Oleh Agoes S. Alam
Kadang harus dengan kalimat apa yang tepatnya untuk memulai sebuah tulisan ketika membaca berita di salah satu media online yang menuliskan Dana Bagi Hasil (DBH) Sawit Kabupaten Kepulauan Meranti nol [apohargham].
Kalimat yang beretika sepertinya sudah habis diambil Anies R. Baswaden, kalimat solutif sepertinya menjadi brand Prabowo Subianto, atau kalimat perjuangan juga sudah menjadi ulam Ganjar Pranowo. Hanya tinggal kalimat “keparat” saja lagi yang tinggal, itupun tersisa di tepi jurang-jurang terjal yang harus dikutip pelan-pelan agar tak tersandung Undang-undang ITE.
Bagaimana tidak, dari kabupaten/kota yang ada di Provinsi Riau hanya Meranti yang tidak menerima dana DBH Sawit. Usut punya usut ternyata Kabupaten Kepulauan Meranti belum menetapkan batas wilayah dengan daerah penghasil sawit. Bahkan, menurut mantan pejabat penting di daerah itu, Pemprov Riau telah menetapkan Meranti tidak untuk wilayah investasi perkebunan sawit. Dari dua alasan tersebut, kedua-duanya menyebabkan Kabupaten Meranti “gol” untuk tidak dapat menerima DBH Sawit.
Mereka kadang lupa, Kabupaten Meranti sebagai penghasil minyak dan gas bumi selalu berbagi bukan saja untuk Riau yang daerahnya tak memiliki minyak dan gas, bahkan untuk Indonesia. Di manalah rasa “kepedulian” pemegang kekuasaan tertinggi di provinsi melihat kabupaten bungsu tak memperoleh DBH Sawit setetes pun. Begitu juga dengan bupati yang terkesan biasa-biasa saja, tanpa merasa gimana gitu.
Entah siapalah yang hendak disalahkan, yang jelas ketidakdapatan DBH Sawit bagi Meranti adalah adalah sebuah kedunguan para pemimpin yang berakibat merugikan rakyat Meranti yang masih banyak membutuhkan biaya untuk pembangunan dan kesejahteraan. Sepertinya masyarakat dipaksa untuk turun jalan karena semua sudah “buta” dan “pekakedaghah [pekakenaghah]” atau “purak amnesia” melihat masalah ini. ~