Oleh Bambang Putra Ermansyah
Sebelumnya, tutur maaf dan ampun selayaknya saya haturkan kepada para alim ulama dan cendekiawan Muslim dari seluruh penjuru dan dari seluruh masa yang sudah demikian lamanya. Dalam Penamaan dan Pensifatan terhadap Tuhan, khususnya Tuhan yang diimani oleh orang Islam, sudah merupakan hal yang standar untuk menisbatkannya dengan nama tanpa negativitas.
Allah adalah Yang Maha Pengampun, bukan Yang Maha Tidak Pendendam. Yang Maha Perkasa, bukan Yang Maha Tidak Tertundukkan. Yang Maha Memelihara, bukan Yang Maha Tidak Mengabaikan. Mukhalafatu lil hawaditsi, artinya Berbeda dengan Makhluk, bukan Tidak sama dengan Makhluk. Semua nama dan sifatnya disusun dengan kata-kata positif, tanpa ada kata negatif, atau kata peniadaan: Tidak.
Namun, yang satu ini rasanya sulit untuk ditidakkan. Tuhan bukanlah satu entitas yang dapat didefinisikan sebagaimana entitas atau nama lainnya. Kalaupun ingin diberikan definisi, maka hanya akan terbentur pada definisi nominal, sebuah definisi “daripado indak”, dan bukan definisi dalam artian sesungguhnya. Pada akhirnya, definisi “Tuhan” hanyalah bisa berhenti di titik penjelasan tentang “kata” Tuhan tersebut. Itulah definisi nominal.
Kita harus puas dengan definisi yang quid nominis (keapaan nama/kata) terhadap Tuhan, namun kita harus menyerah dalam definisi yang quid rei (keapaanNya). Yang dapat kita jawab adalah “Apa definisi dari kata Tuhan?”, namun bagaimana definisi sesungguhnya dari Tuhan itu sendiri, yang lebih dulu ada dari huruf, kata dan bunyi, adalah diluar jangkauan kita. Tuhan yang kita definisikan adalah Tuhan terbatas yang dibatasi oleh kualitas akal. Dan kita harus puas akan hal tersebut.
Timbul pertanyaan, “mengapa Tuhan tidak bisa didefinisikan quid rei?”. Tentu pertanyaan tersebut sah-sah saja. Apa sulitnya? Jawabnya, tentu sulit. Untuk memberikan definisi yang riil, yang quid rei, tentu pertanyaan mengenai esensi (essence) harus dimunculkan. Apa itu esensi, singkatnya, esensi adalah segala hal dan atribut yang melekat pada sesuatu atau pada satu entitias yang membuat sesuatu atau satu entitas tersebut menjadi dirinya (-Nya).
Namun, kita terbentur pada pada pengetahuan kita tentang Tuhan sebagai entitas. Kita bisa mengenali dan menghapal atribut dan segala hal yang “melekat” pada Tuhan yang menjadikan DiriNya Tuhan. Di dalam agama Islam, dan agama-agama Abrahamic lainnya, kita menerima pengetahuan tersebut dari kabar KalamNya sendiri.
Namun ini yang menjadi masalah: bahkan FirmanNya mengenai DiriNya sendiri pun terbatas. Terbatas jumlahnya, dan kemudian dibatasi pula oleh interpretasi manusia yang diberi hak untuk menafsirkannya, yakni ulama (atau untuk zaman sekarang: semua manusia yang punya mulut). Tuhan Tak Terbatas, sementara manusia terbatas. Lalu, bagaimana caranya yang terbatas dapat memahami Yang Tak Terbatas secara quid rei, secara “sebagaimana AdaNya”?
Kalau kita ingin mengikuti prinsip-prinsip ilmu logika, baik Aristotelian, Stoa hingga ilmu Kalam, maka lebih jelas lagi kemustahilan usaha untuk mendefinisikan Tuhan, secara riil bukan secara nominal. Dalam pendefinisian maka akan ada pengklasifikasian, di mana pengklasifikasian diperoleh melalui pembagian.
Kita harus menempatkan Tuhan dalam satu Genus untuk kemudian menemukan spesiesnya, melalui diferensiasi dengan yang setara denganNya namun berada di satu genus yang sama untuk kemudian memberikan pada kita individu sebagai denotasi, sebagai “yang diberi definisi”. Kita tak bisa menempatkan Tuhan dalam satu Genus. Kalau pun kita mau memaksa menempatkan Tuhan dalam satu Genus, misalnya “Prima Causa”, maka problem tetap tidak hilang. Untuk mendapatkan spesies dari genus, diperlukan yang setara denganNya, yang juga dianggap sebagai “Prima Causa”, selain Tuhan. Ini tentu akan makin memperumit masalah.
