Oleh Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M. Phil
Ditata sedemikian rupa. Bak sekuntum bunga merah di sisian tangga. Bak sebuah karya seni halus. Sebuah bahasa nan canggih dalam sediaan konjungasi. Mempertaruhkan lambungan imajinasi dan lamunan untuk memahaminya. Tak semata untuk menjelaskan kenyataan lampau; masa lalu yang jauh dan masa lampau yang dekat. Jua meruang dalam kala waktu ke-akan-an [masa depan] yang ranggi, sesuai subyek pelaku.
Sekuntum bunga merah, berkelir duri. Hadir bak porcelain dengan sejumlah retak. Bukan retak membawa belah, tapi retak membawa ukir. Dia hadir seakan dengan sengaja bak karya seni. Lain yang ditulis yang pula yang dibaca. Dipermolek oleh sejumlah bunyi natural [sentak dan kontak] antar kata dan artikel di depan kata benda, kata sifat dan kata kerja. Diperkaya dengan sejumlah tanda baca [simbol fonetis], realitas gender yang disandang kepada kata benda, kata sifat. Lincah permainan kata kerja; mengacu pada subyek dan kala waktu, termasuk obyek langsung dan tak langsung yang diletakkan dalam “ke-tak-wajar-an” posisi, juga turut memperelok.
Paling nikmat didengar. Lebih cantik lagi ketika ditulis. Dia menjadi saluran bagi pemikiran filsafat nan pelik. Kanal terulung bagi dedahan karya sastra; puisi, roman, lirik lagu [paroles], penceritaan, reportase sampai ke model pemberitaan langsung. Jua tak terkecuali percakapan lisan nan menawan. Disengaja selaku bahasa teks yang kawi. Bukan bahasa pertuturan semata, laik bahasa rumpun Romania-latin lain.
Apakah bangsa ini memang sejak awal [lahir] sudah dengan sadar menghadirkan keindahan [kenakalan] dalam kaidah yang mengusik akal sehat? Mencakup bunyi, kosa-kata, tata-bahasa dan lainnya? Adakah semacam badan atau lembaga yang secara sadar didirikan untuk membakukan tampilan, keindahan dan struktur agar bahasa ini, bergerak dalam lorong cerdas yang melampaui tembok bahasa-bahasa dunia?
Bahasa ini banyak mempengaruhi bahasa-bahasa Eropa besar lainnya; Inggris, Jerman, Spanyol, Belanda. Dia juga mempersangkutkan akan persangkaan manusia kepada Tuhan [Dieu] yang menyamudera. Lemak dan molek dipertuturkan oleh kaum puan, ketika di atas panggung kala menggamit segenggam puisi. Bahasa ini adalah puisinya bahasa. Itulah bahasa Prancis. Setia mengena gaun nan anggun. Bukan bahasa yang mendatangkan ruang dan waktu dalam ketelanjangan vulgar. Dia sengaja dibungkus dalam balutan adi busana bahasa. Sebuah bahasa yang mampu membuat jiwa saya menari dan bernyanyi.
Ada “ayatollah Bahasa” di belakangnya? Ya, Academie Françaises. Sebuah lembaga yang didirikan pada 1634 dan diresmikan pada 1635 oleh Menteri Pertama Prancis era Louis XIII. Menteri ini disapa Kardinal Richelieu. Anggota dari akademi ini berjumlah 40 orang dengan status seumur hidup [les immortels]. Uniknya, anggota akademi ini dipilih oleh anggota itu sendiri. Pakaian seragam mereka disapa l’habit vert [jubah hijau]. Jubah ini dikenakan pertama kali pada era Napoleon Bonaparte. Harganya? 50 ribu dollar, alias sekitar 780 juta rupiah per jubah [hijau]. Lembaga inilah yang mengawal “kecantikan” paroles et langue, agar senantiasa segar dan menawan. Baik selaku bahasa teks, apatah pula bahasa lisan [tutur].
Tina, seorang penyanyi wanita [chanteuse] kelahiran Australia, menawankan dirinya dalam kefasihan bahasa rumpun Latin itu [Prancis]. Dia seorang kurator, penulis lirik, penyanyi dan artis-teater. Sekuntum lirik Prancis dan dinandungkan bertajuk: Je m’appelee Bagdad. Kota rebah dari tangan Tuhan, tergeletak manja di antara dua sungai sohor yang menggambarkan surga [Eufrat dan Tigris]. Di tebing Eufrat [Furat] inilah pula Rabi’ah berlari sembari mengusung ember penuh air dan segenggam obor. Kota ini, hancur dalam kepingan peradaban. Tina bertutur:
J’ai vécu heureus dans mes palais d’or noir et pierres Précieuses // le Tigre glissait sur les paves de cristal// Mile califes se bousculient sur mes carnets de bal//
On m’appelait la cité Pleine de grâce // Dieu comme le temps passe// on m’appelait capitale de lumière// Dieu que tout se perd//…
Je m’appelle Bagdad, et je tombée // sous le feu des blindés , sous des blindés // je m’appelle Bagdad, princesse défigurée // Shéhérazade m’a oubliée , m’a oubliée …
Je vis sur mes terres comme une pouvre// mediante, sous les bulldozers// les esprits me hantent// je pleure ma beauté en ruine// sous les pierres encore fumantes, c’est mon âme qu’on assasine// on m’appelait capitale de lumiere// Dieu que tout se perd…
… mes contes des mille et une nuits.
“Aku pernah mukim di istana terbuat dari emas beludru dan batu pualam// rimau yang meluncur di atas parves kristal// beribu kalifah berdesakan di atas ruang notis//
Kita menyapanya kota nan penuh berkah Tuhan…// seiring lintasan waktu// kita menyebutnya kota cahaya// Tuhan…, semuanya lenyap
Nama ku Bagdad, dan aku jatuh// di bawah api kesumba// di bawah api kesumba//
Ku dipanggil Bagdad, putri lumpuh// Shahrazad, lupakan daku
Daku tinggal di tanah kusam, di tengah kepungan buldoser// para arwah menghantui ku// daku menangis di bawah reruntuhan batu berasap-jelaga// jiwa ku dibunuh// kita disapa kota cahaya, Tuhan…// semuanya hilang. // Kisah ku tentang seribu satu malam…
Lirik lagu ini boleh saja ditulis dalam bahasa Inggris. Tapi, efeknya “tak bergetah”. Tina menjatuhkan eksekusi nan cerdas dan molek: paroles français. Tina perempuan dari Australia yang “mem-prancis”. Duhai, ada dua perempuan yang menikam “kemenarian dan kebernyanyian jiwa ku” ketika berbahasa Prancis: Elsa dan Umi. Di ruang yang lain… bukan Tina atau pun Indila. ~