Oleh Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M.Phil
Beberapa jam lagi, langit malam bakal sarat. Heboh dan sarat oleh silang-bersilang bunyi sejak senja, menusuk subuh. Festival bunyi dalam “musikalitas” yang agak ranum terkadang pirang. Sorak-sorai yang semestinya dihindari.
Pesan yang disalur dari ragam bunyi itu cuma satu: Taat, teguh dan konsisten dengan iman. Membakar. “Mengundang api” untuk membakar, agar keluar emas mulia dari setiap insan selaku abdi. Sejatinya, bulan Ramadhan adalah bulan yang menautkan dirinya dengan segala senyap dan diam. Tindak laku berpuasa ialah tindak laku teramat pribadi. Sesuatu yang ditambatkan dengan peristiwa diri dan pribadi, berpembawaan senyap dan diam.
Namun, orang-orang malah melombakan keriuhan untuk menghimbau senyap. Sesuatu yang betolak belakang. Senyap dan diam hanya bisa dicapai lewat kanal senyap pula. Bukan melalui festival bunyi dan suara. Saya merindukan beribadah dalam senyap dan diam. Tapi, sejauh ini belum berhasil dan belum jua menemukan bentuknya.
Di dalam kesenyapan, kita menikam diam lalu memanen cericit burung, unggas dan segala makhluk yang melantun musikalitas semesta. Berpuasa, sapaan lain, saum ialah tindakan diam dan menyimpan. Bukan mengumbar, bukan mempertonton, bukan malah membuka ‘pasar malam’ dengan segala bunyi ceramah dan himbauan. Namun, lebih didorong ke memperbanyak ibadah senyap, diam dalam kuluman dzikir dan ibadah senyap pertaubatan. Melaparkan diri, tak semata fisis, tetapi jua ruhani. Inilah bulan yang memfestivalkan “ruh”. Maka dengan sengaja tulisan ini berjudul “ruhani”, bukan “rohani”.
Lalu, segala tindak ikutan ibadah ini dikerumuni dengan sejumlah tindakan yang jua senyap; bersedekah secara senyap. Bukan malah diumumkan lewat pengeras suara. Menunai infaq, juga secara senyap, tanpa perlu diketahui tetangga sebelah. Pun, saya menjadi bingung. Bagaimana segala lelaku ini bisa dilangsung secara senyap dan berdiam-diam? Diam dan senyap yang mengalir dalam ibadah ialah penanda ketulusan, keikhlasan dan ihsan, tanpa berujung pengakuan dan puja-puji dari jemaah sekitar. Kita tidak pula ingin diajari bersenyap-senyap itu dalam gaya “nyepi” ala Bali. Malah akan mengumpan muncratnya ego “mayoritas” kita.
Kita seakan didorong untuk menjadi umat yang tak sabar menjalani diam dan senyap. Kita didesak untuk menjadi makhluk tak sabar menyimpan kealiman dan kesalehan pada lipatan terkecil dan terdalam di dalam diri. Semuanya harus difestivalkan dan segala heboh dan rempak bunyi yang bergemuruh. Festival ruh, tak sama dengan dangdutan. Dangdutan bawaannya memang harus heboh: yang diumbar segala ihwal ragawi dan duniawi.
Ketika akal kemalaikan diajak untuk mengumbar gairah ruh, maka kesenyapanlah jalannya.
Tak semata Islam yang melaksanakan ibadah ‘moda” pengosongan perut dan tindak kekerasan terhadap makhluk dalam satu momen. Pilihan ‘modanya” senyap. Orang lapar tak bisa bising. Dia harus meniti samudera senyap, hening dan sunyi lewat pengosongan [perut dan segala tindakan riuh, termasuk gerak]. Kebetulan kita menunaikannya pada bulan penghulu dari segala bulan [Ramadhan].
Umat Budha juga mengenal puasa. Sebuah jalan untuk menjiwai dan apresiasi pada ajaran sang Budha. Dilakukan selejang hitungan perjalanan hari-hari bulan lunar, tarikh 8, 14 atau 15. Mereka menyebutnya Upavasa. Hindu, juga mengenal moda ibadah pengosongan. Mereka menyapa dengan sebutan Upawasa. Dua jenis upawasa; upawasa wajib disebut upawasa Siwa Ratri, dimulai sejak matahari terbit hingga terbenam. Puasa Nyepi di Bali. Ini sebuah moda penghentian “mesin” organik di pulau itu; tak makan dan tak minum. Mematikan segala cahaya sumber buatan. Memadam segala bunyi dan gerak. Menghabiskan waktu di rumah dalam ibadah senyap, berdoa. Ada juga jenis puasa penebusan dosa; puasa tilem dan puasa purnama.
Yahudi, menjalani puasa yang mereka sapa Tzom [dekat dengan bunyi “saum”]. Puasa ini bertemali dengan garis kesejarahan dan gelombang peristiwa yang menimpa bangsa ini. Tujuannya demi membersih diri secara spiritual. Tetap dijalani dalam senyap “yang bergemuruh” [walau sejatinya senyap itu tak bersuara]. Sepanjang tahun liturgi Yahudi, Tzom dilakukan seperti Tisha B’Av sebagai lorong mengenang keruntuhan Bait Suci, dan juga Yom Kipur sebagai hari penyucian diri. Mereka menghabiskan waktu tenggelam dalam doa dan menyimak Torah.
Demikian halnya dengan Katholik yang menambatkan kegiatan puasa dengan musim liturgis; pra-paskah yang berlangsung selama 40 hari. Ini jalan peningkatan kesadaran spiritual. Begitu jua Kong Hu Chu yang membagi puasa menjadi dua; puasa jasmani dan puasa rohani [bukan ruhani]. Tujuannya untuk mensucikan diri dan pelatihan dalam menjaga perilaku, perkataan dari ihwal yang tersambung dengan kesusilaan. Pada bulan Imlek, dilaksanakan puasa jasmani; pola konsumsi daging yang bertahap dan bertingkat. Ada yang satu hari, 3 hari bahkan berpantang secara permanen.
Semua gelombang ibadah puasa itu berlangsung dalam diam dan senyap. Apakah ini termasuk dalam jenis “penjelasan” [deklarasi] mengenai “orang-orang yang berpuasa sebelum kamu?”
Puasa; pengelanaan batini dalam luruh panjatan spiritual yang bermarkas pada stasiun “tarikat dan hakikat”. Bukan semata syariat… di situlah dia berpangku senyap dan diam, sunyi…