Oleh Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M. Phil
Bertahan dalam kesulitan atau memilih akan binasa dalam kemudahan dan kenyamanan? Maka, saya akan memilih untuk bertahan dalam kesulitan. Berdugang dalam kesusahan dan kemelaratan. “Biar mati berkalang tanah dari pada hidup berputih tulang”. Begitu bidal tua Melayu berkata. Mungkin sebuah jargon atau cogan saja? Ya, bisa saja bak gagasan yang meneguhkan perjuangan selagi kita berada pada laras tarik-menarik di antara kejumudan dan anti kejumudan. Kesulitan dan kenyamanan, dua keadaan yang berseberangan. Namun bukan oponen abadi. Dia bisa dijembatani oleh “gagasan”, “ide”, “pendapat” atau “opini”.
Sebaliknya, pendapat, opini atau wacana cerdas, sejatinya tak lebih dari “sesuatu” di antara dua ketiadaan. Ketiadaan itu bisa dinisbahkan sebagai “kesadaran” murni alias conscience. Tajuk perlawanan intelektual-kultural yang menggelinding lewat selonsong pemikir, filsuf dan kaum reflektif, agamawan, teolog di kampus-kampus bening dan putih, bukanlah ruang hampa [kosong]. Jingkangan “perlawanan wacana” ini, tak bisa dikerdilkan sebagai bagian dari “kejelitaan rahim” bernama demokrasi. Diksi demokrasi tidak bisa ditafsir selicik itu. Gerakan perlawanan wacana yang mengusung moralitas dari kampus-kampus itu, tak layak direspon lewat tanggapan tengil dan sarkastik atau kalimat pendek tapi terkesan bazaar picisan; “itu hak demokrasi” oleh pihak istana.
Ujaran yang mengambang cahaya akal budi dan pelantar nalar jernih dari kaum terpelajar [stoic], tetap dianggap bak celoteh kosong tutorial ala Tik Tok. Sebuah aplikasi dan tool yang selama ini bertindak selaku inang pengasuh ‘generasi beku” yang anti analisis-kritis. Inilah generasi “tutorial” yang mengalami selibat penjernihan serba sekilas lewat cernaan informasi yang berkategori mis-informasi atau malah dis-informasi.
Kaum yang mengolah akal-budi, berenang dalam kolam kesadaran murni, telah keluar dari “panggung senyap”-nya. Selama ini, mereka bergelung kepompong kasih, cinta, sayang, kemuliaan dan kejernihan gemala. Mereka sekumpulan orang berparas langit, mengenderai akal budi, bukan pembajak moral, bukan pembebek sebuah zaman. Mereka ialah singa, bukan gerombolan domba yang digembala dalam kesadaran berbondong dan berombong. Tak bermental followers [yang mengalami degradasi secara politis; relawan]. Mereka ialah paku bumi, pilar langit dan tiang kesadaran moralitas. Moralitas zaman, moralitas sebuah bangsa dan entitas biji zarah yang kenyal.
Istana hanya mampu melawan wacana akal budi dan moralitas tinggi bangsa ini lewat upaya mobilisasi gaya “ngeles” yang diampilifikasi dan diorkestrasi senada pernyataan politis pendek, bergaya kalimat autis, pameran banalitas kata-kata, tanpa argumentasi berbasis moral, hanya main tuduh laik jaksa penuntut umum, kalimat serba mendungu dan mengulang-ulang penjernihan ala akal bulus. Tak sekadar itu, istana dan kaum penguasa juga melakukan penodongan atas kebodohan dan ketengilan. Lebih jauh dari itu, mereka sanggup menyogok kedunguan, ketololan dan ketengilan agar bisa disetarakan dengan kejelitaan pengetahuan dan kecerahan akal budi. Sesuatu yang tak bisa disanding apatah lagi dipertandingkan. Secara nyata, di siang bolong. Penguasa yang tak lagi bertumpu pada paksi akal budi, sedang birahi melakukan peringkusan. Ya, mereka sedang meringkus demokrasi atas nama demokrasi.
Demokrasi-elektoral, ialah demokrasi mobilisasi followers, memberi jalan dan peluang untuk peringkusan itu. Peradaban tengah dicegat oleh sebuah interupsi. Ya, kita sedang menjalani interupsi itu melalui tokoh yang berpura-pura mendungu. Apa pun, opini sejatinya tak lebih dari “sesuatu”, yang berada di antara pengetahuan dan masa bodoh [l’opinion est quelque chose entre la connaisance et l’ignorance], sergah Plato pada sebuah senja demokrasi. Pendapat, atau pun perlawanan wacana di depan mata lebam seorang pemimpin yang masa bodoh, adalah cermin nyinyin [cembung] yang mengejek wajah sendiri. Gerakan akal budi melalui wacana moralitas itu adalah cermin cembung.
Di tengah lautan iman masyarakat yang paling religius, paling puitis, paling imjinatif, paling lembut, paling rajin ke rumah ibadah, paling sensitif, paling halus secara emosi musikalitas dan denting kata-kata, paling mudah tergoda pada produk budaya, pun bangsa ini, sempat melahirkan “anak haram fasis” pada sebuah zaman. Itulah bangsa Jerman. Jerman ialah bangsa relijius, emosi terkendali, mempersembah akhlak terpuncak secara kolektif, istana bagi kehidupan kanak-kanak, kastil nyaman bagi kaum renta. Namun, karena terlampau baik dan terlalu relijius, mereka tak sanggup memberi nasihat, teguran atau pun tidak tahu bagaimana cara menasihati dan melarang. Tersebab semua itu, lahirlah “anak haram” bergaya fasis bernama Hitler. Kumpulan manusia super baik Jerman ini malah terheran-heran; “kok bisa ada manusia sekeras dan setengil Hitler lahir di tengah masyarakat relijius, super puitis dan super musikalitas”. Di tanah yang sama, lahir Fichte, Goethe, Beethovent, Mozart. Karya-karya puisi dan musik mereka gilang menerjang langit pencapaian kreatif. Orang-orang baik itu pun terpana.
Teramat mahal membayar kebaikan demi kebaikan, kalau kan hanya akan melahirkan simpangan-simpangan ‘non-baku” yang tak mudah dipahami oleh orang-orang baik yang bersangkar moralitas itu.
Blaise Pascal, ikut menggebrak kebekuan dan kebingungan itu, berujar sempit; “tersebab tidak mampu melawan kematian, mengelak kemalangan, membidas kebodohan, manusia telah berkeputusan, agar untuk bisa bahagia, maka pilihannya adalah dengan cara tak memikir hal-hal tersebut”. Ini lah jalan kiamat yang kita pilih pasca reformasi. Hasilnya? Kita melahirkan generasi serba bangga dengan “masa bodoh” [l’ignorance] itu.
Apapun, ujar Baruch Spinoza geram, “En varité, le but de l’etat c’est la liberté” [secara menyeluruh, tujuan dari negara adalah kebebasan]. Makna ini teramat luas, bukan sekadar kebebasan dan kemerdekaan. Jauh dan sayup dari itu semua ialah kebebasan dari segala bentuk masa bodoh yang menabrak dan meringkus tatanan moralitas. Lanjutkan perjuangan moralitas!!! Jangan termangu oleh banalitas…