November 7, 2024

Oleh Bambang Putra Ermansyah

Pada suatu hari yang gerah, bertempat di ruang kelas UIN SUSKA, seorang pendekar silat, sebut saja Rino, mengacungkan tangannya. Dengan sedikit menggerutu, setelah lebih dari sejam Sang Dosen, yang kini saya panggil dengan “Mbah Yai”, membahas mengenai Wihdatul Wujud. Ditengarai atas karena rasa pusing, bingung, dan besar kemungkinan kurang rokok, Pendekar Rino bertanya : “Jadi sebenarnya Pak, kita ini ada atau tidak?”

Sang Dosen terdiam sejenak. Kemudian, beliau berjalan ke mejanya, mengambil penghapus papan tulis, kemudian melemparkannya. Penghapus itu mengenai pundak Pendekar Rino. Hal yang janggal. Karena saya pernah mencoba menikamnya dengan pisau, membacoknya dengan parang, dan berusaha mengiris-irisnya dengan kerambit, namun tak pernah bisa. Tak pernah kena, lebih tepatnya. Bagi Pendekar Rino, ilmu kanuragan kebal-kebalan adalah permainan anak-anak. “Kalau masih kebal berarti masih kena, tuh”, ucapnya sambil menyeruput kopi buatan Si Mbak, istrinya. Namun lemparan tersebut, yang sebenarnya mudah saja dihindarinya, mengenai pundak kanannya.

Dalam satu buah perbincangan terpisah, baik jarak, waktu maupun yang terlibat, Bahar, seorang anak SMA kelas 3, memperbincangkan mengenai ada atau tidaknya, mungkin atau mustahilnya unconditional love. Cinta tanpa syarat, setelah dari Ba’da Isya sampai jam 12 malam saya pandu dia dalam membahas cinta dalam perspektif Al Qusyairi.

“Jadi Har, cinta tanpa syarat itu mustahil. Selalu ada syarat. Dan yang disebut syarat ini tidak terbatas pada materi, paras, keahlian, atau sifat-sifat. Manusia yang paling mencintaimu adalah ibumu. Ada syarat disana. Bagaimana maksudnya? Ibumu mencintaimu ya karena kamu anaknya. Kalau saja ada semesta alternatif, dimana kamu dilahirkan oleh perempuan berbeda, sangat mungkin bagi ibumu tak punya cinta padamu. Bahkan syarat mencintai disarankan oleh Baginda Nabi. Beliau bilang kalau seseorang bisa dicintai karena materi, paras, kemuliaan. Namun untuk lebih berkah, kata beliau, mencintailah karena agamanya. Maka dari itu, ada syarat dalam mencintai.”

Bahar merenung. Kemudian dia nyeletuk. “Iyo juo. Minimal ada lah ndak? Kalau tidak ada gimana pula, ya kan? Gimana cara mencintai yang gak ada?” Saya tertawa mendengar celetukannya.

Namun sungguh, masalah eksistensial ada dan tidaknya kita memanglah menjadi bahasan filosofis dari berabad-abad yang lalu. Dari mulai Gorgias dari Sisilia, Martin Heidegger, hingga Nick Bostrom menggugat kebenaran realitas diri sebagai sesuatu yang ada, yang memang benar-benar ada. Pertanyaan mendasar tapi terkesan njelimet ini secara mudah diajukan oleh Zhuangzhi, filosof Tiongkok kuno. Dia berujar “Pada satu hari aku bermimpi bahwa aku adalah seekor kupu-kupu. Aku terbang kesana kemari, dihempas angin kesana kemari. Kemudian aku bangun dan menemukan tubuhku yang manusia ini. Kemudian aku bertanya, apakah aku adalah manusia yang bermimpi menjadi kupu-kupu atau seekor kupu-kupu yang bermimpi menjadi seorang manusia?”

