
PEKANBARU Oiketai – Percakapan mengenai upaya mencari sehat [healt seeking behavior] di tengah kehidupan ultra modern saat ini, terkesan mengada-ada. Lumpuri dan benamkan dirimu ke Laut Mati di perbatasan Jordania dan Israel. Itu satu dari sekian upaya, mempergaul sains dan pengetahuan tradisi yang turun temurun. Akhirnya, menjadi “mitos” yang digenderangkan pada setiap zaman, bahkan melintas zaman. Sosiologi Pengetahuan mendorong penanda mengenai upaya pembangunan “mitos” sains [des sciences] modern dan pengetahuan [connaisance] tradisi yang memikul manfaat dan fadilat untuk kehidupan bersama.
Konteks sosiologis ini yang ditiup dalam diskusi [Bincang Menderu] sejak pagi hingga siang di ruang Laboratorium FISIP Unri. Bincang ini dibuka dengan selayang pandang tentang “generasi malang” oleh Prof. Yusmar Yusuf yang juga ketua KJFD Masyarakat dan Kebudayaan Aquatik Departemen Sosiologi FISIP. “Generasi malang” ditandai dengan sejumlah kehilangan anasir-anasir peradaban dan pemberadaban secara konvensional dan sudah menjadi keniscayaan modernitas dan ultra-modern. Dia diganti menjadi sederet sistem “tutorial”. Sistem ini diasuh oleh inang yang amat aduhai. Bisa dibangun sekehendak hati dan sekehendak waktu. Inang pengasuh itu bernama Tik Tok dan Instagram serta seperangkat media sosial yang mampu [hanya] menjawab pertanyaan “bagaimana”. Pertanyaan “bagaimana” adalah pertanyaan teknikal yang senantiasa ramah dijawab dalam semburan rezim “tutorial”. Bukalah Tik Tok, Instagram dll.
Tutorial ini berlangsung serba sekelebat waktu. Mungkin dalam rentang 7 menit dan seterusnya. Segala jawaban ini berenang di permukaan kolam dangkal pengetahuan sejati. Tutorial tidak bermaksud menjawab pertanyaan “mengapa” dan “apa”. Mode tutorial inilah yang menjadi pengasuh Gen Z atau pun milenial. Apatah lagi Gen Z yang mengalami patahan peradaban, ketika diserbu Covid-19 sejak awal 2020. Mereka difabrikasi dalam musikalitas serba turorial, termasuk sistem perkuliahan online [daring].
Kelasakan mengajukan argumentasi dan mempersilang pendapat sembari menjaga kestabilan emosi, adalah jua syarat-syarat mutlak bagi “generasi malang” ini. Tonton layar kaca yang menyuguh sesi debat calon Presiden dan Wakil presiden di musim Pemilu ini. Ternganga kah kita? Bagaimana kematangan di forum, menyuguh argumen dan mempersilang opini dalam keteduhan, namun tetap substantif.
Dosen senior Sosiologi Syamsul Bahri, menggawai bincang pagi ini dengan upaya memposisikan sosiologi selaku ilmu murni dalam sains sosial, tak semata dalam posisi pertiwinya ilmu sosial. Tapi lebih mengarah pada jentikan tajam; posisikan Sosiologi selaku katalisator. Daya pacu akselerasi. Di sini Sosiologi diperankan bak ragi dalam keriangan fermentasi proses pembuatan tapai, tempe atau apa pun namanya. Mengutip seorang Sosiolog dari Universitas Sussex Inggris, bahwa Sosiologi lebih jauh telah menyelinap dalam unit-unit tak terpemanai sekaligus eksotis yang dikemas menjadi Sociology of 3 T [tomato, toillet, telephone].
Segala sfera 3 T ini, memikul tugas inklusi; tomat, mengenai perkauman tani dengan lengan legam dan kotor, tapi diampu oleh hati nan bersih suci. Tomat memikul tugas ilahiah, kemudian mengalami kopulasi berjenjang, masuk fabrikasi, teknologi pangan, zat pengawet, himpunan pasar global, makanan kaleng, diamplifikasi saus yang menyimbah kafe-kafe modern. Diglorifikasi sebagai produk modern; tarik menarik produsen-konsumen. Himpunan hulu; sejumlah petani yang berlutut dalam keterasingan yang dibenci oleh Marx. Lalu disambung dengan tata kelola dan birokrasi “pemasaran” Weber, dan kerisauan tentang solidaritas organis yang tak bertumpu pada kecemasan “soil” [tanah dan humus] dalam bayangan Durkheim.
