December 11, 2024
22

Mendagri Tito Karnavian saat menyampaikan materi pada Konvensi Nasional Media Massa di Jakarta, Senin (19/02/2024). F: mnt

JAKARTA Oiketai – Kecemasan penggiat media massa terhadap disrupsi teknologi yang dipersenjatai kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dijawab dengan penuh optimis oleh Imam Wahyudi, pemateri dalam Sesi IV Unconference  dengan tema “New Talent for News Room: Meningkatkan Daya Tarik dan Retensi Profesi Pers” , di Candi Bentar, Ancol, Jakarta, Senin (19/2/2024).

Imam mendiskripsikan bagaimana kecemasan itu tampak semakin nyata dengan merinci sejumlah teknologi AI yang dapat menyajikan berita dan reportase secara detail, akurat dan cepat, disertai kecanggihan augmented reality  yang melampaui kemampuan manusia. AI menurutnya bahkan hanya bekerja pada level basic, karena masih ada hal tak terduga lainnya ketika sampai ke tingkat deep learning.

“Media di masa kini membutuhkan jurnalis yang super creative, saya menitipkan pesan kepada seluruh pengelola media untuk menyeleksi ketat calon-calon wartawan yang akan direkrut, harus mereka yang punya talent untuk melawan robot journalism itu,” ujar Imam yang adalah anggota Dewan Pers ini.

Ada benturan kepentingan antara pemilik bisnis media, yang hanya mengedepankan kapitalisme jurnalistik dengan tendensi tak ingin berpayah-payah untuk tetap mempekerjakan manusia di ruang redaksi, ketika semua yang dibutuhkan dapat diproduksi secara sempurna dan instan oleh robot-robot wartawan.

“Pasal 33 UU Pers Nomor 40 sudah mengamanatkan bahwa, media harus menempatkan fungsi sosial sebagai hal yang utama, baru kemudian disusul oleh fungsi ekonomi. Justru media yang tidak mampu menjalankan fungsi sosialnya, akan ditinggalkan,”  sebut Imam.

Media, kata Imam juga perlu menjalankan kode biner dalam proses membuat sebuah produk jurnalistik melalui perencanaan dengan riset, seleksi relevansi, keakuratan, dan daya tarik, sehingga dampaknya pada fungsi sosial dan ekonomi dapat seimbang.

Teknologi AI semacam ChatGPT, Caktus AI atau Replika menurutnya hanya bisa menyentuh teknik jurnalistik berbasis data dan algoritma untuk segera disampaikan kepada publik, namun mereka tidak mampu menyuntikkan value atau nilai secara epistemologi, serta memproses fakta publik menjadi info publik. “Nilai itu hanya ada pada manusia. Ini yang kemudian membedakan antara jurnalistik dan jurnalisme, jurnalisme itu punya nilai epistemik yang tidak bisa dilakukan oleh mesin” sambungnya.

Muhammad Natsir Tahar, satu-satunya anggota PWI Kepri yang hadir pada diskusi tersebut mempertanyakan adanya potensi distopia ketika deep learning suatu saat sudah mampu menjangkau nilai yang dibutuhkan dalam jurnalisme. “Sejauh mana manusia akan dipertahankan ketika deep learning telah sampai kepada value yang dibutuhkan?,” ujarnya.

Imam secara optimis menjelaskan bahwa semua pihak akan memenangkan humanisme, secara naluri manusia akan membela sesama manusia. “Dan kita butuh tangan negara untuk menjaga agar disrupsi masif yang mengancam manusia dapat dikendalikan,” tandasnya.

Sesi IV Unconference ini didahului oleh Konvensi Nasional Media Massa sempena Hari Pers Nasional (HPN) 2024 di Jakarta, yang dimulai sejak pukul 8.00 WIB, menghadirkan para pembicara di antaranya Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Neza Patria selaku Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika. Konvensi didahului dengan kata sambutan yang disampaikan oleh Ketua PWI Pusat, Hendry Chairuddin Bangun. RO/r