu kota–kota besar di dunia berlomba menampilkan seremoni paling spektakuler. Ratusan miliar dihabiskan pada detik–detik menuju pukul nol nol.
Umat manusia separuh dunia pun komat kamit mengikrarkan resolusi tahun baru. Pada saat lonceng tengah malam berbunyi, sirene membahana, terompet ditiup, kembang api meledak lalu menghias langit dan orang–orang meneriakkan “Selamat Tahun Baru” sembari menyanyikan Auld Lang Syne.
Dahulu kala, pada tengah malam setiap tanggal 1 Januari, bangsa Brazil berbondong–bondong menuju pantai dengan pakaian serba putih bersih. Mereka menabur bunga di laut, mengubur mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai tanda penghormatan terhadap sang dewa Lemanja, dewa laut yang terkenal dalam lagenda bangsa latin itu.
Orang Romawi kuno pun saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci untuk merayakan pergantian tahun. Belakangan mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Janus, dewa pintu dan semua permulaan. Menurut sejarah, bulan Januari diambil dari nama dewa bermuka dua ini (satu muka menghadap ke depan dan satu lagi menghadap ke belakang).
Orang Jerman pula, jika mereka makan sisa hidangan pesta perayaan New Year’s Eve di tanggal 1 Januari, mereka percaya tidak akan kekurangan pangan selama setahun penuh. Sementara orang Amerika menonton Parade Bunga Tournament of Roses.
Apa yang istimewa pada tanggal 1 Januari yang telah dirayakan semalam suntuk itu, selain sekadar meniru ritual orang purbakala atas penyembahan dewa mereka? Matahari tetap terbit dari timur dan ayam jantan berkokok masih sama dengan tahun satu.
Umur bumi sudah 4.540.000.000 tahun, bukan seperti yang tertulis dalam kalender, tidak ada yang istimewa sememangnya. Dibanding lebih dari empat miliar usia bumi, angka tahun (baru) hanya bagian kecil dari ujung riwayat dunia yang tiba–tiba menjadi titik pijak umat manusia dalam mengukur rentang waktu di bumi.
Entah kutukan macam apa, di Indonesia pula begitu ritual tahun baru usai, banyak karet kontrasepsi berserak di tepi taman. Rupanya ada pemaknaan absurd atas perayaan tahun baru selain meniru ritual orang dulu, yakni penyatuan makhluk Mars (pria) dengan makhluk Venus (wanita) dengan media lateks bernama kondom. Malam tahun baru dijadikan modus bagi pejantan untuk merengkuh gadisnya.
Sang gadis yang kurang baca dan kurang pedoman mengangguk saja, ketika mahkotanya dilepas lalu diganti dengan mahkota serupa tanduk iblis yang berlampu. Ritual Hari Valentine malah lebih sering dijadikan modus untuk memperdaya pasangan atas sugesti kasih sayang.
Padahal Santo Valentino yang disembelih pada 14 Februari 270 Masehi _yang kemudian diperingati sebagai Hari Valentine_ justru dihukum karena nekat menikahkan sepasang kekasih yang mabuk kepayang bukan merestui seks bebas. Sebelumnya Kaisar Claudius yang kejam itu telah melarang siapapun menikah.
Tahun Masehi yang dirayakan saban tahun bersumber dari Kalender Julius atau Kalender Julian yang diberlakukan oleh Julius Caesar sejak 1 Januari 45 Sebelum Masehi (SM). Era sebelum tahun 45 SM dinamakan “era bingung” karena Julius Caesar menyisipkan 90 hari ke dalam kalender tradisional Romawi, untuk lebih mendekati ketepatan pergantian musim. Penyisipan ini sedemikian cerobohnya sehingga bulan–bulan dalam kalender itu tidak lagi tepat.
Akhirnya dengan saran Sosiogenes, seorang astronom dari Aleksandria, Caesar menetapkan kalendernya menjadi 12 bulan, masing–masing dengan jumlah tertentu seperti sekarang dengan metode perhitungan revolusi bumi mengelilingi matahari. Mestinya kalender Masehi dihitungkan 45 tahun lebih awal, tapi atas alasan scientific dan propaganda Romawi, Kalender Julius diganti dengan Kalender Gregorius yang kini sudah berumur lebih dua milenium.
Kalender Gregorius atau Kalender Gregorian adalah almanak yang sekarang paling banyak dipakai di dunia. Yang pertama kali mengusulkannya ialah Dr. Aloysius Lilius dari Napoli, Italia, dan disetujui oleh Paus Gregorius XIII, pada tanggal 24 Februari 1582. Perhatikan betapa berpengaruhnya Aloysius Lilius atas umat manusia di muka bumi ini, sehingga tepat pukul nol nol tanggal 1 Januari sebagian besar kita menjadi histeria tak tentu arah.
Mari kita lihat dimensi yang lain. Dalam tata surya, bumi bergerak secara elips mengelilingi matahari sehingga akan ada suatu waktu di mana jarak antara bumi dan matahari mencapai titik orbit terjauh dan titik orbit terdekat. Dalam perjalanannya mengelilingi matahari, bumi berputar pada orbitnya berjarak 970 juta kilometer dan ditempuh selama kurang lebih 365 1/4 hari.
Pada bulan Januari inilah bumi mencapai titik orbit terdekatnya dengan Matahari. Pada tahun 2013, titik terdekat bumi dengan matahari jatuh pada tanggal 2 Januari, sedang 2014 dan 2015 bumi dan matahari sangat berdekatan pada 4 Januari. Kemudian pada 2016, bumi berada pada titik yang sangat dekat dengan matahari pada tanggal 3 Januari. Dari sisi ini keistimewaan tanggal 1 Januari pun tidak kelihatan. Lalu apa yang ajaib pada tanggal 1 Januari itu, selain Mars berhasil menjalankan ritual untuk menipu Venus? ~