February 10, 2025
ss

Ilustrasi: media.licdn.com

Oleh Bambang Putra Ermansyah

“Apakah orang yang sudah mati bisa bersin?”

Konon, itulah kata-kata terakhir dari persona Subcommandante Galeano di pembaringan menjelang ajalnya kepada personanya yang lain, yakni Subcommandante Marcos. Menjelang wafatnya, kenang Subcom Marcos, ia bernyanyi pelan: “Aku tahu aku gila, aku gila, aku gila.” Kemudian ia diam. Hening. Subcom Marcos agak semaput.

Tapi kemudian, ditariknya pelan kepala Subcom Marcos. Dengan pelan, Subcom Galeano mencoba membisikkan sesuatu yang agaknya akan menjadi pesan terakhirnya. Subcom Marcos berdebar-debar, tak sabar hatinya ingin mendengar wejangan terakhir persona yang selama beberapa tahun terakhir berbagi tubuh dan minda dengannya. “Apakah orang yang sudah mati bisa bersin?”

Kemudian kepala Subcom Galeano miring ke kanan, jatuh pelan tanpa daya ke pundak Subcom Marcos. Tak ada kata-kata epik, tak ada anekdot-anekdot jenaka yang pintar, tak ada pesan-pesan perjuangan. Yang ada hanya pertanyaan yang menggelisahkan hati.

“Sebagaimana hidupnya, “ tulis Subcom Marcos. “ia mati dalam keadaan tidak berbahagia.”

Karenanya, Subcom Marcos berniat tetap memberikan hidup bagi Subcom Galeano. Caranya dengan terus berjuang. Ia ingin agar mendiang tetap bisa berjalan menyusuri hutan-hutan dengan kerapatan vegetasi yang kadang menyulitkan. Agar ia dapat terus naik turun gunung dengan pipa tembakau terselip di antara bibirnya. Agar ia bisa terus meledek dengan selera humornya yang kering namun tetap jenaka dan cerdas kepada para opresor berkepala sembilan yang jika dipotong satu akan tumbuh dua. Seperti Hydra, monster legendaris dalam epos Herculean.

Ketika ia berjalan pelan meninggalkan jasad personanya beberapa tahun terakhir itu, Subcom Marcos mendengar suara bersin. Subcom Moy, kamerad perjuangannya yang hadir di sana juga, melihat ke arahnya. Sementara Subcom Marcos menengok ke arah jasad yang sudah ia tinggal pergi beberapa langkah. Mereka saling tatap. Seperti biasa, mereka hanya bisa saling tatap mata dan mulut satu sama lainnya dari lubang-lubang penutup wajah mereka. Subcom Moy tidak bersin. Subcom Marcos pun tahu betul bahwa dirinya juga tidak bersin.

Jadi siapa yang bersin? Apakah orang yang sudah mati bisa bersin? Itu kira-kira ujar orang yang masih hidup.

Namun, bagi yang sudah mati, juga muncul pertanyaan. Siapa yang mengurus istri dan anak-anakku? Siapa yang melunaskan hutang-hutangku? Kapan orang yang masih hidup bisa beristirahat? Dan pada akhirnya: Apakah orang yang masih hidup masih bisa berjuang?

Dalam pandangan naturalistik yang dangkal, kematian hanyalah proses akhir kehidupan. Ketika tubuh tak lagi mampu mempertahankan sistemnya, ketika organ-organ dalam mulai runtuh satu per satu, maka itulah mati. Lalu yang mati akan dikuburkan, menjadi santapan ulat dan belatung. Ada juga dalam beberapa peradaban yang disebut Pemakaman Langit, jasad yang sudah tak berfungsi diletakkan di puncak gunung atau lapangan terbuka agar jasadnya menjadi santapan burung pemakan daging. Menurut beberapa riwayat, Diogenes, filsuf majdub murid Sokrates meminta agar ketika dia mati, mayatnya dilemparkan saja tergeletak di luar batas-batas kota agar menjadi santapan anjing-anjing liar. Baik yang dimakan ulat, dimakan burung, dan dimakan anjing, semuanya diratapi. Sebuah duka perpisahan.

Namun sungguh, rupanya kematian bukanlah hanya tentang duka ratapan. Dalam budaya Batak, seseorang yang sudah memiliki anak, kemudian anaknya sudah menikah semua, sudah bukan tanggungan hidupnya lagi, maka kematiannya akan dirayakan dalam tradisi yang bernama Saur matua. Mereka dianggap telah berhasil di dunia, sudah lepas tanggungan hidupnya. Maka kematian mereka diselamati, dirayakan. Tangan jasadnya pun dibiarkan terbuka, tidak terlipat. Seperti posisi i’tidalnya orang Shalat. Bagi mereka yang wafat dalam keadaan anak-anak mereka sudah punya anak, dan anak-anak mereka sudah punya anak juga, dan anak-anak dari anak-anak mereka juga sudah punya anak, mereka lebih dihormati lagi. Nama upacaranya Saur Matua Mauli Bulung.