Yang mana yang “diri” seringkali direduksi menjadi sebatas nama dan bangkai. Kemampuan memberi dan memiliki nama seringkali disalahpahami sebagai pembuktian keberadaan diri secara hakiki. Padahal yang non-eksis pun seringkali memiliki nama. Contohlah “kolong meja”. Adakah kolong meja itu? Justru kolong meja adalah penamaan yang ditempel pada ketiadaan eksistensial, sebuah ruang kosong yang dinamakan. Sebuah “non-existence” yang dinamakan.

Lihatlah Subcomandante Marcos. Ketika secara mengejutkan Subcom Marcos dan para pejuang Chiapas melakukan pemberontakan dalam menyambut tahun baru 1994 di Meksiko, semua orang terpesona dengan karisma dan kemisteriusannya. Secara mendadak, EZLN dan Chiapas yang dahulu tak dipedulikan oleh masyarakat luas Meksiko, tiba-tiba disorot dan diperbincangkan. Dalam peace talk yang dimediasi Uskup Samuel Ruiz, Subcom Marcos memancing perhatian publik dengan matanya yang tajam, kefasihan bicaranya, dan tentu saja topeng dan pipa tembakau yang menjadi ciri khasnya. Dalam waktu yang mendadak, Subcom Marcos menjadi selebriti. Poster-posternya dijual dimana-mana. Boneka-bonekanya dipeluk bocah-bocah kecil Meksiko. Bahkan, dalam tayangan 60 Minutes yang secara khusus meliput Subcom Marcos dan perjuangannya di Chiapas (episode ini sudah tersedia di Youtube), anda bisa menemukan fenomena fangirling terhadap Subcom Marcos. Bahkan dirinya disebut sebagai “sex symbol”. Disinyalir bahwa perempuan-perempuan di Meksiko, dari seluruh kategori umur saat itu mendambakan bisa jatuh kepelukannya. Kepahlawanan dan karismanya telah menjadikannya semacam makhluk yang diidolakan. Dia “termitoskan”. Pemerintah Meksiko menyadari itu.

Pada tahun 1995, dalam siaran televisi, Presiden Ernesto Zedillo mengumumkan bahwa nama asli Subcom Marcos adalah  Rafael Sebastián Guillén Vicente, lahir tahun 1957, bulan Juni tanggal 19, di Tampico, Tamaulipas, berasal dari keluarga imigran Spanyol, seorang mantan Profesor yang pernah mengajar di Universidad Autónoma Metropolitana. Tujuan pemerintah jelas, selain dalam rangka untuk mengumumkan bahwa Subcom Marcos adalah seorang teroris, pemerintah Meksiko juga ingin menghancurkan pandangan rakyat Meksiko yang telah melihat Subcom Marcos sebagai semacam makhluk mitos superhuman, “messiah”nya para penduduk asli. Inilah dia sebenarnya Marcos itu. Seorang manusia biasa, yang lahir, tumbuh dan besar sebagai kelas menengah dari keluarga imigran Spanyol, yang kini sedang berperang dalam perang yang sedari awal bukan “perang”nya.

Diri itu, sosok yang bertopeng dan berpipa tembakau itu, yang selalu menenteng senapan ketinggalan jaman dari masa Perang Dunia 2, justru mengolok-olok usaha itu. Dia justru “membantu” musuhnya untuk menkonstruksi ulang sosoknya yang sudah termistifikasi oleh logika-logika heroisme modern yang kapitalistik. Subcom Marcos menegaskan bahwa dirinya adalah melampaui nama. Dia mengganti namanya menjadi Subcomandante Galeano. Baginya, nama tidaklah penting. Dia keluar dari reduksi “siapa dia”. Ketika pemerintah Meksiko berusaha menghancurkan mitos yang melingkupi dirinya, dia membantunya. Baginya, nama bukanlah dia.

