November 1, 2024

PEKANBARU Oiketai – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Riau akan menggelar Diskusi Publik “Kolokium 2024: Peradaban Muara Takus”, pada hari Kamis (7/03/2024) bertempat di Ruang Rapat Gedung Dekanat, pukul 08.30 WIB – 12.00 WIB.

Pemantik diskusi disampaikan oleh Ketua Senat FISIP Universitas Riau, Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M.Psi., yang mengemukakan posisi Muara Takus selaku ‘pusat ingatan’ (center of memory) yang ranggi dan ‘pusat sukma’ (center of soul) peradaban Melayu di tengah-tengah perut Sumatera. Muara Takus sebagai teks agung yang mesti didatangi dengan kesadaran besar. Dia sebuah kutub khanah peradaban Melayu yang sengaja dilupakan dan diringkus sepanjang perjalanan kebudayaan Melayu.

Diskusi ini menghadirkan narasumber-narasumber yang berpengalaman di bidangnya: Ongku Imi (Pewaris Kedatuan Muara Takus), Dedi Ariandi (Arsitek), dan di tengah acara ada penyampaian puisi oleh penggiat sastra, Asqa eNeSTe.

Narasumber membahas tentang warisan peradaban Muara Takus, lanskap, sistem drainase dan material utuh produk zaman seperti batu bata terrakota serta bagaimana seni dan budaya telah berkembang di wilayah tersebut.

Ongku Imi memyampaikan realita kesemestaan Muara Takus dalam panduan jejak spiritual dan mitologi bangsa Melayu tua era Muara Takus. Kemudian, Dedi Ariandi menyampaikan pembahasan dari perspektif arsitektur candi yang memiliki tujuan tertentu.

Diskusi publik ini menghadirkan Dekan, Wakil Dekan Bidang Akademik, Wakil Dekan Bidang Umum dan Keuangan, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni dan Kerjasama, Ketua Jurusan, Ketua Prodi, utusan dosen dari masing-masing Prodi se-lingkungan FISIP. Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Riau, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Riau, Ketua Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR), Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning, Ketua Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Riau, Ketua Prodi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Riau, Ketua Prodi PPKN FKIP Universitas Riau, Forum Dosen-Pegawai Universitas Riau asal Kampar, Forkom XIII Koto Kampar, Yayasa Matankari Nusantara, utusan Himpunan Mahasiswa Jurusan selingkungan FISIP, utusan BEM FISIP dan BLM FISIP serta utusan Himpunan Mahasiswa Kampar Universitas Riau.

Moderator Diskusi Publik, Dr. Fajriani Ananda, S.Sos., M.Si., Dosen Program Studi Administrasi Publik dengan kekhususan kebijakan lingkungan berhasil menciptakan harmoni diskusi yang hangat dengan berbagai pertanyaan dari peserta diskusi.

Diharapkan diskusi ini memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang peradaban Muara Takus serta menginspirasi masyarakat untuk melestarikan warisan budaya dan lingkungan serta keterlibatan akademisi dan universitas dengan giat penelitian untuk menyingkap misteri mitologi ataupun berbagai fakta Muara Takus.

Dalam kolokium ini, Dedi Ariandi juga mengemukakan sejumlah catatan kritis yang mencakup pertimbangan yakni Apakah Muara Takus dianggap penting sebagai situs bersejarah oleh pemerintah?

Apakah tampilan candi dapat memberikan pemahaman tentang realitas sosial dan politik pada masa pembangunannya? Kemudian mengapa terdapat banyak tangga di Muara Takus? Apakah ini berkaitan dengan pola konstruksi rumah yang berkembang? Adakah keterbatasan anggaran yang mempengaruhi pembangunan tangga secara bertahap?

Selain itu juga dipertanyakan soal tinggi tembok (pagar) candi yang begitu rendah. Apakah ini mencerminkan masyarakat yang terbuka atau keterbatasan kemampuan membangun?

“Apakah posisi Muara Takus di Google Maps berhubungan langsung dengan poros suci yang ditarik dari daerah tanah tinggi di barat laut, ataukah ini hanya penempatan sembarangan?,” ujarnya.

Juga yang menjadi tanda tanya adalah, apakah klaim kedatangan raja Thailand dan pemimpin spiritual dari Tibet menghormati Muara Takus sebagai pusat spiritualisme Buddha universal dapat dipercaya, atau mereka hanya terkejut menemukan situs seperti ini?

Lalu Prof. Yusmar Yusuf, memberi catatan kritis mengenai tinggi rendahnya stupa mahligai, Yusmar menilai klaim tentang menara ini sebagai yang tertinggi di Asia Tenggara keliru, karena banyak candi atau Wat di negara Budha seperti Kamboja, Thailand, dan Laos justru memiliki ukuran yang lebih besar.

Dari parameter ini, muncul klaim sepihak menara ini adalah yang tertinggi di Asia Tenggara. Ini menurut Yusmar juga kesesatan pikiran dan opini yang dibangun. Sebab, candi atau Wat di Kamboja, Thailand, Laos yang sejatinya sampai saat ini sebagai negara Buddha, banyak memiliki candi atau Wat yang jauh lebih tinggi dan gigantic ukurannya.

“Kita harus secara perlahan menemukan titik nadir tapak atau situs ini, agar kita mampu membangun tapak yang sebenarnya tentang Muara Takus secara utuh. Bukan malah dikandangi oleh sejumlah kepungan mitologi yang membingkai area ini yang diwariskan dari generasi ke generasi. Di sinilah peran lembaga universitas menyeruakkan cahaya sains dari ragam disiplin keilmuan dan perspektif,” paparnya.

Mengenai gemuruh amplifikasi segala tapak situs di Riau telah berlangsung sekian lama. Hal ini diperkuat lagi oleh gempita musikalisasi tapak situs ini oleh Pemerintah Daerah Riau. Namun, musikalisasi ini tak diimbangi dengan kebijakan yang mendukung untuk pengembangan kawasan situs (tepatnya Muara Takus, begitu juga halnya dengan Candi Sintong di Rokanhilir).

“Perilaku klaim sepihak dan membesar-besarkan apa yang kita miliki adalah sebuah “penyakit sejarah”: penyakit bawaan “mental rendah diri” sembari dengan itu ingin mempertunjukkan kepada dunia, “kamilah yang paling besar dan tinggi”. Penyakit inilah yang mesti ditumpas terlebih dahulu,” tegasnya.

Diskusi ini, juga membuka ruang untuk arah pembentukan Badan Otorita yang menaungi kegiatan ibadah Buddha di Riau. Lalu, apa bentuk Badan Otorita yang ideal, di tengah kepungan klaim sepihak ‘pihak keluarga” dalam jumlah juluran kepemilikan dan hak waris. Dan saat ini semua juru waris berstatus selaku penganut agama Islam.

Diskusi ini menggali kompleksitas Muara Takus dan mengajak para peserta untuk merenungkan makna sejarah yang terkandung di dalamnya. Sebagai sebuah situs bersejarah, Muara Takus terus menarik perhatian dan memicu beragam interpretasi. RO-rr/yy