Begitu juga di beberapa wilayah Syam (sekarang pecah menjadi Suriah, Lebanon, dan Palestina), para orang tua mujahid, yang anak-anaknya tewas dalam medan perang jihad,  akan keluar dari rumah dengan membawa manisan. Dibagi-bagikan ke orang ramai dengan suka cita. Mereka merayakan kematian anaknya yang mati dalam kondisi sebaik-baiknya kematian. Tradisi ini memiliki tendensi yang mirip dengan Saur Matua, dimana kematian dirayakan dalam suka cita dan kebahagiaan yang pilu.

Maka pada akhirnya, baik yang mati maupun yang hidup tetaplah hanya bisa bertanya-tanya. Rasionalitas harus dengan penuh sesal dikesampingkan lagi, bisa jadi seperti itu. Mereka yang mati haruslah menyadari bahwa apapun amal dan citra yang ia tinggalkan di dunia, tetap akan menyisakan duka. Namun di satu sisi dia juga harus menelan pil pahit lain, bahwa jika ia mati di bulan November dengan isak tangis haru kawan-kawan sejawatnya, di bulan Desember akhir teman-temannya yang sama juga tetap bakar-bakar ayam di malam tahun baru. Sebagaimana hidup, mati pun penuh absurditas.

Namun saya sudah berdamai dengan prekondisi dunia yang irasional, mengutip Schopenhauer. Jika dunia diprekondisikan sebagai yang rasional, maka Tuhan akan bersifat pasif setelah mendesain hukum-hukum alam. Tapi sebagai manusia yang Bertuhankan Allah, Tuhan Yang Maha Aktif dan senantiasa Sibuk, kulla yaumin huwa fī sya`n, dan Mencipta, maka Tuhan Epicurean seperti itu jauhlah dari keimanan yang saya pedomi. Sebagai bentuk KasihNya, dunia sebagai makhluk yang tak lekang dari aib dan error, sehingga secara inheren irasional, masih diurusNya.

Dan itulah kenapa yang mati masih harus diurus, yang hidup pun harus tetap mengurus dirinya setelah ditinggal mati. Sekalipun siapa yang ditinggal pun masih sangat bergantung pada perspektif. Karena pada nyatanya, yang mati tetap disana (setidaknya jika dimakamkan menurut tata cara hukum Abrahamic), sementara yang masih menjalani hidup adalah yang hidup. Maka sebenarnya siapa yang meninggalkan dan siapa yang ditinggalkan? Pada akhirnya, kita dipusingkan dan dijebak oleh kata dan pengisitilahan. Siapa sesungguhnya yang berkata dan yang dikatakan?

Namun terlepas dari siapa yang ditinggalkan atau meninggalkan, apakah duka atau suka cita, apakah rasional dan irasional, kita nampaknya harus sepakat bahwa yang masih cilik tidak seharusnya mati terbunuh. Anak-anak di Ukraina, Meksiko, Myanmar, hingga Palestina dan Yaman tak sepantasnya mati dibunuh. Tak ada alasan bahwa mereka adalah korban yang tak dimaksudkan, collateral damage. Karena kesadaran bahwa rudal dan misil tak bisa membedakan mana anak-anak dan milisi dewasa, pada dasarnya dimiliki oleh semua orang yang masih sehat minda dan cara pikirnya. Tak juga bangunan bisa memilih siapa yang akan ditimpanya. Tapi sekali lagi, dunia memanglah irasional.

Karenanya, di tengah malam yang sunyi, jika anda memejamkan mata sekejap setelah shalat malam 2 raka’at, dalam gelap anda akan bisa mendengar bisik lirih “Di lain kesempatan, bisakah bukan giliran kami yang mati terbunuh?”

Suaranya adalah suara Fathimah, bocah Palestina yang mati ditimpa runtuhan bangunan dengan memeluk bonekanya yang berbentuk unicorn gemuk. Terkadang suaranya adalah suara Dymtrus, bocah lelaki dari Ukraina yang hobi sepak bola. Terkadang juga suara yang terdengar adalah suara Munyentwali, yang berdasarkan kisah yang diceritakannya padaku, kepalanya dibelah oleh ekstremis Hutu pada tahun 1995 di Rwanda. ~

Bambang Putra Ermansyah

___ Alumnus jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau. Seorang philosophy entusiast yang menjadikan Tasawuf dan Silat sebagai instrumen untuk melawan hasrat-hasrat animalistiknya. Pengagum tulisan-tulisan dan perjuangan Subcomandante Marcos beserta seluruh penduduk asli Chiapas.