Namun, apa berarti karena tidak terdefinisikan maka tidak ada? Tentu itu kesimpulan yang salah. Ketersediaan definisi tidak menjadi syarat eksistensi. Begitu juga sebaliknya, ketidaktersediaan definisi tidak menjadi syarat non-eksistensi. Ketidaktersediaan definisi hanya menunjukkan keterbatasan manusia dalam melihat dan memahami sesuatu. Yang dapat kita definisikan, pada akhirnya adalah kata “Tuhan”, bukan Tuhan itu sendiri.
Dari sini, muncul masalah baru. Apa artinya yang selama ini kita anggap sebagai Tuhan hanyalah “kata” yang disusun oleh huruf T-U-H-A-N, dan bukan Tuhan itu sendiri? Bisa jadi. Ini adalah satu-satunya alasan paling rasional mengapa masih ada orang yang merasa mengimani Tuhan, namun masih korupsi. Padahal, tak kurang rasanya Khatib Shalat Jum’at mengingatkan kita bahwa Tuhan itu Maha Melihat.
Namun begitu, tak usah kecil hati. Karena Tuhan sendirilah yang membatasi pengetahuan yang dimiliki manusia atas DiriNya. Pada akhirnya, pengakuan atas eksistensiNya sajalah yang berarti, bukan tuntutan kita untuk memahami Dia, beserta Kuasa, Kehendak dan UkuranNya secara utuh dan sepenuhnya. Bukankah Rasulullah “menghadiahi” surga seorang budak yang menjawab bahwa Tuhan ada di langit ketika ditanya “Dimana Allah?”.
Mungkin, ini mungkin. Hanya kesimpulan yang sifatnya spekulatif. Inilah alasan kenapa Tuhan mengajarkan kita untuk memohon ampun padaNya. Karena yang dapat kita lakukan, paling jauh adalah beribadah sebagaimana mampu dan tahunya kita. Dan mungkin itu juga yang membuat Tuhan mengilhamkan Rasulullah untuk bersabda bahwa yang memasukkan seorang hamba ke surga dan neraka bukanlah amalannya, namun RahmatNya. Karena pada akhirnya, boleh jadi, amalan seseorang adalah buah dari keterbatasannya dalam memahami perintah dan laranganNya. Jika selama ini ada seorang yang ditipu seumur hidupnya bahwa shalat maghrib itu dua raka’at, yakinlah bahwa Tuhan tetap menerima amalannya tanpa ada denda berupa pemotongan pahala.
Tidak salah dan berlebihan rasanya, ketika Ibnu Arabi menyebutkan bahwa merupakan hal yang sia-sia dan bodoh jika seseorang berharap mendapatkan ilmu tentang Tuhan melalui akal pikir dan intelektualitasnya semata. Ilmu tentang Tuhan hanya dapat turun dan datang dari Tuhan, kepada akal pikir dan intelektualitas yang dipandangNya siap dan mampu. Itu pun tidak bisa sepenuhnya. Karena sekali lagi, bagaimana mungkin yang tak terbatas dapat menampung pengetahuan mengenai Diri Yang Tak Terbatas? Pada akhirnya, benarlah ucap Mahaguru Tasawuf saya : “Esensi dari Tuhan adalah eksistensiNya sendiri”.
Dan sebagai penutup, pada akhirnya saya harus juga mengucapkan rasa syukur kepada Jokowi, karena Rasulullah bersabda barangsiapa yang tidak bersyukur pada makhluk maka ia tidak bersyukur kepada Khaliq. Karena setidaknya, tulisan seperti ini tidak dihadiahi hukuman mati seperti kepada Al Hallaj atau Suhrawardi Al Maqtul. Yang terbunuh. Semoga. ~
Bambang Putra Ermansyah___ Alumnus jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau. Seorang philosophy entusiast yang menjadikan Tasawuf dan Silat sebagai instrumen untuk melawan hasrat-hasrat animalistiknya. Pengagum tulisan-tulisan dan perjuangan Subcomandante Marcos beserta seluruh penduduk asli Chiapas.