
OIKETAI Edukasi – Bahasa Korea, hadir di area kampus Fisip Unri. Berkat kesejukan hati Saem [guru] Lee Yonghwa atau biasa disapa Jessica Saem. Tak sekadar menelaah tata bahasa, nahwu-saraf [gramatika], tetapi sekaligus menyelami kehalusan dan kedalaman budaya Korea yang kaya-luhung. Ini adalah jembatan pemahaman antar-budaya dan peradaban di belahan timur bumi. Sebuah gerakan pemerkayaan dan perekahan jiwa kebudayaan sesama bangsa Asia.
Para peserta pembelajaran harus menurunkan “mental eselon” dari seorang dosen atau guru yang berpembawaan “menggurui” dan merendahkan posisi duduknya selaku murid, walau dia seorang maha guru sekalipun di depan pengajar [Saem/ guru] bahasa Korea. Penuh antusiasme dari para dosen senior, utamanya para dosen muda yang didominasi dosen perempuan. Tujuan belajar tak hanya untuk menonton produk budaya Korea yang menerjang jendela kaca dunia dan perangkat handset dan headset. Tapi lebih luas dan jauh dari itu adalah “pemahaman kebudayaan” dan karakter bangsa-bangsa.
Kelas bahasa ini adalah “titian mini” untuk mendatangi “kemaharajaan kebudayaan” dunia, khususnya Korea, yang selalu disapa dalam roman dunia; Semenanjung yang diselaputi embun, ketika ditatap dari laut dan Kepulauan Jepang.
Hangeul, ialah himpunan aksara bahasa Korea yang dikodifikasi dalam sejumlah lambang fonetis; baik vocal maupun konsonan. Huruf-huruf vocal dasar berjumlah 10, dan ditambah dengan vocal ganda 11. Sehingga huruf vocal total menjadi 21 huruf. Kemudian dilengkapi dengan 19 huruf konsonan.
Hangeul adalah majelis persuaan sistem pengucapan dari selonsong mulut manusia yang mengenai [menyenggol] segala organ kerongkongan dan area mulut manusia, kemudian membentuk bunyi padat konsonan dan disimbolkan dengan huruf konsonan pula. Sementara, huruf vocal adalah majelis persuaan pertiwi elemen langit, tanah dan manusia. Huruf vocal juga divibrasi dengan penanda tiup udara yang keluar dari rongga mulut [ekspirasi] dan tarikan udara yang masuk ke area mulut [inspirasi].
Lewat kaidah elemen langit, tanah dan manusia tadi [vertikal, dasar, dan garis datar]. Oleh sebab itu, semua orang bisa menulis huruf dalam aksara Hangeul [bangsa apa pun], karena tarikan pertama garis itu berawal dari titik langit [tarikan atas] menuju tanah [bumi], lalu diberi imbuhan garis datar [posisi manusia].
Lambang fonetis [aksara] Hangeul ini, diciptakan melalui sebuah kerisauan budaya, bahkan kerisauan peradaban oleh seorang Raja bernama Sejong, tahun 1446 [hun-min-jeong-eum]. Pembelajaran awal klas bahasa Korea diwarnai materi mengenai sejarah terbentuknya aksara Hangeul. Sebelum sang Raja mencipta [mungkin dalam gaya intelektualisme rasa istana] aksara, dia memposisikan diri selaku seorang pakar linguistika. Dan, sebelum himpunan aksara Hangeul terhidang di depan bangsa Korea, manusia Korea memang bertutur dalam bahasa korea, namun untuk menuliskan bahasa tutur tadi, mereka meminjam tulisan [aksara/kanji] yang diimpor dari Cina.
Setelah Hangeul dibaku dan dikodifikasi secara hukum, maka orang Korea tidak lagi menulis ucapan verbal mereka ke bahasa tulis dengan huruf kanji Cina. Mereka beralih dengan huruf temuan dan ciptaan sang Raja Sejong.
Kelas perdana ini, berisi materi pengenalan huruf dasar dan ganda, sekaligus pelatihan mendengar dan menulis lambang-lambang fonetis Hangeul. Kelas ini berlangsung selama 3 [tiga] bulan penuh. Dua kali pertemuan per minggu. Dan pada bulan Maret kelak, kelas dan peserta didik bahasa Korea akan diberi kesempatan berinteraksi langsung dengan penutur Korea [native] via zoom langsung dari Korea. Sebagai catatan penggugah, para native yang berinteraksi dengan murid kelas bahasa Korea di Pekanbaru itu sama sekali tak mengerti bahasa Indonesia. Zoom itu pun berlaku acak per individu peserta, dan rerata pada sesi malam hari, sepulang kerja kantoran di Korea dan Indonesia.
Peserta dosen di kalangan Fisip Unri berasal dari jurusan Sosiologi, Administrasi Publik, Hubungan Internasional, Administrasi Bisnis, Komunikasi, dan Ilmu Pemerintahan. Di tambah satu orang Dosen Perempuan dari Fakultas Psikologi Universitas Islam Riau [UIR].
Bagi Dekan Fisip Unri, Dr. Meyzi Heriaynto, kelas pembelajaran bahasa Korea ini diharapkan kelak menjadi saluran pengembangan kapasitas SDM Fisip Unri agar menunai kebijakan “arah ke timur”. Mencari ilmu ke timur, menunai kebijaksanaan serba timur. Bisa dalam bentuk pengiriman dan pertukaran dosen, mahasiswa, bahkan bisa menyelenggarakan sesi perkuliahan dan seminar dengan sejumlah universitas dan akademisi Korea [Selatan] khususnya.
Ihwal ini juga untuk merespon kehadiran produk budaya dan peradaban Korea yang menggumuli dunia saat ini. Selain merespon kehadiran sejumlah besar Perusahaan Korea yang berinvestasi di Indonesia, khususnya Riau atau pun Kepulauan Riau. RO/yy