Dan usaha pemerintah Meksiko untuk merusak dan mereduksi Subcom Marcos dengan mengumumkan namanya rupanya berhasil di patahkan olehnya. Sekali lagi membuktikan bahwa Subcom Marcos merupakan master dari dramaturgi perjuangan. Hal ini dibuktikan dengan berangnya Andrés Manuel López Obrado (AMLO), yang kini menjabat sebagai Presiden Meksiko, pada tahun 2006. Saat itu, AMLO menyalahkan kekalahannya pada “Kampanye Yang Liyan” yang diinisiasi dan digerakkan oleh Subcom Marcos. AMLO menyalahkan Subcom Marcos dan kampanyenya atas tingginya angka golput dan hilangnya suara dukungan padanya. Rupanya, nama tidaklah penting bagi diri Subcom Marcos. Dia bisa saja mengganti namanya menjadi Mulyono dan orang-orang akan tetap mengenal siapa dirinya dan berdiri bersamanya. Nama, bagi Subcom Marcos, hanyalah sebatas panggilan dan cara merujuk. Tidak lebih. Nama bukanlah dia.

Begitu juga dengan identitas. Identitas jauh lebih terperinci dibanding nama. Jika kita melihat tanda pengenal identitas diri, maka kita akan melihat ada lebih dari nama disana. Ada alamat, tanggal lahir, dan latar belakang diri. “Rafael Sebastián Guillén Vicente, lahir tahun 1957, bulan Juni tanggal 19, di Tampico, Tamaulipas, di keluarga imigran Spanyol, seorang mantan Profesor yang pernah mengajar di Universidad Autónoma Metropolitana” adalah identitas dirinya. Namun apakah “itukah” dirinya? Apakah identifikasi diri terhadap seseorang merupakan realitas dari dirinya?

Doktor Maksimus, alias Syaikhul Akbar Ibnu Arabi secara cerdas membantah hal ini dalam Risalah Wujudiyah, kitab singkatnya yang bisa menjelaskan pada kita bagaimana pahamannya terhadap Wujud atau tidaknya makhluk. Bagi Syaikhul Akbar, nama dan identitas yang melekat pada diri seseorang tidak lebih dari konstruksi, sesuatu yang tidak riil sebenar-benarnya riil. Penamaan dan penempelan identitas bukanlah bukti dari kebenaran eksistensial diri. Jika seorang yang bernama “Ahmad” selama ini mengenal dan diidentifikasi sebagai “Muhammad”, maka itu tidak mengubah realitas bahwa dirinya adalah “Ahmad”. Tak peduli apakah dirinya dan seluruh orang hanya mengenal dirinya sebagai “Muhammad”. Pada asalnya, “Muhammad” tidaklah pernah wujud. Tidak pernah ada. Yang ada hanyalah “Ahmad”. “Muhammad” hanyalah sesuatu yang diwujud-wujudkan saja. Diada-adakan saja. Maka dari itu, “Muhammad” hanyalah yang maujud karena wujudnya “Ahmad”.

Sejatinya, nama dan identitas hanyalah konstruksi dari sesama yang maujud dan kewajiban dari adanya Yang Maha Wujud. Jika kita membicarakan realitas eksistensialitas, kita tidaklah secara hakiki pernah ada. Kita adalah yang tiada. Kita bahkan bukannya meniada, sebagaimana teguran Syaikhul Akbar terhadap usaha dan pandangan peniadaan diri. Karena baginya, sesuatu yang meniada berarti pernah ada. Namun bagiNya, yang KeberadaanNya adalah kepastian, tak ada yang pernah benar-benar ada kecuali Dia. Dan kita, tidak lebih dari sesuatu yang tiada, namun kita “mengada” karena Adanya Dia.

Lalu bagaimana dengan pengalaman yang kita jalani, tidakkah itu bukti bahwa kita secara hakiki ada? Jika pertanyaan ini atau yang serupa dengannya masih menghantui kepala pembaca setelah saya menceritakan kronik seputar nama dan identitas Subcom Marcos serta penjelasan Syaikhul Akbar, maka Saya katakan : Tanyakan saja kepada kolong meja.

Wallahu a’lam bish shawab.

Bambang Putra Ermansyah

___ Alumnus jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau. Seorang philosophy entusiast yang menjadikan Tasawuf dan Silat sebagai instrumen untuk melawan hasrat-hasrat animalistiknya. Pengagum tulisan-tulisan dan perjuangan Subcomandante Marcos beserta seluruh penduduk asli Chiapas.