Begitu seterusnya, toillet. Bergerak dari kakus ala helipoter di sawah-sawah petani, hingga toillet hotel bintang yang melayani sejumlah konferensi dan letupan birahi pencari lezat seksual dan pemburu rente. Seterusnya telephone, ini juga sebuah revolusi bicara, janji dan gulungan jatuh cinta semesta yang serba gantung dan menggantung ujar Toton [panggilan glamor Syamsul Bahri].
Telaah mikro sosiologis dibentang oleh Aimoko Silalahi [mahasiswa senior] dengan topik vegetasi etno-botani dalam bentang ekosistem mangrove di desa Pangkalanjambi, Kabupaten Bengkalis. Aimoko menderet beberapa musabab, latar belakang kajian ini bertumpu pada sudut kajian etno-botani dan pengobatan tradisi yang bersumber dari kearifan lokal yang berbasis pada tanaman obat yang ada dalam lingkup bentang eksosistem mangrove. Di sisi lain, ada peran serta kaum perempuan dalam upaya merawat dan memelihara kawasan mangrove estuari di desa ini, menjadi sebuah kajian yang bersumber dari inayah dan kehendak mewarat semesta dalam sigi kecerdasan-emosional lewat tangan kaum puan [ibu].
Aimoko menampilkan sejumlah nama-nama tanaman sepanjang bibir pantai yang berada dalam rezim mangrove estuari dengan kemanfaatan [fadilat] pengobatan ringan yang selalu menerpa masyarakat. Terutama anak-anak dan kaum renta. Ada tanaman nyirih, putik bakau, daun jeruju, daun baru-baru, dedap, getah buta-buta dan seterusnya. Dilanjut dengan sejumlah pantang larang [mitos/ legenda] yang ditanam kepada warga dengan segala lapisan usia. Pantang larang dan perawatan mitos ini, menjadi sendi kearifan lokal dalam merawat dan menjaga keelokan bentang mangrove di kawasan ini. Sebab, sekali dia hilang, tak kan tergantikan; baik tegakan maupun efek rimbun yang menularkan jasa ekologis bagi kedamaian semesta, termasuk kesehatan manusia.
Dalam ruang-ruang kearifan model begini, hindari segala bentuk gemuruh wisata yang memikul sejumlah polusi oleh manusia; bunyi, suara, termasuk polusi cahaya. Tapak-tapak pesona seperti ini, layak dan semestinya didatangi dalam semangat healing, tematis, pembelajaran kearifan lokal, pemanenan pengetahuan lokal tentang keunggulan vegetasi dan lain-lain, tutup Aimoko.
Diskusi berlangsung hangat dan penuh gairah, diterajui oleh moderator yang petah, Dra. Risdayati, Msi. Lengkap hadir seluruh dosen-dosen yang tergabung dalam KJFD Masyarakat dan kebudayaan aquatik; Teguh Widodo, Msi, dan Resdati, Msi.
Bincang ini akan dilakukan secara reguler, saban bulan atau pun per tri wulan dengan topik dan tema yang berganti, baik oleh dosen yang tergabung dalam KJFD, maupun mahasiswa senior yang terlibat langsung dalam pelaksanaan riset lapangan selaku enumerator.
Merujuk pada kemajuan dan kehandalan lulusan Sosiologi, sebagai asupan samping yang bergizi, forum Bincang Menderu [diskusi], bersepakat melibatkan mahasiswa senior dan dosen muda, untuk menambah nafas plus dan kreatif kepada mahasiswa dan dosen muda. Satu kesepakatan itu adalah membuka klas pembelajaran bahasa Korea atau pun bahasa Mandarin. Sehingga kekuatan telaah sosial para lulusan diperkaya dengan kemampuan berbahasa asing, demi menyambut gemuruh ruang-ruang kerja dan serapan industri-bisnis, yang di masa kini amat condong diampu oleh keperkasaan ekonomi dan investasi dari Cina dan Korea.
Namun demikian, ajakan untuk menyapa bahasa-bahasa rumpun Eropa, tidak pula tertutup kemungkinan. Lewat Bincang Menderu KJFD ini, paling tidak bisa dipanen beberapa isu strategis untuk memberi nilai tambah kepada para lulusan, sekaligus memperkaya silang pikiran, pertukaran gagasan dan ide dalam ruang sains sosial yang selama ini dianggap miliknya belahan dunia Euro-Amerika. Diskusi ini diikuti 20 orang dalam semangat lingkar cerdas-kreatif. RO/yy